Rabu, 21 Oktober 2009

ANTAR AKU PULANG




22 Oktober 2009 (6:09)


Aku tak percaya aku bernama “Sabina” pada akhirnya. Padahal aku mencinta dan berpikir seperti Theresa. Memandang hidup dan dunia dengan cara gelap sepertinya. Katakanlah, aku keduanya. Aku adalah Theresa yang sedang pulang ke Prague, kota gelap itu. Aku menuju Theresaku dengan cara Sabina memiliki Thomas. Kau tahu, rasanya paradoks sekali. Memiliki Thomasmu dengan cara Theresa dan Sabina sekaligus. Ia Thomas karena ia mencintai terang, barangkali. Meski aku selalu bisa melihat sekaligus mengkhawatirkan sisi gelapnya. Karena tak mungkin ia bisa memilikiku tanpa memiliki sisi gelap sama sekali. Meski aku memilikinya tanpa harus bermain mandi cahaya. Sejauh gelap hanya kekurangan terang, aku hanya mengkompromikan kadar terangku untuk memilikinya. Ia masih milikku! Seperti Thomas yang hanya dimiliki Sabina dan Theresa di sepanjang film meski ada wanita lainnya. Aku Sabina dan Theresa sekarang. Lalu aku menyetujui Iwan Fals dengan kata “entah esok hari atau lusa nanti” nya. Ya, aku sedang pulang ke Prague, aku tak mungkin berada di kereta selamanya. Prague-ku tanpa Thomas, tak berarti kekasih lainnya. Seperti Thomas dimanapun dan wanita-wanitanya. Prague-ku bisa jadi gelap dan kesendirianku; kestabilan aneh yang tak cukup lama kutinggalkan.

Kembalikan aku ke pinggir sungai dengan hati-hati. Jika kau pernah mengambil sebuah batu dari sana, kau harus menggenggamnya di tanganmu. Sekarang kembalikan batu yang serapuh bola kaca itu ke sana perlahan, dengan genggam tanganmu, atau ia akan hancur berkeping-keping. Kembalikan ia dengan genggam aliran sungaimu perlahan, agar ia bisa mencari aliran lain dengan keutuhan. Aliran lain, ya, aliran lain. Meski ia sangat benci bahwa manusia-manusia merenggutnya dari aliranmu dengan alasan yang tak adil. Manusia yang penuh dengan label-label. Label bola kacaku dan aliranmu tak bisa diterima, maka aku harus pergi dari aliranmu. Aku benci label-label, jadi berhentilah melabeli aku dan kau. Label-label itu melelahkan. Berhentilah melabeli, karena dengan label-label kenormalan itu, aku hanya mendapat tempat di pinggir. Selain, kita, aku, atau kau terlalu aneh untuk mendapat label dari dunia normal. Seperti katamu, akan menyakitkan jika orang yang berkepribadian aneh mencoba pola pikir pada umumnya. Jadi berhentilah melabeli! Aku tak tahu apa kesialanku ini ada hubungannya dengan kegandrunganku pada lagu Alter Bridge yang berlirik “Will they open their eyes and realize we’re one?” itu. Mungkin tidak, hanya kebetulan yang aneh saja.

Kita sama-sama egois, maka aku harus diantar pulang, demi egoku. Lalu kau harus mengantarku pulang, demi egomu. Kita seperti anak kecil yang bertukar permen. Aku menyukai permenmu seperti kau menyukai permenku. Tapi aku tak mau memberi semua permenku padamu seperti kau tak mau memberiku semua permenmu. Seperti permen baru yang kau dapat dari seorang gadis. Kau tak menyukai permen itu tapi kau tak ingin membuangnya, pun memberikannya padaku. Aku tak peduli akan kau apakan permen itu. Walau gara-gara permen itu aku jadi merasakan keanehan pada rasa permen-permen darimu. Rasanya tak karuan, tapi aku ingin terus mencecapnya. Aku hanya perlu tahu kau dan permen-permenmu masih milikku! Aku hanya bisa jadi sangat egois dalam hal permen. Karena selain permen, aku cukup altruistik. Kapan aku bisa memiliki diriku kalau aku terus-terusan begitu? Sekali ini aku egois. Kau milikku! Aku toh hampir sampai Prague, aku hanya ingin pulang ke sana. Mencari permen lain barangkali, karena seturunku dari kereta aku tak bisa lagi bertukar permen denganmu dengan cara ini. Lalu entah kau masih milikku atau tidak.

Aku adalah Sabina dan Theresa yang sedang duduk di kereta. Dan namaku bukan Theresa. Aku tak pulang sendirian, dan yang duduk di sampingku adalah Thomas, namun ia tak bernama Thomas.

Jumat, 04 September 2009

Sebuah Kata Maaf yang Menunggu Kesia-siaan untuk Menjadi Sebuah Ucap

3 September 09

Mencoba mengingat hari kemarinku. Melarikan diri dari kebosanan dan kemuakan akan pembicaraan tentang uang di ruang dan waktu ini. Entah kenapa judul mata kuliah ini bukan : UANG, ORGANISASI, dan PENJAJAHAN saja. Kamar bertanya pun tak tersedia. Hilang ditelan kantuk yang dihembus oleh kata-kata satu arah dan kesadaran yang berpindah-pindah.

***

10 jam yang lalu dan langit masih terang. Di sana, aku duduk bersama seorang kawan. Bicarakan tentang sebentuk kabut dalam benak yang telah dan sedang meng-ada di sini selama lebih dari ribuan jam. Sekarang malam dan aku masih bimbang soal membunuh keberadaanmu dalam ruangku.

***

12 jam yang lalu dan aku telah melampaui keputus-asaanku akan sebuah keberadaan. Siang yang renyah dengan dedaunan gugur yang rapuh. Kerianganku yang membuatku terkejut sekaligus lelah. Kau meng-ada nyata-nyata di suasana ini. Dan aku mencari sesuatu yang tak kan (barangkali) pernah kuketahui. Kuraih kesia-siaan dengan antusiasme ini; membangunkanmu dari sorot gelisahmu itu. Menganomalikan permukaan wajah kusut itu. Senyum.

Beberapa detik saja dan rasanya seperti bertahun-tahun. Beberapa detik saja dan perlu ratusan kata-kata untuknya. Maaf, mungkin senyum ini tidak sebegitu penting buatmu. Hanya bukti eksistensiku saja di benakmu dariku. Meski kurasa aku hanya meng-ada beberapa detik saja di benakmu. Bukan, bukan benak, kurasa. Kurasa ia hanya berhenti pada mata, dan sudah, aku pergi dari sana. Sesuatu yang sama sekali tidak penting ini seperti merenggut kegelisahanmu yang utuh itu. Maaf.

Jikapun senyumku ini sedikit penting, barangkali karena aku tak mau menjadi jahat dengan berpura mengabaikanmu sebagai sesuatu yang ada. Karena aku, sejujurnya, takut tersenyum, terutama padamu. Takut dan ingin sekali. Ambiguitas yang terasa indah, menggelitik isi diafragmaku. Sesuatu yang sebenarnya tak terdeskripsikan tapi selalu kuusahakan membahasa. Sedikit sia-sia, sesungguhnya, senyum itu, kecuali bahwa ia memberiku sedikit kelegaan. Tapi aku benar-benar merasa seperti pencuri yang merenggut kegelisahan itu dari rautmu. Maaf.

***

17 jam yang lalu dan aku sangat putus asa. Beberapa hari mencari sosok yang tak bakal kuraih juga, rasanya. Terus buat apa dicari? Kesenangan pun tak lagi utuh karena ia tak berujung. Aku tak tahu kemana rasa aneh ini mesti dibawa. Terus buat apa kau dicari? Sia-sia sekali.

Ya. Ya. Semua orang adalah kamu, kau tahu? Itu, yang berjaket krem. Ternyata bukan kau. Itu, yang duduk-duduk di kantin. Bukan kau juga. Itu, yang naik motor. Bukan kau, lagi-lagi. Apa kau pikir aku psikopat? Tidak, tenang saja. Tidak seburuk itu juga.

Seperti langkah kaki di pagi hari ku ini. Aku tidak terlalu yakin harus di bawa ke mana. Di kampus ini semua jadi tampak sia-sia. Bahkan kau, juga, yang tiba-tiba nampak. Kurasa aku memang harus membunuh keberadaanmu di benakku. Ini agak menyiksa, perasaan ragu-ragu untuk membiarkannya tetap ada atau membunuhnya. Kenapa tidak kunikmati saja? Aku rasa aku bukan orang yang mudah menikmati kesia-siaan, tapi aku terus-terusan berkubang di dalamnya. Nah, itu yang kusebut penyiksaan.

Kapan harus kuakhiri kesia-siaan ini? Harus kuakhiri, kesia-siaan ini, dengan sebuah kesia-siaan, agar impas. Akan kuakhiri. Pasti. Harus. Mesti. Meski akhirnya nanti juga tetap sia-sia, kecuali bahwa kau tahu “sesuatu yang aneh” ini ada.

7:41 5 september nya, baru selesai.

Rabu, 26 Agustus 2009

Di Langit ke Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tujuh

Katakanlah aku terbang, atau menari, atau terjun bebas. Katakanlah aku….katakanlah. Demi nafasku, ku tinggalkan tanah; tak kujejak buminya.

Katakanlah daratanku makin jauh, terbangku makin tinggi, tarianku melayang, terjun bebasku memusuhi gravitasi. Katakanlah semua itu…katakanlah. Demi nafasku, kulakukan. Demi nafasku, katakanlah.

Makin jauh, tak terjejak daratanku, makin jauh. Aku baik-baik saja. Baik-baik saja. Baik-baik saja hingga ketinggian ini. Baik-baik saja. Dan lebih tinggi lagi. Langit ke tujuh ratus tujuh puluh tujuh. Baik-baik saja.

Ramai. Berserakan. Hingar. Gelak. Kata-kata. Di sini, jauh di sini, ia begitu sunyi. Hening, dan aku merasa baik-baik saja. Sungguhkah? Tanyaku. Lalu di sini kesunyian meledak. Hancur berkeping-keping menjadi tetes-tetes embun yang sayu. Merenggut keheningan dan mengantarkan keheningan baru. Aku menginginkan ruangku untuk berduka. Di langit ke tujuh ratus tujuh puluh tujuh, aku menjadi.

Aku menjadi rindu. Tapi tak ada keutuhan yang bisa kurindukan. Aku merindukan….sesuatu. Sesuatu yang tak pernah kau miliki, bisakah dirindukan? Atau ia hanya akan mendukaimu, tanpa bisa kau rindukan? Tapi aku rindu. Aku tahu aku merindu. Praduga-pradugamu, yang berhenti pada praduga, yang tak menjadi apapun, kecuali sesuatu yang tak kau miliki, apakah bisa dirindukan? Jika ya, maka sebenarnya aku tak pernah menjejak bumi karena aku hanya menduga aku menjejaknya. Aku pernah, rasanya. Pernah, menjejak bumi. Lalu ini apa? Aku rindu. Sesuatu. Yang pernah ada, entah sebatas praduga, entah yang lainnya, tapi tidak utuh. Kenangan. Kenangan yang masih mencipta dirinya, tapi kurasa ia tidak utuh-utuh juga hingga kini.

Kata-kata yang membelaiku seperti mata yang memandang dengan sayang. Apa ini hanya aku? Apa aku harus menjadi naif dengan tidak merasakan apapun? Aku tidak mau berbohong soal tafsirku dan soal ketak-mungkinan. Aku tidak ingin, sungguh tidak ingin kembali di jalan kemarin dengan langit gelap yang sama. Apa kata-kata itu seharusnya tidak usah dimunculkan? Tidak harus begitu juga. Maka aku terbang tinggi. Jika aku tak terbang, ketak-tergapaian itu; ketak-terengkuhan; ketak-teraihan itu tetap akan membuatku, barangkali, rindu. Aku, telah kehilangan, dan masih takut kehilangan. Aku belum pernah memiliki sesuatu yang sudah hilang, dan sudah merindu.

Apa atau siapa? Jika ini apa, maka itu adalah kebohongan. Belum ada siapa yang memberiku apa sedemikian rupa; apa yang kurindu ini. Jika ini siapa, maka…. . Apakah ini hanya aku? Dan disitulah, aku, mengembuni malam ini dengan tetes-tetes sayu.

Jumat, 21 Agustus 2009

INGINKU



Ingin kulari ke situ, biar tak usah susah payah kupilah-pilah suaramu di antara suara yang lain-lainnya.
Ingin kuberanjak dari dudukku, biar tak usah capai kutunggu munculnya.
Ingin kukatakan sesuatu, biar bibir ini tak menggigit dirinya sendiri.
Ingin kutersenyum dengan bebas, biar hati ini tak mencelos.
Ingin kuberlama-lama menghujamkan mata, biar hatiku tak berdemo menuntut kemerdekaan.
Ingin kulangkahkan kakiku, tapi kakiku tetap berayun-ayun di bawah bangku.

