Jumat, 31 Juli 2009

Setrum

Aku belum sarapan, tapi aku tak lapar, tidak biasa. Kenyang oleh ucapan selamat pagi. Dunia tiba-tiba jadi cerah dan bersahabat, hanya gara-gara selamat pagi. Kadang begitu mudah membuat bumi jadi berkilauan. Selamat pagi dan sepotong kabar tak penting darimu. Kabar tak penting yang tetap tak penting setelah kubaca berulang kali, tapi terasa sangat menyenangkan. Seperti buah-buahan warna-warni yang berenang-renang di sirup strawberi yang main mata dengan lidahku. Kenapa aku jadi begini absurd, adalah karena kau mengijinkan dunia menjadi absurd. Maka menjadi bukan kesalahan memikirkanmu dengan cara ini.

***

Awal dari pertemuannya, sangat lucu buat teman-temanku. Akhirnya aku tak perlu bersusah payah mencari suaramu di tengah kebisingan macam kemarin. Hum, seperti kaleng-kaleng kosong yang diseret dengan nilon, suaramu. Kamu tampak sangat manusiawi hari ini. Antusiasme itu tak perlu susah-susah kuraba dengan jarak sesempit ini. Meski, secara maya, jarak ini masih terbentang panjang. Energimu nyata-nyata ada di hadapanku. Dan saraf-sarafku keranjingan. Mereka pasti sedang menari dengan heboh menanggapi keaslianmu yang palsu itu.

Sial, saraf-saraf ini menarikku pergi dari ruang ini. Tidak, aku tak ingin menari bersama kalian. Aku ingin hadir di momen ini, di ruang dan waktu ini. Sial! Kalian menarikku jauh dari momen ini. Ke ruang yang tak bersisi, ke waktu yang tak berbatas. Ah, dimana dan kapan ini? Aku lupa semuanya. Lupa. Dan saat itulah keporak-porandaan itu dimulai. Aku terpejam dalam tatapku. Aku bisu dalam ucapku. Aku tak bernafas dalam desahku. Aku kaku dalam gerikku. Tak ada waktu membenahi keporak-porandaan ini. Kau terus menghanyutkanku dalam kekacauan yang kosong. Sosokmu makin samar, suaramu makin pudar, tenagamu makin temaram. Aku setengah tidur, keterjagaanku diisi oleh kegugupan yang tidak perlu. Sungguh tidak perlu. Gelap. Otakku, apa masih di sana?

***

Aku terjaga dan mencoba mengingat semuanya. Ternyata jarak yang dipersempit malah membuatku kesetrum dan pingsan. Seperti apa wujudku saat pingsan tadi, ya? Seperti apa reaksimu? Dengan ingatan samar-samar kugali momen yang tak sempat kumiliki tadi. Momen yang kuidam-idamkan sejak beberapa hari lalu, hilang sudah kena setrum.

Sebenarnya awalnya baik-baik saja. Aku dapat bonus narasi darimu. Tentu saja aku nyengir diam-diam. Takut kau curiga. Kau tahu tidak, inferioritasmu itu menggairahkan sekali. Terus apa yang kau harapkan dariku dengan bersikap begitu? Karena pingsan, maka aku berlagak mempunyai superioritas. Padahal, aku harus kerja keras mencari-carinya di dalam kotak mentalku. Maksudnya, supaya ruangan ini tidak terlalu sempit untuk kita. Terlalu sempit oleh inferioritas. Kau kan tak mau mati dan sesak nafas gara-gara ruangannya dijejali inferioritas? Tapi, setelah ku terjaga, baru kusesali superioritasku. Sungguh tidak perlu mengeluarkannya. Tapi bukan salahku. Kau terus menerus mengisi ruangan ini dengan inferioritas. Apa yang kau harapkan? Karena