***

Seperti pencuri saja. Harus beginikah untuk bisa membaca kata-kata itu? Ingin juga kucuri tulisan-tulisan itu. Jika bincang tak bisa kumiliki, lalu dengan apa lagi aku bisa menghadirkanmu? Jika berjalan-jalan dengan mataku malah makin mengikis absurditasku, dengan absurditas itu sendiri. Ingin. Jika. Ingin. Jika. Jika saja bisa kuminta. Jika saja bisa kupunya. Jika tidak, mungkin kucuri. Apa? Apanya? Yang diminta. Yang dipunya. Yang dicuri. Apanya? Apa yang sedang kumiliki, kecuali yang mengikisku ini?

Inginku Mulai, Barangkali Seraya Mengakhiri



20 Agustus'09 - 20.49
Seorang sobat kerap berkata, “Selalu kuakhiri sebelum kumulai.” Karena kesenasiban barangkali kata-katanya itu menenangkan. Memberi ruang bagiku yang belum juga menyelesaikan mendengarkan lagu yang selama ini mampir ke telinga. Pernah barangkali lagu itu selesai, dengan coda yang senada dengan intro; dengan bantuan seseorang yang adalah lagu itu sendiri; intro yang tak kucipta, dengan coda yang kucipta; sama dan berbeda di saat yang sama; awal dan akhir yang adalah sama sekaligus berbeda; tapi tidak utuh sama sekali; tidak; sama sekali. Terimakasih untuknya, karenanya sempat kudengarkan sebuah lagu penuh, meski tidak utuh.

Hari ini kudengar laguku sendiri. Lagi-lagi. Intronya kucipta sendiri, tapi baitku tak juga mendendang. Lagi-lagi. Dimana lagu ini tak kan selesai? Betapa pesimisme itu mengakrabiku. Betapa aku lelah melarikan diri, mencari nada-nada lain yang tak juga habis kuselesaikan sampai coda. Kubiarkan berhenti; kadang di bait pertama, kadang di refrain kedua, kadang di melodi tengah. Kutinggalkan supaya bambu-bambu mencipta melodi sendiri menyelesaikan sisanya. Atau buai angin dalam gesek dedaunan. Atau gemericik air di antara batu-batuan. Kenapa harus, selalu? Kenapa kau lari anak ingusan? Lari, lalu menangis sendiri. Apa yang kau cari? Apa yang kau takuti? Apa yang kau rindukan? Sampai kapan? Sesuatu yang barangkali aku tahu jawabnya dimana. Tanya itu makin nekad menyusup petangku kali ini. Dan tulisanku berharap dapat mengusirnya jauh, supaya aku tidur nyenyak seperti biasa.

Setidaknya beberapa bait saja melagu, selanjutnya mungkin kuakhiri sendiri, sampai coda. Entah kapan, pada saat waktu tergesa-gesa memindahmu dari ruang ini, ingin kumulai, barangkali, seraya mengakhiri. Satu lagu untukmu dan aku mungkin bisa berlari, lagi. Sebut aku pengecut. Setidaknya ingin kuselesaikan laguku, hanya supaya kau tahu ia ada. Untuk tahu lagumu untuk siapa, laguku buatmu nantinya, aku tak harus tahu meski ingin. Apa ini yang kutakuti? Maka aku berlari? Apa yang kucari? Apa yang kurindukan?

Tak kan utuh, mungkin, tapi ada sebuah lagu, entah kapan. Aku sangat ingin sebuah lagu yang panjang, dengan nada dan bait yang tak harus kutulis sendirian, dan akhir yang tak harus kuakhiri sendirian, tapi itu tak mendesak. Hanya saja, lagu macam itu sering mengganggu malamku. Dan tulisan malam ini tak akan menyelesaikan lagu apa-apa, tapi membantuku terlelap.

Rabu, 12 Agustus 2009

Sajak Kebingungan yang Membingungkan

8.44 ; 13 Agustus ‘09




Kacau balau di bawah air tenang. Tidak tahu, tidak mau tahu, tidak peduli. Air tenang dalam dunia yang ramai. Kurenggut lamunan di pusaran udara sunyi. Kurenggut lamunan di putaran udara yang berisik. Kupandangi diri di bawah air tenang tanpa mencoba mengerti. Aku tidak tahu apa yang kuinginkan. Aku tidak lelah. Aku tidak ingin bercanda. Aku tidak menangis. Aku mau memandangi diri di bawah air tenang tanpa memarahinya.

Aku tidak ingin apa-apa, tapi kulakukan apa-apa. Hiruk pikuk ini merenggut pembicaraan. Aku mau bicara tapi tak juga ku bicara. Kemana semua orang? Semua orang timbul tenggelam dalam ketidaksadaran. Aku jadi tidak ingin apa-apa.

Aku mau berteriak, tapi aku tak berteriak. Billie Joe Armstrong mengisi kerongkonganku dan aku merasa berteriak. Aku ingin punya band punk, barangkali? Aku ingin menjadi seorang punk maka aku adalah seorang punk. Baik, aku sudah menjadi seorang punk, lalu?

Aku ingin memandangimu saja, barangkali? Aku tidak begitu ingin, aku mau memandangimu saja. Aku mau menjadi hantu, memandangi kehidupan tanpa kelihatan siapapun. Memandangi kehidupan di tengah alam yang ramah. Tapi tak ada alam yang cukup ramah untuk memandangi kehidupan akhir-akhir ini, dan akhirnya aku tidak jadi ingin menjadi hantu di tengah-tengah alam yang ramah.

Aku tak ingin mendengarkan keporak-porandaan, tapi aku mendengarnya. Aku mendengar keporak-porandaan di tengah orang-orang dan aku tidak suka. Aku mendengar keporak-porandaan sendirian, dan aku menyukainya.

Aku melakukan semuanya, tapi aku tak benar-benar ingin. Barangkali aku tak merasa lucu saat aku tertawa, aku tak begitu yakin. Aku tak sadar waktu tertawa, barangkali?

Aku mengantuk, tapi aku tak juga tidur. Aku memikirkan sesuatu, barangkali? Apa yang benar-benar kuinginkan? Nah, itu mungkin yang kupikirkan. Aku akhirnya menulis.

Malam yang kelap-kelip di sebuah bukit yang baik hati tidak juga menyalakan hasratku. Dalam dingin pekat yang menggigit ada yang padam satu per satu. Apakah semua cahaya sudah lenyap? Lalu apa yang membuatku tetap melangkah? Ini bukan aku. Aku tak memiliki milikku. Aku sedang kehilangan diriku. Lalu aku mulai menangis karena aku tidak tahu kenapa. Ini bukan milikku. Ini milik orang-orang itu yang membuatku melangkah. Aku tidak antusias mencari apa, kenapa, siapa, di mana. Tapi aku melakukan bagaimana. Entah sampai kapan. Apa ada cahaya yang tersisa? Mungkin aku tidak harus ingin, tidak harus mencari apa yang kuinginkan. Aku membutuhkan sedikit saja cahaya, aku tak peduli aku ingin apa. Buat apa cahaya, ya? Melanjutkan yang tersisa? Semoga tidak begitu juga.

Rabu, 05 Agustus 2009

Siapa Pencipta Kata Cukup?

Ini lebih dari cukup, tapi aku masih kekurangan. Tentu saja. Kata cukup itu sebenarnya tidak pernah ada di bumi fana. Bumi fana terus bergerak, bahkan saat aku atau kamu tidak bergerak. Siapa sih yang menciptakan kata cukup? Pasti naif sekali.

Sudah kuketahui sejak awal, bahwa kamu tidak akan pernah cukup buatku. Meski harus menunggu sampai aku atau kamu tidak bergerak. Jika bumi fana tidak bergerak, mungkinkah cukup sudah akan muncul? Terus kenapa ada kata cukup? Mungkin supaya ada yang tidak cukup. Supaya yang tidak cukup, punya alasan untuk menjadi tidak cukup.

Dan disinilah aku, merasa tidak cukup-cukup. Tapi ini tidak buruk. Sungguh tidak buruk. Ini membuatku sangat senang ke kampus. Menuntut ilmu dan menuntut yang lain-lain juga. Heran sekali. Aku tidak punya hasrat menuntutmu, meski kamu tidak mencukupi. Aku sudah tahu, kamu atau yang lainnya tidak akan cukup, maka aku tidak mau menjadi suka menuntut.

Namun, jika boleh merasa tidak cukup, aku sedang merasa tidak cukup. Aku ingin kamu lagi. Lagi. Lagi. Aku ingin ceritakan satu hal yang tidak ada hubungannya dengan kecukupan, tapi cukup lucu buatku.

Kenapa kamu selalu muncul di saat yang aneh? Seaneh kupu-kupu yang berdatangan ke putik-putik bunga saat penyihir berkomat-kamit memohon angin datang dengan mantra-mantranya. Hasil akhirnya sama, bunga-bunga berbuah, meski dengan cara yang tak disangka-sangka. Pertama, kau muncul saat mantra selamat pagi kudendangkan. Kukira kau akan muncul lebih siang lagi. Kedua, kau muncul saat aku menyebut namamu ratusan kali. Kukira kau akan datang waktu aku tak menyebut namamu. Ketiga, kau muncul saat aku menenggelamkan diri dalam rajutan kata-katamu. Kukira kau akan muncul saat aku sama sekali tak memikirkanmu, apalagi menelusuri rajutan kata-katamu. Jika ini tak cukup lucu, maka kau adalah korban dari ketidakcukupan bumi fana.

Kedatangan-kedatangan itu masih membuatku merasa tidak cukup. Entah juga, “masih”, atau “justru” membuatku merasa tidak cukup. Apakah obrolan adalah sesuatu yang mahal? Sekarang ini rasa-rasanya iya. Kedatangan tidak cukup, obrolan barangkali cukup. Aku tak peduli apa yang akan membuatku merasa tidak cukup nanti setelah obrolan. Aku tak mau mematok batas cukupku, karena itu sangat membebani. Mana aku tahu, dulu, bumi fana tidak pernah cukup. Siapa sih pencipta kata cukup? Pasti naif sekali. Dan aku, dulu, pasti aku naif sekali.

Jadi, berapa juta kata-kata lagi yang cukup untukmu? Berapa juta kata-kata akan cukup untuk mengisi ketidakcukupanku akan kamu? Memikirkan kapan dan berapa kata-kata mencukupi sangat membebani, dan lagi, kelihatannya sia-sia. Siapa sih pencipta kata cukup? Pasti ia suka berbohong.

Coba lihat. Berpasang-pasang orang selalu merasa tak cukup akan pasangannya. Ada yang mencari kecukupan di luar pasangannya, ada yang mati-matian percaya kecukupan ada pada pasangannya. Padahal, tidak akan cukup-cukup. Apalagi aku, akan kamu, yang tidak berpasangan. Sedang pasangan-pasangan yang sangat setia itu makin hari makin jadi serupa karena mereka bertransfer kecukupan. Jangan-jangan makin lama mereka malah akan bertukar tubuh karena mentransfer dirinya pada pasangannya. Tapi, itu tidak buruk. Sungguh-sungguh tidak buruk.

Lalu, apakah aku harus minta ijin untuk memikirkanmu? Atau cukupkah dengan tidak minta ijin? Aku harap kamu tak marah kupikirkan, karena inilah salah satu jalan melampaui ketidakcukupan, meski bukan berarti menjadi cukup. Jadi sebenarnya, ini bukan masalah cukup atau tidak cukup, tapi masalah sensasi menyenangkan yang kudapat saat memikirkanmu. Maaf, ya, kamu kupikirkan.

Tapi setelah tak memikirkanmu dan malah memikirkan kecukupan, kurasa, cukup adalah menerima ketidakcukupan. Omong-omong, siapa sih pencipta kata cukup?

Suaramu, Kamu yang Berwarna Kuning, dan Potret Berwarna Jingga

Sebelum waktunya aku sudah tahu seperti apa suaramu. Tapi pada waktunya pun, aku bisa dengar lagi, itu. Kamu sangat kuning pada waktu itu. Bukan suaramu yang berwarna kuning, tapi gelombang listrikmu. Suaramu masih sama, seperti kaleng-kaleng yang diseret dengan nilon. Lebih seksama, kaleng-kaleng yang diseret dengan nilon di ruangan penuh gabus. Empuk, dan aku mengantuk. Tapi gelombang listriknya bikin aku terjaga karena mengulum cengiranku. Tahu tidak? Atom-atom jantungku jungkir balik, menertawai lelucon yang dibawa oleh gelombang listrikmu, menertawai diriku yang tidak bisa tertawa karena lelucon gelombang listrikmu sungguh-sungguh lucu, dan aku masih tidak tertawa. Gelombang-gelombang itu melambai di tanganmu dan bersuara di sebuah kata sapa. Sial! Kamu menyetrumku lagi. Aku hanya bisa menuliskan gelombangku sekedarnya karena kehabisan tenaga akibat kena setrum. Tapi tak apa, hari ini aku bisa membawa pulang potret gelombangmu. Ia berwarna jingga. Warna kuningmu itu tercampur dengan gelombang merah meletup-letup punyaku. Potret ini sangat hangat oleh warna kuningmu dan membara dengan warna merahku. Maka ia berwana jingga. Heran, padahal itu belum senja. Dan kenapa kamu berwarna kuning? Heran, ketika itu pagi kan sudah pulang. Tak lama kemudian kamu yang pulang. Aku menyesal aku tak memberimu oleh-oleh senyum, padahal kamu sangat kuning saat itu. Sangat kuning sampai teman-temanmu dengan gelombang hitamnya tampak kontras dengan kekuninganmu. Iya, teman-temanmu sangat mengagetkan. Tampaknya heran karena kamu berwarna kuning dan aku berwarna merah. Dan bagaimana tiba-tiba kuning dan merah itu menjadi jingga karena gelombang-gelombang lucu berbincang-bincang dan meleburkan diri mereka. Sorot mata mereka sungguh-sungguh mengerikan. Seperti ingin menerkamku dengan kecurigaan mereka. Aduh, aku lupa seperti apa suaramu. Kata-kata tidak cukup peka untuk menyuarakannya.

Jumat, 31 Juli 2009

Setrum

Aku belum sarapan, tapi aku tak lapar, tidak biasa. Kenyang oleh ucapan selamat pagi. Dunia tiba-tiba jadi cerah dan bersahabat, hanya gara-gara selamat pagi. Kadang begitu mudah membuat bumi jadi berkilauan. Selamat pagi dan sepotong kabar tak penting darimu. Kabar tak penting yang tetap tak penting setelah kubaca berulang kali, tapi terasa sangat menyenangkan. Seperti buah-buahan warna-warni yang berenang-renang di sirup strawberi yang main mata dengan lidahku. Kenapa aku jadi begini absurd, adalah karena kau mengijinkan dunia menjadi absurd. Maka menjadi bukan kesalahan memikirkanmu dengan cara ini.

***

Awal dari pertemuannya, sangat lucu buat teman-temanku. Akhirnya aku tak perlu bersusah payah mencari suaramu di tengah kebisingan macam kemarin. Hum, seperti kaleng-kaleng kosong yang diseret dengan nilon, suaramu. Kamu tampak sangat manusiawi hari ini. Antusiasme itu tak perlu susah-susah kuraba dengan jarak sesempit ini. Meski, secara maya, jarak ini masih terbentang panjang. Energimu nyata-nyata ada di hadapanku. Dan saraf-sarafku keranjingan. Mereka pasti sedang menari dengan heboh menanggapi keaslianmu yang palsu itu.

Sial, saraf-saraf ini menarikku pergi dari ruang ini. Tidak, aku tak ingin menari bersama kalian. Aku ingin hadir di momen ini, di ruang dan waktu ini. Sial! Kalian menarikku jauh dari momen ini. Ke ruang yang tak bersisi, ke waktu yang tak berbatas. Ah, dimana dan kapan ini? Aku lupa semuanya. Lupa. Dan saat itulah keporak-porandaan itu dimulai. Aku terpejam dalam tatapku. Aku bisu dalam ucapku. Aku tak bernafas dalam desahku. Aku kaku dalam gerikku. Tak ada waktu membenahi keporak-porandaan ini. Kau terus menghanyutkanku dalam kekacauan yang kosong. Sosokmu makin samar, suaramu makin pudar, tenagamu makin temaram. Aku setengah tidur, keterjagaanku diisi oleh kegugupan yang tidak perlu. Sungguh tidak perlu. Gelap. Otakku, apa masih di sana?

***

Aku terjaga dan mencoba mengingat semuanya. Ternyata jarak yang dipersempit malah membuatku kesetrum dan pingsan. Seperti apa wujudku saat pingsan tadi, ya? Seperti apa reaksimu? Dengan ingatan samar-samar kugali momen yang tak sempat kumiliki tadi. Momen yang kuidam-idamkan sejak beberapa hari lalu, hilang sudah kena setrum.

Sebenarnya awalnya baik-baik saja. Aku dapat bonus narasi darimu. Tentu saja aku nyengir diam-diam. Takut kau curiga. Kau tahu tidak, inferioritasmu itu menggairahkan sekali. Terus apa yang kau harapkan dariku dengan bersikap begitu? Karena pingsan, maka aku berlagak mempunyai superioritas. Padahal, aku harus kerja keras mencari-carinya di dalam kotak mentalku. Maksudnya, supaya ruangan ini tidak terlalu sempit untuk kita. Terlalu sempit oleh inferioritas. Kau kan tak mau mati dan sesak nafas gara-gara ruangannya dijejali inferioritas? Tapi, setelah ku terjaga, baru kusesali superioritasku. Sungguh tidak perlu mengeluarkannya. Tapi bukan salahku. Kau terus menerus mengisi ruangan ini dengan inferioritas. Apa yang kau harapkan? Karena cemas, maka aku mengajak superioritas untuk membunuhnya.
Hum, walau telah sadar, aku tetap menyukai inferioritasmu. Kamu sungguh-sungguh lucu. Masa kamu tidak tahu kamu punya sayap bagus? Kamu punya sayap bagus, tapi kamu tidak tahu. Kamu sungguh-sungguh lucu.

Terus, obrolan macam apa itu yang kita obrolkan? Kukira kita bakal menyelam dan bermain dengan ikan-ikan, tapi kita cuma bermain ciprat-cipratan air di tepi sungai. Main-main di permukaan air. Tentu saja aku basah kuyup. Aku kan tidak bisa jalan di atas air. Kelihatannya kamu juga basah kuyup waktu kamu tertawa terlalu keras dan aku sama sekali tak melihat sisi lucunya.
Kamu sempat kutinggalkan. Betapa aku menyia-nyiakan momen. Aku sedang pingsan dan butuh oksigen. Mencari oksigen sampai momen berakhir. Dan disanalah kamu, melambaikan tanganmu. Sampai ketemu lagi, entah kapan.

***

Sore kuhadiahi lelah badanku. Dan aku puas memandangimu. Menebak apa dibalik senyum itu, tidak kulakukan. Pokoknya, aku pulang mengantongi senyummu. Peduli apa dibaliknya.

***

Aku luntur ke tepian melihat caramu memandang anak kecil itu. Apa yang kamu pikirkan sebenarnya? Kapan aku bisa tahu apa yang kau pikirkan? Atau apa yang kau pikir kau pikirkan? Apa yang kau rasakan, sebenarnya? Apa aku sudah tahu apa yang kau rasakan hanya dengan mengumpulkan rajutan kata-kata yang kau letakkan sembarangan itu? Kau melihat dari sudut mana? Apa kau kira aku sudah tahu dari sudut mana kau melihat bola yang sangat besar ini? Bola di mana aku dan kau tiba-tiba ada? Aku rasa jaraknya perlu diperpendek, tapi jangan buat aku kesetrum lagi. Aku rasa ruangnya perlu dipersempit, agar aku terbiasa dengan aliran listrikmu. Tidak, aku tidak mau membawa beban harapan untuk hanyut. Aku mau jaraknya dinegasikan. Tetapi, bagaimana?

31 Juli ’09—Mrican—Kamar Kos, setelah puas memandang karena memakai kacamata.

Romantisme Itu, Melelahkan.

18.49 Kamis, 30 Juli ‘09
Lelah. Apa barangkali karena suplemen penambah darahku belum kutenggak? Pil merah itu hilang entah kemana. Padahal ia tidak berharga murah.

Lelah. Terlalu lama aku menunggumu, karena tak puas memandangi punggungmu pagi ini. Setelah sebelumnya aku berjalan dengan iseng ke kampus, bersama hatiku yang nyengir memikirkan kau. Beruntung kau nampak juga sore ini. Tapi aku sudah sangat letih. Ingin pulang ke kamarku dan memikirkanmu dengan nyaman. Tidakkah ini bodoh? Sempitnya jarak cukup menyita energi, ternyata. Kau memaksaku memakai kacamata akhir-akhir ini. Saat duduk di batas pandang kau nampak juga. Dibalik kaca, aku harap aku tak menakutimu karena terus-terusan memandang.

***

Kau masih di sana, berbicara dengan antusias. Sesuatu yang tak kutemui di dunia maya pun dunia nyata selama ini. Dan aku tak bersama kaca mataku. Mencoba menangkapmu dengan mata tanpa lensa, seperti mencari sebuah kancing berwarna krem di dalam sekarung kacang kedelai. Seharusnya, kau dan senja, dan pepohonan rindang, dan lapangan rumput yang luas, dan kesunyian, dan angin, dan debar jantungku, menjadi perpaduan yang romantis. Tapi semuanya samar. Temaram malah membuatmu tampak seperti lukisan surealis dari sini. Menangkap suaramu pun sia-sia. Orang-orang yang sedikit di sekitar kita ini sangat berisik. Aku tak bisa mencapai suaramu. Seperti apa suaramu, lelaki pembawa diam yang tak lagi membawa diam? Apakah berat seperti dentam buku tebal yang dijatuhkan ke lantai marmer? Atau nyaring seperti kaleng-kaleng kosong yang diseret dengan nilon? Apakah terdengar seperti terompet tanpa nada? Atau lembut seperti selimut tidurku? Hum, selimut tidurku…. . Aku ngantuk. Mungkin Sabtu nanti aku bakal mendengar suaramu. Hari ini sangat berisik, aku mau sembunyi minggu ini. Sssst…. Hanya kau yang kuberi tahu, meski kau mungkin tidak bakal tahu.

Kamis, 30 Juli 2009

Saat Hari Hujan





Paradoks bahwa aku belum pernah memiliki perasaanku sendiri. Belum juga hari ini. Maka aku tak ingin menggalinya lebih dalam. Maka kali ini aku hanya bermain-main di atas tanah. Membiarkan, barangkali hujan, menyingkap timbunan-timbunan kemungkinan di hadapanku, tanah lapang yang luas. Dan beberapa hari ini, hujan turun.

***

Yang ia lakukan hanya: diam saja. Lalu apa yang membuat hujan menyingkapnya? Bukankah ia tak punya dosa, wahai hujan? Satu-satunya dosa yang dimiliknya adalah, ia ada; dosa asalnya. Lalu, entah kepolosan mata angin macam apa yang membuatnya hilir mudik di tanah lapang itu. Persetan! Aku tak mau ambil pusing soal makna kemunculannya.

***

Tapi terkadang ia berhasil membuatku menunggunya nampak. Placebo yang tidak pernah membuatku ketagihan, mulai nakal. Adalah ketidaksengajaan yang selalu menghubungkanku dengan parasnya. Bermain-main dengan momen, kemudian. Menunggu momen memberi ijin padanya untuk tampak sempurna. Adalah karena kesementaraan dari kesempurnaan, maka aku tak ingin melewatkannya. Seperti kunyahan apel di mulut, dengan kesegaran dan kemanisan sementaranya. Seperti sesapan kopi, dengan aroma dan kehangatan sementaranya. Seperti pijar kembang api, dengan cahaya dan gemerisik bara sementaranya. Kesementaraan yang selama ini mengisi rongga otak macam angin lalu. Setelah angin berlalu, aku lupa dosa asalnya, lupa ia ada. Namun, tiap kali kesementaraan itu datang, saraf-sarafku menari-nari. Menari sampai angin berlalu dan aku lupa ia ada.

***

Nah, ia hilir mudik. Lagi-lagi hilir mudik. Aku sedang sangat sibuk, maka ia kubiarkan lalu. Sampai akhirnya aku melompong dan kosong karena membersihkan isi hati dari luka-luka. Baru aku menatapnya. Maaf, mungkin kau kompensasi. Tapi , kau tahu? Kau terlalu indah untuk jadi kompensasi saja. Barangkali pembenaran yang membuatmu jadi kompensasiku. Keadaan. Aku toh tak mengenalmu, jadi aku tak merasa berdosa berkata ,”Kau kompensasiku.” Jika saja aku punya kesempatan, kau tak bakal jadi kompensasi. Kau seperti tumpukan buku-buku yang disusun sembarang di atas meja kecil di kamarku. Lebih menarik tentu, jauh, lebih menarik ketimbang kotak sampah di depan kamar yang sering dipadankan dengan kompensasi. Apa hanya karena jarak maka kau indah? Kau tahu, kan, kadang-kadang cela baru kau temukan jika kau menatap lukisannya dari jarak sangat dekat. Tapi sudahlah, banyak yang tidak indah juga dari jarak sejauh apa. Kau indah dari jauh sini, seperti padang rumput berbukit-bukit dengan pohon-pohon di sela-sela ketiaknya. Dari jauh sini, kau juga tampak serupa denganku. Apa ini hanya bentuk identifikasi orang yang sedang mencari arus untuk hanyut? Barangkali. Kalau tidak salah, sepembacaanku, kamu itu melankolis, rapuh, absurd, sendiri, dan indah. Misteri kita yang barangkali berbeda? Sudahlah, aku tak mau ambil pusing. Setiap kali aku ambil pusing, aku benar-benar pusing akhirnya. Aku belum hanyut karena arusmu. Dulu, bertahun-tahun lalu, aku sudah bisa bilang ,”Rasa-rasanya aku sedang hanyut,” saat ada yang berhasil mengaduk-aduk perutku macam sekarang. Tapi setelah aku berkali-kali memecahkan bola kaca karena mengaduk-ngaduk perutku dan membuat badanku panas dingin, aku mau lebih hati-hati. Perasaan ini adalah mengantuk di tengah gerimis yang mulai melehkan aku ke tepian. Kau punya sesuatu yang melekat padamu. Sesuatu yang elok. Entah juga, aku malah belum membuktikan dongeng-dongeng tentangmu itu. Tanpa kelekatan itu, kau sudah cukup bisa mengaduk perutku, kukira, karena kau punya momen sempurna yang sulit kutangkap itu. Lalu apa yang bisa membuatku hanyut, sekarang? Kelihatannya, otak dan hatiku mesti dilelehkan oleh gelombang keapaan. Itu juga belum cukup membuatku hanyut. Aku perlu ruang, bahkan lebih dari ruang, jaminan bahwa aku hanyut dengan leluasa bersamamu, atau siapapun yang bisa melelehkanku ke alirannya. Hanyut dan melepaskan bola kacaku sesukanya, karena aku percaya pada arusnya. Aku punya bola kaca yang harus dijaga, ia mudah pecah. Apa kau juga punya?

***

Namamu bikin perutku mulas. Akhirnya angka-angka itu bisa kugunakan juga. Darurat sudah datang. Kata-katamu membuat perutku teraduk-aduk lagi. Aku paksakan kata-kata itu memegang makna. Dan aku tidur nyenyak. Dan seharian aku senyum-senyum sendiri. Absurd. Absurd dan hanya absurd yang telah, dan akan menjagai bola kacaku.

***

Rabu, 29 Juli 2009

Nomor




Tiba-tiba ia di sana.
Hadiah dari sobat.
Kombinasi angka yang beruntung.
Karena dimiliki oleh seorang yang membawa diam kemanapun.

Sepenglihatanku.
Sependengaranku.
Sepembacaanku.

Indah dengan jarak yang kumiliki.
Merdu dibalik suara-suara.
Sempurna dari persembunyian.

Begitu angka-angka tiba, senyum sinis menerpa bibir.
Memangnya apa yang akan kita lakukan, hai angka-angka?
Menghapalkanmu? Absurd.
Memandangimu? Jauh lebih absurd. Konyol, kita.
Kita. Aku dan angka-angka.
Lalu apa yang kau lakukan di layar itu, ha?
Aku. Aku yang memenjaramu di sana.

Menggunakanmu adalah mengurangi jarak pandang.
Meragukan keindahan.
Bikin sumbang kemerduan.
Mematahkan kesempurnaan.
Berakibat kehancuran, barangkali, buatku.
Berbahaya.

Maka aku tetap di sini.
Mengitari si pembawa diam dari berbagai sudut.
Sekarang. Entah besok.

Angin, hembusi aku.
Cahaya, lelehkan aku.
Hujan, lunturkan aku.
Arus, hanyutkan aku.
Bawa saja aku sesukamu.
Tapi aku tak mau perang sekarang.
Dan lagi tidak harus perang.

Bisakah, diriku?
Dan lagi, memang dia peduli?
Memang aku peduli?
Mari, tidak usah peduli.
Jadi, angka-angka, alam harus menunggu darurat untuk bisa menggunakanmu.

Sekarang, berdiri di sini, cukup. Entah besok.

Minggu, 19 Juli 2009

PINTU TERTUTUP - SARTRE



Inez:

Melupakan yang lain? Mustahil. Aku merasakan kehadiranmu, di setiap lubang kulitku. Keheninganmu bersorak-sorak di telingaku. Kau bisa memaku mulutku, memotong lidahmu - tapi kau tidak bisa meniadakan kehadiranmu di sini. Apa kau bisa menghentikan pikiranmu? Aku dengar dia berdetak bagai jam dan aku yakin kau juga mendengar bunyi pikiranku. Bisa saja kau berdiam diri di atas sofamu, tapi kau ada dimana-mana dan setiap bunyi yang sampai padaku sudah kotor karena kau jaring terlebih dahulu.Kau sudah mencuri mukaku. Kau tahu itu, sedangkan aku tidak. Dan bagaimana tentang dia, tentang Estelle? Dia juga sudah kau curi dari aku. Sekiranya dia hanya bersama aku, kaukira dia akan memperlakukan aku seperti itu? Angkat tanganmu dari mukamu! Aku tidak akan membiarkan kau senang diam - terlalu menguntungkan buat kau. Kau duduk di sana bersamadi seperti orang yogi, dan biarpun aku tidak melihat dia aku merasakannya dalam tulangku - bahwa dia memperdengarkan suara-suara, untuk kepentinganmu - bahkan desir gaunnya - bahwa ia melemparkan senyuman yang tidak kau lihat.... Aku tidak mau terima. Biar aku memilih nerakaku sendiri. Aku lebih suka memandang matamu dan berkelahi berhadap-hadapan dengan kau.

Kotaku dari Mataku - Enam : Reportase Bersama Richie Richardus P. A.

Reportase Pertama: Dilarang Masuk!



Panas. Pusing. Lapar. Kota Gede, tunjukkanlah pada kami lokasinya: Rumah Pengetahuan Amartya. Sudah kami itari kau, masih tega juga telantarkan kami begini? Kurang apa? Tanya polisi setempat, sudah. Tanya tukang rujak, sudah. Tanya tukang cendol, sudah. Tanya ibu-ibu, sudah. Tanya bapak-bapak, sudah. Sama jawabnya: SD Amartya? Wah, tidak tahu. Griya Mutiara? Ke utara, terus ada kecamatan, terus ke Timur, setelah itu ke Selatan. Dong ding! Pak, bukankah arah yang Anda berikan hanya akan membuat kami kembali ke tempat di mana Anda berdiri kini? Masalahnya, petunjuk Anda kami ikuti juga.

Sampailah di sebuah perumahan. Kalau tidak salah, Mutiara Indah. Ah, ada mutiara2nya. Aku terperanjat.

“Dilarang masuk???!” kata Richie dengan emosional.

“Ah,masa?” jawabku tak kalah emosional. Cuaca Jogja sedang tak karuan panasnya. Ya, ampun. Sudah separah inikah alienasi-nya? PIkir saya. Lantas bagaimana pemilik rumah dan tamu-tamunya menikmati akomodasi perumahan bagus ini?

“Oh… pemulung….,” klarifikasi Richie kemudian. Kami berdua tak melihat ada tulisan: PEMULUNG/PENGAMEN di bawah kata “DILARANG MASUK”. Karena merasa diri bukan pemulung pun pengamen, maka kami beranikan diri masuk. Namun naas, bukan ini perumahan yang kami cari. Pak Satpam yang setia berjaga menjelaskan ada perumahan lain yang benar-benar bernama “Griya Mutiara”, tidak pakai “Indah-indahan”.

Maka dengan sedikit-banyak tanya2, sampai juga kami ke tempat itu. Tapi, tak jadi masuk. Ragu bahwa tempat ini adalah yang kami maksud. Pasalnya, untuk mencari SD Amartya, kami hanya bermodal klu: SD Alternatif Amartya, Griya Mutiara, dan Kota Gede. Memastikan lokasi, kami telfon Mbak Sis yang kami anggap tahu selik beluk selatan Jogja. Mbak Sis pun tak yakin. Karena perumahan begitu sepi, kami tak dapat bertanya-tanya lagi yang mana rumah Eko Prasetyo, pemilik SD Amartya, tinggal. Satpam pun tak ada. Hanya ada seorang bapak yang merasa dirinya bukan satpam dan bukan penduduk setempat, duduk di pos satpam. Kami pulang.

“Bagaimana kalau kita ke kapitalis baik hati?” kata Richie. Adalah sebuah tempat makan, di dekat Lempuyangan, yang harga nasi ayam+es tehnya=3000 rupiah saja. Hanya cerita yang kudengar dari Richie dan Bayu yang dengan begitu antusias memuja warung makan tersebut dan menjuluki pemiliknya sebagai kapitalis yang baik hati.

“Okey2!” kataku bersemangat. Lapar.

Aku tak pandai navigasi. Lampu merah. Belok. Tikungan. Belok lagi. Tidak ada tikungan, juga belok. Jalan di samping rel. Belok. Berputar. Berputar. Berputar. Berputar. Lelah dan pusing kepala.

“Chie, dari tadi muter-muter. Pusing aku. Kapan sampainya?”

“Ini sudah sampai,” jawab Richie jumawa. Karena sebentar lagi cerita andalannya berkenaan dengan kapitalis baik hati akan segera terbukti. Motor sudah diparkir. Balik kanan! Yak! BUKA: 13 Juli 2009. Demikian tertulis di depan warung makan yang dari luar tampak seperti rumah penduduk pada umumnya. Nah, ini baru “Dilarang Masuk” yang sesungguhnya.

Reportase ke Berapa, ya??: Lalu Lintas Yogyakarta-Ini disebut Lampu Merah



Jam setengah tujuh pagi. Menunggu Richie dengan was-was. Di telfon tiga kali, tak ada yang diangkat. Barangkali masih tidur. Janji jam tujuh dengan kepala sekolah SD Mangunan. Berniat melihat aktifitas anak SD Alternatif sejak sebelum masuk kelas. Telfon yang ke empat. Suara Richie yang setengah sadar di seberang. Aku tanya ,”Dimana?”; dia jawab ,”Ha?”. Aku tanya ,”Ada motor?”; dia jawab,”Ha?” lagi. Aku teriak,”Richie!”; dia jawab ,”Ha?” lagi. Aku ngomel-ngomel sambil ketawa dia jawab ,”Bentar tunggu!”. Akhirnya. Setengah jam kurang-kemudian, datanglah Richie dengan semangat -yang cukup lah…- untuk cepat sampai tujuan.

Tak kusangka motor melaju demikian cepatnya. Tak sanggup lagi berkata-kata. Aku diam di belakang. Berpegangan erat pada jok belakang. Poni yang beterbangan di terpa angin menusuk-nusuk wajah. Tercekik rasanya. Degup jantung entah masih ada atau tidak. Getaran motor tak sempat membuatku bengong. Waspada. Melihat polisi lalu lintas malah bikin paranoid. Satu, Richie suka tidak (atau tidak suka-sama saja) ber-STNK. Dua, kecepatan motor saat ini cukup menonjol di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Puji Tuhan, Desa Mangunan tampak juga. Sampai.

“Weh, kita cepat juga ya?” ujar Richie tak berdosa.

Pukul sepuluh, pulang. Berniat mencari Rumah Pengetahuan Amartya yang hingga detik itu belum juga kami temukan. Informasi maya pun nyata telah dijajaki. Lokasi Amartya simpang siur. Dengan bekal baru kami berniat menjelajah Bantul. Klu kali ini: utara Giwangan. Setelah sebelumnya, klu-klu lain bergelimpangan salah.

Giwangan dari utara hingga selatannya telah kami obrak-abrik.

“Utara Giwangan apa utara Terminal Giwangan, ya?” ujarku ragu. Setelah sms pada Nea selaku pemberi informasi tak dibalas jua, kami tuju Terminal Giwangan. Richie tiba-tiba berhenti. Barangkali ingin bertanya pada orang-orang sekitar. Tapi tak ada orang di sekitar. Lantas kenapa Richie berhenti di sini? Di tempat yang begitu tanggung karena lokasinya yang di pinggir jalan ramai.

“Chie, jangan berhenti di sini. Mau tanya siapa, gak ada orang,” ujarku heran. Richie diam saja.

“Chie, maju ke depan lagi tuh lho. Tanya ke penjual-penjual kelontong di sekitar sini barangkali tahu,” ujarku lagi. Richie diam. Barangkali tidak dengar.

“Chie! Chie!” ujarku.

“Maju Chie! Maju!” ujarku lagi.

“Kamu lihat itu?” ujar Richie menunjuk ke atas. Kuikuti telunjuk Richie. Lampu merah sedang menyala.

“Lampu merah,” ujar Richie tanpa tendensi. Kulihat kendaraan-kendaraan di sebelah kanan sedang menunggu lampu hijau.

Aku terbahak. Sampai lampu hijau dan kendaraan akhirnya benar-benar maju. Masih terbahak.

Sayangnya, Rumah Pengetahuan tak juga ditemukan. Namun, kali ini rencana makan di kapitalis baik hati, kesampaian.

Sore hari. Niat berkumpul bersama teman-teman Natas. Richie membawa kabar ironis.

“Weh, gampang aja cari Rumah Pengetahuan tu!” ujar Richie.

“Tadi aku cerita kita bingung cari Rumah Pengetahuan punya Eko Prasetyo. Tommy tadi ke sini. Katanya dulu Eko Prasetyo mantan PU Keadilan!”

Aku meringis.

NB: Keadilan = nama LPM; Tommy=anak LPM Keadilan

Kotaku dari Mataku - Lima : Lagi, di Lampu Merah




Di suatu pagi merambah siang. Di sebuah angkutan umum. Setelah melahap burjo di burjo sambil menggali pengalaman bersama Sita. Setelah malam penuh bahak di sebuah tempat makan. Sesaat ingat helm yang kutinggalkan di kontrakkannya. Angkot melaju. Sebentar kemudian menaruh curiga, dengan alasan kuat, pada seorang bapak yang pada akhirnya tak patut dicurigai. Karena kesederhanaannya, barangkali, kupungut lagi curigaku. Manusia….. musuh manusia lainnya. Kebersahajaan yang belakangan hanya bisa ditatap di film-film dan mulai langka ditemui di hidup fana jaman ini. Betapa gampang menarik simpatiku. Mulai, mual dan mengantuk. Penyakit kambuhan saat di angkutan. Memperhatikan beberapa nenek dan kakek di sekitarku. Di hadapanku, beberapa keranjang, barangkali dagangan.

Dan, lampu merah. Anak kecil berbaju merah. Tujuh? Tidak, sepuluh tahun? Kelihatan menyindir kehidupan, buatku. Barangkali karena asap rokok yang mengepul dari mulutnya. Barangkali karena keakrabannya dengan jalanan; dengan kulit terbakar mataharinya; dengan kejumawaannya, duduk di pinggir jalan sana. Seolah tak peduli aku mengkhawatirkan keterlantarannya. Dia tak akan tahu. Aku tak takjub pada ketidakpeduliannya. Cuma merasa diingatkan, banyak hal mesti dibenahi. Tidakkah nikotin terlalu cepat untuk paru-paru mudanya? Tidak? Kurang dari lima menit dan kendaraan ini melaju lagi. Jadi, apa kau tahu anak kecil? Setelah kita bertatapan?

Kesadaranku kembali ke kendaraan sempit ini. Seorang bapak yang sama, yang duduk di belakangku, yang kucurigai, tapi tak jadi. Menjelaskan tempat ini dan itu pada dua orang anak gadisnya yang takjub pada kota. Ingatan tentang ayah tiba-tiba merasuk. Rindu ayah dan masa kecilku, saat aku mendogmakan segala ucapnya, saat aku menjadi begitu banyak tanya di kendaraan umum, saat aku percaya sebentar lagi kita sampai kala pusing kepala merajuk, sebelum aku bisa membentengi diri dengan skeptisku, macam kini. Dan kepercayaan pada cintanya, yang kusyukuri, masih bertahan hingga kini. Bapak dan dua anak kecil, turun. Wajah-wajah antusias dan penuh semangat, entah karena apa. Mereka turun, entah mau kemana lagi. Masih tersisa gurat bersahaja di wajah sang bapak, saat kendaraan ini menyeret batas pandangku darinya.

Kaos biru: kaosku, kaos supir angkot. Angkutan warna biru. Turun di Gejayan, aku, dan kaos biruku, tentu. Kantukku diinjak-injak inspirasi yang berlari penuh semangat. Yang pada detik ini menari-nari bersama jari-jariku di papan kunci (di-Inggriskan sendiri). Membuncah ke langkah kakiku. Ingin cepat pulang ke kos. Menikmati kesendirian yang rupawan. Berniat melukiskan suasana tadi, dengan kata-kata berbunga. Jadi, sore nanti ke gereja tidak, Fafa?

Kotaku dari Mataku - Empat: Birokrasi dan Sandal Jepit




Kantor Dinas Pendidikan Yogyakarta. Siang hari. Pakaian rapi-rapi. Suasana resmi-resmi. Aku dan Nea dan sandal jepitku. Berharap dapat ijin wawancara dengan gaya sok penting. Dikira kartu pers bisa menolong menyempitkan waktu tunggu . Tidak juga. Seperti biasa, bikin janji dulu. Bukan gara-gara sandal jepitku, kan?

***

Kantor surat kabar kota. Tujuan, cari sponsor. Aku dan Richie dan sandal jepit kami, dan Laras. Sekretaris jutek. Menceramahi kami soal birokrasi. Kalau tidak terpaksa kami tak mau kenal dekat dengan birokrasi, bu sekretaris. Dan sebenarnya dengan senang hati kami bakal kompromi dengan birokrasi asal Anda tidak sejutek itu. Bukan karena sandal jepit kami, kan? Niat pulang, mesti ditunda. Ada razia di tikungan depan. Richi, kan? Bawa STNK bukan kapan ingat, tapi kapan suka. Pura-pura tidak tahu, parkir motor dulu. Motor siapa? Entah. Ujar kami duduk santai. Mengamati orang-orang sial yang pada cemas karena tak siaga akan razia. Ada celah melarikan diri. Segera motor berlari. Tidak, sekali ini bukan karena sandal jepit.

***

Lantai dua. Urusan UKM. Di pintu depan tertulis: STOP SANDAL JEPIT. Aku dan Nea dan sandal jepit kami. Minta beberapa berkas. Ada yang muncul dari dalam kantor. Firasat bahwa sesuatu dapat terjadi karena sandal jepit kami, muncul. Kakiku dan kaki Nea bersembunyi di kolong meja. Tak ada guna. Urusan sudah selesai, dan kami harus pergi, dan kaki-kaki bersandal jepit harus keluar dari kolong meja. Cemas. Bukan apa-apa. Tidak ingin dapat ceramah hanya karena sandal jepit. Yang keluar dari kantor tersenyum. Aku dan Nea tunggang langgang buru-buru keluar ruangan. Barangkali "yang keluar dari kantor" bingung. Naik lift? Jangan! Turun tangga! "Yang keluar dari kantor" pasti naik lift. Hindarkan kaki kita dari pandangan menghakimi "yang keluar dari kantor". Ngebut turun tangga. Masuk kamar mandi. Ketawa terbahak-bahak berdua. Sekali ini, adalah karena sandal jepit.

Kotaku dari Mataku- Tiga: Penyelamat Perut di Malam Hari yang Menyelamatkanku Demi Menyelamatkan Perutnya dan Perut Keluarganya




Perut merongrong minta diisi. Kau kutunggu. Bukan karena aku pemakan manusia macam Sumanto. Kau jualan mie tek-tek. Jam tujuh, atau delapan, atau sembilan, atau di antaranya. Di Pringgodani, dengan gerobak. Dan lampu, dan kuali, dan kompor, dan pisau. Dan telur, dan bawang putih, dan cabe, dan daun bawang, dan kecap, dan air, dan garam, dan dicampur, berurutan. Selalu, bihun goreng. Kalau ada modal, pasti Bapak Mie Tek-Tek sukses. Apa karena lidahku jodoh sama masakannya, entah juga.

Selalu ramah. Perawakan kurus, kulit putih, berpakaian rapi dan bersih, tinggi sedang. Suka senyum, suka bertanya, suka menjawab, suka tertawa. Tidak pakai kerupuk, Pak. Sedang.

Pilpres pilih nomor tiga. Mbak? Saya tidak pilih, Pak. Ya, sebenarnya pilih siapapun juga sama saja ujungnya, Mbak. Nomor tiga ternyata, ya….begitu juga.Begitu bagaimana, Pak? Begitulah, Mbak. Anak-istri pilih nomor dua.

Anak saya? Tidak kuliah, mahal. Ditawari kuliah di tempat yang terjangkau, tidak ingin. Sekarang kerja. Pergi pagi-pulang malam, penghasilan tetap kecil. Jam kerja ditambah, gaji tetap. Kadang saya kasihan, anak saya terlalu capai. Untung dia tinggal sama saya, dekat tempat kerja, kalau tidak, gaji pasti nombok untuk ongkos dan makan. Sekarang saja makan bawa dari rumah. Ditawari kerja di Jakarta, gaji lebih besar, tapi pasti sama saja. Biaya hidup di Jakarta lebih mahal. Bayar tempat tinggal dan makan sendiri. Dulu negeri murah, sekarang tidak ada yang murah.

Kerja, banyak saingan. Dulu di sini hanya saya yang jualan. Sekarang, di mana-mana warung makan. Apa-apa mahal.

Masakan bapak itu enak, Pak. Wajah Bapak Mie Tek-Tek sumringah, tertawa malu-malu. Empat ribu lima ratus ya, Pak? Terimakasih. Perut saya selamat. Mudah-mudahan perut bapak dan perut keluarga bapak juga. Omong-omong sampai kini aku lupa namamu, Pak.

Kotaku dari Mataku- Dua: Pak Pemulung



Beberapa helai putih rambutnya, membuat kepalanya tampak abu-abu dari jauh. Selalu bertopi dengan posisi tidak benar. Agak miring ke samping. Seolah topi dipakainya tergesa tiap hari, tanpa berkaca. Jalan miring-terseoknya menjadikannya terlihat rapuh. Hampir tiap hari kita berpapasan. Kau dan karung besar di punggungmu itu. Karung, dua kali ukuran tubuhmu. Seberat apa kah? Cukup berat untuk bikinku khawatir kau akan terjungkal dengan karung penuh sesak itu. Pakaianmu tak pernah rapi. Kumal. Berantakan. Aku mengharapkan apa? Orang berpakaian necis yang mengorek-ngorek tempat sampah?

Adakah kau istirahat, Pak? Kita belum pernah berpapasan dalam keadaanmu melepas lelah. Selalu kerja. Entah mengangkat karung besar di punggung. Entah mengorek-ngorek tempat sampah. Tidak pagi, tidak siang, tidak sore, tidak malam. Kau pegang itu karung dan gancu. Ah, ya, pernah kau duduk agak santai. Musim rambutan. Jual rambutan bersama istri. Musim rambutan jadi sering duduk santai, ya? Ingat basa-basiku waktu beli rambutanmu? Kau terbata seperti anak SD belajar bicara. Aku tak jadi banyak tanya karena tak sanggup cerna maksudmu.

Barangkali besok kita papasan lagi? Aku tak sanggup beri apapun. Cuma simpati yang kupunya. Pasalnya kau sering curiga dengan tatapku.

Kotaku dari Mataku - Satu : Dari Bus Kota


“Mengamati kotaku tanpa perlu mendapat jawaban darinya. Menghiasi kumpulan memori dengan praduga sepihak. Merangkai memori dan praduga itu dengan rantai-rantai imajinasi. Maka jadilah sebuah: tulisan berisi fragmen-fragmen realita kota yang dibumbui praduga-praduga dan disajikan dengan sedikit fiksi. Memberi ruang untuk bermain pilah memilah; mana fakta, mana praduga, dan mana fiksi. Saya begitu cinta padamu, metafor. Memberi ruang buatku untuk jadi egois dan seenak perutku. Kapan lagi? Menjadi bebas menelanjangi diri tanpa menjadi telanjang? Tertutupi beragam interpretasi yang sesukanya muncul ke permukaan. Harus. Rela diadili. ”


Dari Bus Kota



Pagi hari, kepala pusing, seperti ramalanku. Tidur subuh karena kopi, sama dengan energi berlebih, sama dengan kesadaran terbatas. Kopi, minuman nikmat yang sayangnya tak bersahabat dengan tubuh. Kepala pusing, jantung berdegup cepat, efek buruk yang mesti ditanggung kalau bala tentara kafein menyatakan perang dengan badan. Duduk di bus kota menambah pusing kepala. Tidak hanya kopi. Kendaraan bermesin roda empat, juga musuh tubuh. Aku seperti lahir dengan bakat mabuk daratan. Maka benci adalah wajar jika naik kendaraan darat roda empat macam ini. Bus kota, apalagi. Jalan lelet, sering penuh sesak, siang = panas, rawan copet, guncangan ampuh yang buat perut mual. Adalah keadaan yang memaksaku berteman karib dengannya. Tidak di Palembang, tidak di Jogja, bus kota adalah penghantar yang terpaksa setia. Masih pagi, jalanan padat. Ini hari minggu. Wajah-wajah penumpang yang acuh di bus kota. Pandangan-pandangan yang dilemparkan ke segala arah. Dua orang pemudi di belakang yang mencolok dengan keriuhannya. Gosip-gosip yang ujung pangkalnya hanya mereka yang tahu. Ibu-ibu di depanku dengan sayurannya. Meminta supir berhenti. Menyerahkan beberapa lembar uang, buru-buru turun. Pak supir menceracau, uang yang diberi kurang. Dengan rengut di wajah, terus melaju.


Lampu merah. Di sana, di pinggir jalan, seorang bapak paruh baya memegang setumpuk koran. Menjajakan koran pada orang-orang di atas kendaraan. Dengan topi dan rompi kuningnya. Mengenakan kaki palsu. Tak lama berjaja, lalu duduk di pinggir jalan, membenarkan kaki palsu. Lampu sebentar lagi hijau. Karena itu ia minggir. Kaki palsu sungguhan. Apa ini di hatiku? Simpati? Bukan iba. Bukan acuh. Kepolosan semburat wajahnya kah? Kau nikmatikah pekerjaanmu, Pak? Berjualan koran di paruh baya? Kegigihan dan kejujuran yang jelas menempa wajamu kah? Tak ada pembenaran akan satu kakimu pantas diberi salut. Sedang ada yang minta-minta dalam kebugarannya. Kekagumanku mesti berakhir. Bus segera berlari. Maka jadilah potret bapak penjual koran berkaki buntung terekam sempurna di kepalaku. Tak ada pertanyaan, tak ada pembelaan yang harus aku atau kau lontarkan soal keadaanmu, Pak. Bapak, sempurna sebagai seorang gigih, kurang dari lima menit. Selamat bapak, Anda orang beruntung yang menghadiahi saya inspirasi di Minggu pagi, dan nilai, dan pesan, tanpa saya tahu keapaanmu.

Sabtu, 18 Juli 2009

POVERTY IS NOT A PICTURE, POVERTY IS NOT DESTINY




Essay yang diikutsertakan ke PBI's Writing Competition, tapi tidak menang. Hehe. Kurang data kayaknya ni... maka kelihatan seperti berspekulasi...

Some people have a very luxurious house, some others have no house. Some students taste the best education include its great facility, many children have to work and can’t feel study in school. Pride buildings stand next to dirty district. Social difference is very big in this country.

Poverty can be seen from some points of view. From social sight, poverty can be defined as a condition of slipped away from social, dependence, powerless to participate in society. From economical sight, poverty is a condition where someone can’t full fill their own fundamental necessary, such as clothes, food, home, and healthy service. Social poverty is usually differed from economical poverty. Politically, poverty is an economic condition under boundary line of economy.

In this country, although some people have passed the boundary line of economy, even pass it far, there are still so many people live improper as human being. There are still many homeless man, many children and old people have to work, many people die of starvation or diseases, the number of unemployment is still high.
While the cases of poverty are going complex, education becomes very difficult to be reached. 19 percents kids in school age don’t study and choose to work. The reason is cost of education which is too high. The poor can’t solve their poverty problem because they don’t have chance to get knowledge and ability to change their condition. The worst is some people still think that their poverty is their destiny so they think there’s nothing can be done to solve their poverty. It doesn’t mean that they like their condition. This stereotype can be caused by no chance for them to get appropriate education.

Although some people fight for the rights of the poor, students demonstrate for the minority, but it seems no something significant happens. (BBM) fuel‘s price increase drastically and government don’t give constructive solution of that. BLT in the end just gives new problem. The data of the poor in Indonesia which is not accurate causes many knaveries happens. Chance of corruption is getting bigger because this allowance involves many organizers, from the center until RT level. We hear the news. We hear people died because they queued for BLT, we hear some people who really need BLT don’t get their rights because the data given is not accurate.
Health becomes something really expensive. Many children died of bad nutrition, starvation, and other diseases. Poverty card should be useful for poor people to get easiness access of health, but often it is not as useful as its function.

Natural disasters and other disasters in some areas also cause poverty. Victims of Lapindo don’t get adequate compensation. People can’t predict natural disaster but at least people can do something to reduce that. While the victims are waiting for help, corruption still happens. Allowance for the victims of natural disaster is still corrupted. People still corrupt while other people are dying. In 2007 Indonesia is the fifth most corrupted country in the world. Corruption becomes structural sin. Some others even say that corruption has been culture. How come the immoral thing like corruption is considered as culture? This statements show us how common corruption happens nowadays in our country.

Poverty seems to be only picture and nothing can be done to solve that. The poor seem to deserve to be poor. Some people connect poverty problem with laziness. If the poor don’t have chance and access to get knowledge, ability, and health, what else can be done? But actually many of them even work harder than us. They often use their body energy more than people who work with rely on their brain. Some individuals who have power and authority don’t use what they have to help instead make them selves richer. Easiness to get access is getting smaller for the poor.

Poverty is not destiny. Nobody is born to be poor. Free cost of education will make the burden of the poor smaller. All they need is chance. Socialization of this fundamental aspect has been done in Cuba. Indonesia actually ever did it in Old Era. The result was, in this era Indonesia could send teachers to other countries, sent students to study aboard, and sent workers to solve illiteracy in some areas of this country. Number of students of educational institution increased. Worked in education was considered as pride job. Education is the back bone of the country. This country can develop and leave poverty if the people are smart and independent. Knowledge which is gotten from education will make somebody independent. It will be easier for somebody to get job if they has ability and knowledge.

However, nowadays, knowledge and ability are not enough if there are no chances of work. Unemployment is one of the problem causes poverty. They need chance to work also. Increase of fuel price shouldn’t be that hard if the poor are given jobs. If they are only given money, when will they be independent? Small industries can be developed and absorb workers. Capital addition for small industries can help them to develop. Agriculture is also good aspect to be developed. Beside it can absorb worker, it also can increase food production. This country doesn’t need to import rice just like what is going on. Indonesia is a very rich country with its natural resources. It is very ironic if we are still import rice and our farmers’ rice is bought with very low price. Privatization of strategic factories in this country causes reduction of salary of workers and laborers because the shares of the factory are sold cheaply. Maybe this gives profit for capitalists, but our laborers don’t get what they deserve. Many products of factories are sold expensively while the laborers are paid really cheaply. The rules of the privatization need to be observed.

Health becomes another problem. Dirty district becomes reason of many diseases. The poor can’t get good nutrition because they don’t eat nutritious food. Even it has been very hard for them to eat regularly every day. This condition is going worse because they can’t get health facility. Poverty card is not always useful. Health facility is just for them who can pay for that. It is not fair. The baby of the poor who has the same disease with the baby of the rich often doesn’t get the same service. We also need free health facility for the poor.

Corruption has started to be acted although many times our corruptors don’t get what they deserve. Bribery still can save them in some cases. The moral of this country is the root of the problem. Actually this moral education should be grown since we were young. Family and school are the basic of this education. The execution of rules needs to be confirmed more.

Poverty can be solved if the government and the people want to fight for that seriously. Poverty can be more than just a picture which is only can be watched. Poverty is really happening around us. We can change that. We can do something for that together. Many countries such as Cuba, Venezuela, and Bolivia have started to change their condition. We should also change poverty problem in this country. As student the real thing can be done is find out about what’s going on. Every thing is started from our self. We need to fill our brain with knowledge about poverty, why it happens and how to solve it. We can also write about awareness of poverty because it has been many media to express people’s opinion nowadays. If we have had knowledge about that, we can use our knowledge someday when we have already had power to solve poverty. It is said that unjustified condition happens not only because the bad people act, but also because the good people is silent.

THE STREET




VOCABULARY
Sabina Thipani (081214032)

A little girl was sitting in a plain-small-wooden chair which was put in front of her home. She was staring at the night sky. There were no stars tonight. No, there were no stars almost every night. The smoke from the factories chimneys in the town never let them show their light. Only some stars which still could shine this night.
She was a thin girl with brown skin. Her black hair had turned to reddish because of the heat of the sun ray. She sang her songs every day under the heat of the sun with her small guitar among the luxurious cars in the traffic light. She knows she was not good enough in playing that small guitar, but some people said they like her voice. Mas Topo had thought her how to play that guitar for about a year ago. A year ago when her father was fired because of something that she never know exactly. All she knows was her father loved her and her mother. Maybe the factory where her father worked didn’t know that, she often thought. Maybe they didn’t know that now her father had to work harder than before. Maybe they didn’t know that her father was a very nice people. Her father always told her to be an honest girl. Maybe they didn’t know that her father wouldn’t disappoint them. Her father always told her to respect people. Maybe they didn’t know that she had to work in the street because father didn’t work in factory anymore.
“Why don’t you tell them about us, Dad? That I have to work now, that I can’t buy the books anymore, that mother now sleeps lately because she has to work as a chip seller. Maybe they will understand,” she asked her father.
“No little girl, they don’t really understand,” father answered.
Oh, what do they need, then? She thought. Ah, maybe there were better people than father.
“You will understand someday,” her father said again. “That’s why you have to be a smart girl.”
“You don’t have to sing every day, Honey. Or if you have bored you can stop to sing,” her mother said while she was stroking her hair. Her mother was no spring chicken.
“No, Mom. I like to help you and Dad, but I just don’t understand why Dad can’t work in the factory anymore. Beside I really want to have books to school.”
The conversation a couple of months ago appeared again that night. She was in the 3th grade of Elementary School. She was a little girl but unfortunately the problem she had to face was not as little as her age. A doll was not the most important dream for her any more. She wanted to be a smart girl just like her father said.
The night was deeper. The wind which blows gently made the night was getting colder. The little girl felt sleepy. She came to her home after her mother called her to come in. She was actually so tired. She went home at 1 p.m. from school today. Then she sang in the street again till the sky turned orange.
She often thought if the people really listen to her voice or not. Sometimes they gave her money before she sang or before she finished her song. That’s not bad, she thought. But honestly, she prefers if people heard she sings first then gave her money.
She came to her small room and went to bed. Her thin mattress didn’t mind to support her thin body. She closed her eyes. Let her tiredness dulled together with her slower breath. Tomorrow she had to study again to be a smart girl her father wanted, to sing to help her parents, sing with Anto and Tina. While the darkness was covering her, she thought about Anto. He never tasted study in school. He often asked her how it felt to study in school. She finally slept tighter.

***

A young girl was walking slowly through the stores in a mall. She was about 16 years old. She had walked for about two hours. She seemed didn’t feel tired. Her tiredness was covered by her passion to find the dress she wanted. She finally found a store, like boutique. She saw a wonderful, legged, sleeved, open-necked, red dress.
An hour latter she had sat in a food court, waiting for the fast food she ordered five minutes ago. She was not alone now. She was sitting with her friends which all were girls. They were four. She was wearing black short with red shirt and sandals in her foot. Her black hair was totally smooth. She had done cream bath yesterday.
The room where she sits was really comfortable. The brown table in front of her was glancing. The sofa where she sat was really soft and elastic. Air conditioner didn’t let her felt hot. The (perfumed) of the room was really fresh.
It seemed that she didn’t felt the comfort at all. She felt tired, sleepy, and really hungry.
“O, God. Why is it too long? I could eat a horse!” she finally spoke what her stomach meant.
“This place is not good enough, isn’t it?” her friend with the tank top responded her.
“Well, yeah. I’m really hungry,” she said.
“How is your hunt? Did you find the dress you wanted?” another friend of her who had curly hair asked her enthusiastically.
“Oh, yes of course. I am always the first than all of you in fashion,” she said arrogantly. Her friends were just smiling each other. They aren’t really simpatico to her. If that was not because she was rich and had money to pay all of their clothes and food, they would leave her soon. She never appreciated people and thought that she was every thing.
“How much is the dress?” the girl who had kept silent finally spoke.
“Cheap. Eight hundred IDR,” she answered. “If it was not because Lena invited us suddenly and gave me very short time to buy dress, I would buy the better one,” she spoke something annoying again.
“Or the more expensive one?” the girl with the tank top licked.
Thirty minutes later, they had finished their lunch. They ate like birds, left the plate more than half food. Every girl did that, they thought. The “central girl” left the money on the table above the (bond). Two thousand IDR for the wasted food.
The super power girl and the flatterer were walking out of the restaurant but they never walked out from the material world.

***
The night was getting dark but the little girl didn’t want to go home now. She walked in the sidewalk. The cars which competed with the motorcycles to full fill the road had passed two hours ago. The traffic wasn’t loaded any more. She felt so tired. Her leg had been so stiff.
“I wanted to buy the books tomorrow,” she thought. She was satisfied by the money she got today.

***

She had been waiting for fifteen minutes. She felt very upset. “Why is she so long?” The beauty in her face was dull by her anger. The girl who had been waited finally came out and went to the car.
The light of the road was passed fast from the car. They were in a hurry. The party began five minutes more and they were still fifteen minutes from the place where the party was held. The girl with the red dress was driving the car. The road was empty. The traffic light would turn into red five seconds more but they were too far to pass the green light. She volatilized the gas. But suddenly unexpected figure appeared two meters in front of her car. She couldn’t control her car. She clashed the figure. She finally could stop the car but it was too late. The figure had fallen through the side of the car. She was shocked. She was in a pickle. She really wanted to go to the party. She had been waited for a long time. She had lost many things, much energy, and much power. Now the figure was fallen powerless beside her car. She didn’t know what to do.

***

The tough woman was waiting in the door. Her little girl hadn’t come back. Usually she had come home two hours ago. Her husband touched her solder.
“Don’t worry honey, she is strong,” he said.
“I will go there to find her,” she said. She was panic.
“Let me do that. Just wait here,” her husband finally left her in the door. She was staring at the night sky. There were no stars tonight. No, there were no stars almost every night. The smoke from the factories chimneys in the town never let them show their light. Only some stars which still could shine this night.

***

Minggu, 12 Juli 2009

Bernafas dengan Absurditas di Malam Minggu





Malam ini, kutanggalkan semua obsesiku. Tak bersentuhan dengan penghakiman yang paling kejam buat diriku; diriku sendiri. Tenggelam dalam-dalam di lautan melankolisku. Sedang mengagumi sosok yang tak kunyana absurdnya. Seperti berkaca aku, membaca tulisannya. Dengan kemelankolisan tulisan itulah aku berkompensasi. Betapa menghibur mengetahui aku bukan satu-satunya makhluk di bumi yang melihat hidup dari sisi ini. Dan pada ketakjuban ini aku berhenti, supaya sosok itu tetap sempurna seperti ini; tetap sempurna sebagai sosok yang rapuh, melankolis, absurd, dan kesepian. Hai kau orang yang merasa absurd, tahukah kau juga bisa membuatku absurd? Dan maafkan jika kau hanya jadi kompensasi. Toh mustahil aku bisa tahu kau lebih jauh. Maka diam di sana, dan tetap jadi sempurna. Sempurna persisnya denganku. Ini bukan hanya soal kemungkinan bahwa aku tak akan mengenalmu, tapi juga karena aku telah ucapkan selamat datang buat kawan sinisme. Lagi pula mengenalmu akan membuatku merasa berdosa di kemudian hari karena menjadikanmu kompensasi seperti malam ini. Hanya ucapan terima kasih -yang tentu akan langsung lenyap ditelan udara malam-, buatmu yang menghiburku di kehampaan ini. Lenyap, tak akan sempat tersampaikan padamu. Kata-kata absurdmu itu menjadi seperti pemakluman akan kelemahan-kelemahanku. Pemakluman yang tak akan kutelan mentah-mentah jadi pembenaran. Hampir sama rasanya ketika ibu memintaku untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah terlalu keras, sedang aku masih merasa aku belum melakukan yang terbaik. Hampir sama rasanya dengan belaian yang diberikan ibu ketika aku merasa sangat lelah, namun tak kunjung selesai pekerjaanku.


Ngomong-ngomong soal ibu, aku rindu rumah. Jika kecoa bisa menggodaku dengan ejekan-ejekan adikku, dan atau cicak bisa memandangku dengan penuh perhatian tanpa penghakiman layaknya ibu memandangku, dan atau nyamuk bisa memperingatkanku dengan gigitan nasehat ayahku, mungkin aku tak bakal serindu ini. Hah, tetaplah kalian bergerak seturut naluri kalian hewan-hewan menyebalkan di kamarku. Kalian tak akan pernah pantas menggantikan keluargaku. Maaf cacing kamar mandi, kalian tidak kuharapkan punya kesadaran. Kalian sudah cukup menjijikkan dengan geliat instingtif kalian itu. Jika ada hewan lain selain kecoak yang bisa lebih kuharapkan untuk menggantikan adikku, itu juga pasti sudah kulakukan sejak tadi. Sayangnya hanya itu hewan-hewan yang akrab dengan aktivitas kamarku.


Sesorean ini aku merenungkan bola kaca kerapuhan yang selalu kubawa kemana pun aku pergi. Ah, kurasa bola kaca itulah yang selalu mengikutiku. Ia membutuhkan orang yang sama rapuh dengannya untuk menjaganya, atau lebih baik lagi, berteman dengannya. Karena udara dan musim telah dan akan keras padanya. Aku tak percaya ia akan bisa berdekatan dengan benda lain yang kuat, kokoh, atau tajam. Itu hanya akan melukainya. Aku telah menghabiskan begitu banyak energiku untuk menjaga dan memperbaiki kehancuran-kehancuran bola kaca, hingga aku sampai pada titik lelah dan muak. Kukira kerasnya cuaca akan membuatnya lebur dan lenyap, tapi ia hanya lebur dan tidak segera lenyap. Jika ia lenyap, aku rasa aku akan kehilangan diriku. Keleburannya saja sudah cukup membuatku hampa. Bola kaca kerapuhan milikku tidak buruk juga. Jika dijaga dengan baik ia bisa jadi pelarian yang efektif. Ia membuatku gampang berempati pada kehancuran. Empati ini yang selalu membuatku terjaga dan memberi daya saat aku sudah “mengantuk”. Agak merepotkan sih, menjaganya. Tapi kalau bukan aku, siapa lagi yang akan menjaganya? Dan untuk menjaganya aku harus memiliki energi ekstra, serta tameng yang lebih kuat ketimbang bola kaca kerapuhan itu sendiri, karena aku amat sinis di luar sana ada yang bisa mengertinya.


Terimakasih untuk orang absurd tak dikenal yang menginspirasi tulisan absurd ini. Sedikit ruang diberikan untukku bernafas. Melepaskan karbondioksida kelemahanku lewat tulisan dengan menghirup dalam-dalam absurditas. Sampai jumpa lagi, romantisme. Akan lama kukembali. Kalaupun cepat, kuharap kau tak akan sempat menjadi penjara. Hanya akan berhenti kau di udara, mengisi paru-paru dengan absurditas yang sama untuk ku bernafas.

Selasa, 07 Juli 2009

Karena Aku adalah Pulau




Memungut makna,
yang kutunggu gugurnya dari dahan waktu.
Satu per satu.

Karena petang itu,
kata-kata tak lagi sanggup melarikan aku.

Begitu ingin kuterenggut dari duduk ku.
Tapi tak ada yang bergerak, kecuali udara.
Dan aku. Dan desahan nafasku. Dan sesungguk ku.

Lalu aku hanyut.
Memeluk diriku lekat-lekat bersamaku.
Kubiarkan derai mengalirkan ketakberdayaanku.

Jika sendiri adalah pasti, maka bukan ia yang melukaiku.
Adakah ia mercusuar keangkuhanku?
Hanya karena belum pernah kumenangkan terang,
maka patut aku berdarah?

Barangkali kekagumanku,
pada manusia-manusia yang berusaha menjelajahi daratan kesendirian manusia lain.
Meski di ujung jalan,
kata “amin” juga yang terucap.

Hanya aku, barangkali?
Aku dan kebiruanku yang mudah koyak.
Hanya lelahkah aku membenahi robekan-robekan ini?

Atau sungguhkah ini kau dan keapaanmu?
Daratan yang tak bisa disinggahi pun penjelajah yang terus berlayar?

Hingga kuucapkan selamat datang pada gelap sinisme.
Hingga kubiarkan diriku membeku di kutub ini.

Tak ada.
Sayangnya tak ada yang sepenuhnya patut dibenamkan.
Tak perlu.

Terus,
terus kularikan diri.
Kubiarkan berdarah.
Kubiarkan hampa membanjir-banjir.
Kupecundangi kebiruan.
Karena hidup bukanlah pembenaran kelemahan.

Terus,
Terus ku bermain air di lautnya.
Hanya titip rindu.
Barangkali bisa ditiupkan di kapal itu.
Lewat angin laut kujejalkan.
Karena rinduku terlalu sulit tersampaikan.
Kecuali kapal berlabuh membawanya turun.

Aku adalah pulau.
Manusia adalah pulau.
Cukup untuk membuatku mengerti,
berusaha menjadi kepulauan adalah kesia-siaan.
Dan langit petang ini, cukup hitam untuk kusebut hitam.

Senin, 06 Juli 2009

Solitude is More or Less Sexy




Maka saya urungkan niat untuk mencap Jogja memusuhi saya kemarin malam, setelah bioskop ecek-ecek dan Benteng Vredeburg menolak saya dan Mbak Sis karena “keintrovertan” mereka. Niatan untuk mencari “tempat bermain” muncul pada sore hari saat saya menemani Mbak Sis makan (makan yang secara teknis adalah makan siang, namun secara temporal bisa juga disebut makan sore-terserah saja menyebut apa-). Bioskop ecek-ecek adalah ide yang muncul di kepala Mbak Sis saat saya menanyakan ke tempat nongkrong mana kami akan menghabiskan malam. Sebagai dua orang makhluk yang menyepakati ungkapan solitude is sexy, ke-solitude-an tersebut harus dipertanggungjawabkan dengan aktivitas sexy, di tempat yang sexy pula (11 kata terakhir belum saya sepakati dengan Mbak Sis). Karena saya pun belum pernah ke tempat tersebut –bioskop ecek-ecek -, maka saya amat antusias. Tak ada film bagus, mengobjekkan orang pun jadi, pikir saya. Namun kecewa yang didapat ketika melihat bioskop ecek-ecek tutup. Entah nama bioskopnya apa dan di daerah mana. Mengingat kemampuan membaca peta dan menghapal jalan saya yang terbatas, maka dikira-kira saja lokasinya. Pembicaraan di motor dengan Mbak Sis dalam perjalanan menuju bioskop ecek-ecek adalah hal yang menarik buat saya. Pembicaraan soal “asosasi jenis musik kesukaan dengan pengalaman khusus” itu membawa saya kembali pada pengalaman masa kecil saya. Saya baru sadar kemarin alasan saya tidak suka mendengarkan musik dangdut dengan lirik sedih. Saat kecil dan melakukan perjalanan jauh dengan bus atau kereta api, musik dangdut dengan tema-tema sedih-merana (macam pisah ranjang, mimpi buruk tentang kekasih, berpisah dengan kekasih) selalu didendangkan di kendaraan-kendaraan umum tersebut. Bukanlah musiknya yang semata-mata saya kira saya benci, namun perjalanan jauhnya. Saya selalu merasa melankolis kalau harus meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat nenek atau saudara dan sebaliknya. Saya tidak nyaman berada di lingkungan yang isinya orang-orang yang tidak saya kenal macam orang-orang baru di kendaraan tersebut. Dan tentu yang juga amat jelas adalah, saya mabuk darat. Maka saat saya mendengar lagu dangdut dengan lirik sedih, saya segera terhubung dengan suasana perjalana jauh yang tak mengenakkan. Mbak Sis sendiri menyukai musik klasik karena musik klasik mengingatkannya pada film-film eropa yang saat kecil ditontonnya di televisi. Film-film tersebut menampilkan kemapanan dan kenyamanan yang menggoda. Kemapanan dan kenyamanan demikianlah yang muncul tiap kali ia mendengarkan musik klasik. Saya rasa saya pun suka musik klasik, entah dengan asosiasi apa.

Setelah kemudian berputar-putar di jalanan yang (lagi-lagi) tidak mampu saya hafalkan rutenya, tiba-tiba kami sudah di Vredeburg saja. Niat nonton FKY pun pupus juga karena ternyata festival telah berakhir. Menjelajahi Vredeburg pun tak bisa dilaksanakan karena benteng ditutup akibat ada pertemuan penting (demikian ujar pak satpam). Kegagalan ini tak membuat saya terlampau kecewa karena ternyata ada dua orang ibu-ibu yang mengikuti kami masuk FKY dan dikecewakan juga. (Hubungan antara kecewa dan kedua ibu tersebut memang tak jelas koherensinya. Barangkali kekecewaan kolektif lebih gampang dimaklumi ketimbang kekecewaan pribadi. Pertama, jumlah empat orang terkecoh membuktikan bahwa kami tidak bodoh-bodoh amat pergi ke benteng saat festival telah tutup. Kedua, suara salah satu ibu amat menggelitik kuping saya. Entah apa yang lucu. Nah, tambah ngaco saja saya dan tambah tidak koheren saja cerita saya).

Setelah kembali berputar-putar dengan motor Mbak Sis , sampailah saya di suatu tempat yang familiar. Bukan karena saya pernah ke sana. Pohon beringin adalah klu-nya. Sahabat-sahabat di sebuah organisasi kampus berkata bahwa saat mereka berkunjung ke Makam Raja-Raja Mataram, salah satu dari mereka melakukan sesuatu dengan pohon beringin. Perlakuan terhadap pohon beringin tersebut cukup memalukan untuk dapat diingat oleh salah seorang sahabat dan kemudian diceritakan pada saya. Nah, benar, saya dan Mbak Sis ke Makam Raja-Raja Mataram. Lalu apa lagi yang diharapkan dilakukan oleh kami di sana selain ngobrol? Obrolan soal masa SMA hingga gitaris dengan gaya potong kambing jadi tema. Udara terlampau dingin membuat hidung saya yang kena flu meler, tapi tak terlampau saya hiraukan. Pembicaraan itu memberi masukan dan sudut pandang menarik soal kesexyan “solitude” dan cara-cara unik mengisinya. Selain itu, saya juga dapat tips menggiurkan untuk makan oat dengan penyajian menarik ala Mbak Sis. Tentu saja selama ini saya benci oat, wong saya selalu makan oat dengan garam atau susu saja.

Karena malam makin larut dan kos saya ada jam malam, maka pembicaraan di makam raja-raja segera diakhiri. Omong-omong, sampai pulang saya tak tahu makam raja nya ada di sebelah mana. Menuju kos, kita melihat kedai burger dan ngiler lihat gambar burgernya. Akhirnya kita memutuskan makan burger dahulu meski ternyata si burger tak terasa selezat gambarnya. (Dasar kapitalis! Menang di pencitraan saja!) Demikianlah akhir malam ditutup dengan traktiran buger dari Mbak Sis. Terimakasih atas “nyampah-nyampah”nya Mbak (ingat: junk food), juga masukan-masukan yang secara langsung maupun tak langsung memberi inspirasi buat saya.

Selasa, 03 Februari 2009

Buang Air Besar Kucing! Zaman Sekarang Masih Ada yang Mati Karena Partai??

1 Februari 09


Natas Mulai Berdiskusi

31 Januari 09
Ini adalah minggu ke empat dimana anak2 pers mahasiswa Natas berkumpul. Tanpa kesepakatan resmi, berdasarkan kebutuhan mendapat teman bicara pada malam minggu maka anak2 Natas berkumpul tiap minggunya. Kadang nonton, kadang diskusi, kadang nonton diselingi diskusi.

Tiga minggu kemarin aku merasa puas dengan pertemuan kami. Aku mendapat banyak hal yang berguna selain daripada hiburan. Entah kenapa baru sekarang berniat kutulis apa yang kami bicarakan dalam diskusi ini. Banyak, teramat banyak kekonyolan dan ilmu yang sepertinya sayang dibuang begitu saja, sayang jika kusimpan seadanya di salah satu folder otakku, sayang jika tak kutuang dalam tulisan. Maka dari itu kusempatkan waktu ini untuk menuliskan apa2 yang kemarin malam terjadi.

Teman-teman Natas, perkenankan aku menulis percakapan kita semalam, sebelum hilang perlahan kenangan itu dari ingatan. Mungkin tulisan berikut akan sangat subjektif, jadi maafkanlah jika tak sesuai dengan keinginan masing-masing orang. Dan tiada maksud menjatuhkan atau menyakiti dengan tulisan ini, jika sekiranya ada yang tak berkenan, maafkanlah.

Malam itu tak biasa, Mbak Lisis, tetua Natas tak bisa hadir: sakit gigi. Penyakit yang membuat anak-anak Natas terheran-heran. Penyakit yang agak aneh jika dipasangkan dengan Mbak Lisis yang “wonder woman”. Wonder woman kan harusnya juga punya wonder teeth (hehehe).

Ngeban: Tempat yang biasa kami singgahi telah diambil orang. Salah kami pula datang terlambat, kami akhirnya mendapat tempat di pinggir sungai, tempat yang tak beratap. Bambu utuh yang diraparkan jadi alas duduk, tak rata. Sesekali angin berhembus, berkolaborasi bersama langit mendung dan gemericik sungai, menciptakan suasanan lembap.

Tidak biasanya kami tidak nonton, tidak ada laptop. Mbak Lisis yang biasa bawa laptop kan tidak datang. Diskusi saja malam itu.

Diskusi diawali pertanyaan : wajarkah bekerja untuk mencari keuntungan (lebih spesifik: uang) itu? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kami sepakat dahulu tentang definisi keuntungan. Keuntungan adalah kelebihan dari titik minimum. Titik minimum terpenuhi jika kebutuhan terpenuhi. Jadi jika kebutuhan dasar telah terpenuhi dan kemudian ada sisa, maka sisa atau kelebihan itu disebut keuntungan. Jawaban beragam dari anak Natas terbagi menjadi dua kubu: wajar dan tidak wajar. Mas Ian, Mas Moris, dan Richie menganggap wajar, sementara aku, Bayu, Sita dan Mas Al berkata tidak wajar. Selesai itu, Mas Al menjelaskan sejarah panjang manusia dan sistem produksinya. Ia jadi terlihat seperti guru yang mengajar sejarah kemarin itu. Aku jadi ngantuk, tapi aku tetap memaksakan mata. Ngantuk ini masih terkalahkan oleh ingin tahu. Pembicaraan akhirnya jadi monopoli Mas Al, Mas Ian, dan Mas Vinco (tiba-tiba hadir). Mendebatkan sejarah sejak zaman purba, lalu terbentuknya suku-suku, lalu terbentuknya birokrasi, lalu terbentuknya kerajaan, lalu spesialisasi, lalu invasi, lalu penjajahan, lalu revolusi, ah, aku jadi tambah pusing. Tak ikut bicara, agak berat: sejarah. Aku makin ngantuk, tapi masih ingin tahu juga. Mie instan pesanan datang juga. Kuisi perut disela-sela perdebatan dedengkot Natas. Pembahasan sejarah itu pun berputar-putar, sebentar maju ke revolusi, lalu mundur lagi ke zaman purba, lalu ke kerajaan, lalu ke masa sekarang. Mungkin karena nasi goreng pesanan para “Mas-Mas” belum datang, mereka pun “jeleh” membahas sejarah sistem produksi yang luas sekali. Entah “jeleh” karena pembicaraan berputar-putar atau “lapar” karena nasi goreng pesanan tak juga datang. Pelajaran sejarahku di SMA yang membahas perkembangan pers sejak penjajahan-sekarang saja perlu waktu berminggu-minggu, apalagi sistem produksi dari zaman purba hingga zaman sekarang.

Biksu Bisa Atasi Wabah Kelaparan

Akhirnya saudara-saudara, diakhiri juga perbincangan dengan tema sistem produksi ini. Kami mulai bicara sendiri-sendiri, dengan tema yang lebih ringan, walau tetap “muter-muter”. Wabah “kelaparan” yang melanda Natas akibat nasi goreng tak kunjung datang membuat Richie teringat akan artikel yang baru dibacanya: seorang pendeta di India yang tak makan 36 tahun lamanya dan tetap hidup. Pendeta meyakini bahwa “makan” hanyalah pembiasan. Artinya tak makan pun manusia masih bisa tetap hidup. Ah, sepertinya mustahil.

Mas Ian tapi akhirnya memberi bukti lewat biksu. Biksu terbiasa bertapa tanpa makan apapun, udara saja. Di udara ada sari-sari makanan.

Kalau begitu kenapa biksu-biksu tak ke Afrika saja? Ajarilah orang-orang di sana cara bertapa, biar tak ada yang mati kelaparan. Makan dari udara saja toh sudah cukup?

Tunggu dulu, kalaupun biksu benar-benar bisa mengatasi kelaparan, belum tentu biksu bisa ke Afrika dan memberi pengajaran cuma-cuma pada rakyat di Afrika. Nanti Afrika tak butuh “bantuan” lagi kan dari negara kaya? Hum...jangan-jangan dari dulu para biksu berniat begitu (ngajarin orang-orang di Afrika makan udara) tapi “dihalang-halangi”.

P.T Indonesia

Makin malam saja dan nasi goreng pesanan para “Mas Natas” belum datang-datang. Tak hanya perut yang mengerutuk, mulut Mas-Mas nya sudah protes.

Mas Moris membuka topik baru yang lebih spesifik lagi. Tak bisa disebut di sini, tapi ujung-ujungnya menjurus ke BHP. Karena sepertinya gerimis, kami memutuskan mencari tempat yang ada atapnya.

Aku yang tak punya TV ini hanya tahu BHP membuat pendidikan jadi barang jualan, tak tahu singkatannya, tak tahu pula kejelasan isi. Kemarin malam aku makin “ngeh” efek BHP untuk universitas negri maupun swasta. Nanti para mahasiswa membayar 30% saja dari biaya perkuliahan dan kampus akan menutupi 70% nya dengan berbisnis.
Ah, di era globalisasi begini, negara tak lagi berfungsi mensejahterakan rakyatnya, melainkan mencari keuntungan dari rakyatnya. Benar kiranya bahwa globalisasi hanya bisa dinikmati kapitalis. Lalu apa bedanya Indonesia sebelum dan sesudah 1945? Sama-sama dijajah. Tapi kelihatannya sebelum 1945 masih lebih baik. Pemimpin masih memihak rakyat.

Tibalah kami pada kepesimisan tentang “penjajahan modern” ini. Apa kiranya yang bisa menuntaskan “penjajahan” macam begini? Mas Al memaparkan sejarah lagi, bahwa penjajahan memang tak pernah selesai. Revolusi adalah mengubah “bentuk penjajahan”. Aku lupa berapa abad Mas Al memprediksi “penjajahan oleh kapitalis” ini berlangsung jika berkaca pada “penjajahan-penjajahan” bentuk lain di masa lampau.

Pemuda Zaman Penjajahan dan Zaman Sekarang (Sekarang Masih Penjajahan juga sih ya?)

Angin segar mematahkan pesimisme kami saat “aku lupa siapa yang bilang” mengingatkan kami akan presiden-presiden Amerika Latin dan Irak yang berani melawan penjajah. Dari situ kami berkaca ke tanah air tercinta. Siapa kiranya orang di negri ini yang berani memimpin negri sekaligus menantang penjajah, seberani Soekarno dan teman-temannya dahulu? Pahlawan, bukan usahawan. Bercanda Mas Vinco bilang, ya kita-kita ini. Aku jadi ingat buku Eko Prasetyo: Minggir Waktunya Gerakan Muda Memimpin!

Ya! Yang muda. Tapi yang muda pun banyak yang buta. Entah buta, entah dibutakan, entah membutakan diri, entah bisa melihat tapi dihalang-halangi.

Zaman sebelum kemerdekaan banyak orang muda yang memulai perlawanan, banyak yang cerdas, banyak yang berani. Mas Ian menimpali, ya memang yang ada hanya yang muda. Tapi bagaimana dengan pertentangan antara golongan muda dan golongan tua di sidang “aku lupa itu sidang apa”? Itu menunjukkan bahwa bukan “ya memang yang ada hanya yang muda”, tapi menunjukkan “yang tua ada tapi yang muda kuat”.

Mas Ian kembali bilang, tapi yang muda atau tua sama visinya: merdeka.
Ah, iya. Sekarang apa “yang tua” punya visi sama dengan yang muda? Yang satu mau sejahtera dan kompromis yang satu mau revolusi dan radikal. Melawan penjajah memang harus dengan “keradikalan”. Tapi yang radikal terus saja dibekap. Dibekap dan dibikin buta sekalian.

Buang Air Besar Kucing! Zaman Sekarang Masih Ada Orang yang Mati Karena Partai??

Akhirnya seorang pelayan datang. Sayangnya tidak membawa nasi goreng dan malah bertanya, “Apa ada pesanan yang belum diantar?”. Dengan tabah para pemesan nasi goreng berkata : nasi goreng, sejak tiga jam yang lalu.

Masnya hanya mesam-mesem dan menawarkan pesanan lain. Setelah berkompromi dengan Mas Pelayan kami lanjutkan diskusi kami.

Aku lupa kapan, oleh siapa, dan untuk alasan apa kata ini diucapkan,” Tai Kucing!”. Bisa jadi untuk buruknya pelayan di kafe atau kapitalisme. Tapi aku ingat Mas Vinco menimpali omongan “kotor” tersebut dengan,”Jangan gitu lah... Kalau ngomong yang halus dong.” Kami kira Mas Vinco akan melanjutkan kalimatnya layaknya ceramah ulama-ulama. Tapi meledaklah tawa saat omongan halus yang dimaksud Mas Vinco itu ternyata,” Jangan tai kucing, yang agak halus gitu : Buang air besar kucing!”

Pesimisme kami tumbuh lagi saat Mas Ian bilang,”Zaman sekarang gak kayak zaman dulu. Sekarang mana ada orang yang mau mati untuk negara? Mati karena partai?”

“Eh, ada lho!” omongan Mas Moris ini tentu membuat kami terkejut. Orang macam apa kiranya ini? Orang yang yang naif atau memang idealis? Partai apa lagi yang diperjuangkannya? Suapan macam apa kiranya yang diterima? Masuk surga gratis?

“Ada di Solo,” ujarnya lagi meyakinkan. Makin heranlah kami.

“Orang itu kesetrum pas lagi masang bendera partai!”

Tawa kami meledak lagi, para pemesan nasi goreng yang kelaparan sedikit terhibur.

“Sudah itu diselimuti pake bendera partai lagi!” Mas Moris melanjutkan sambil terkekeh-kekeh dan kami makin terkekeh-kekeh. Satir, entah tragedi mana yang kami tertawakan. Kematian yang konyol atau kenyataan bahwa tak ada yang benar-benar mati “karena partai”.

Pesanan nasi goreng pun datang. Kami makan sambil terus bercerita. Sampai akhirnya malam memaksa kami pulang.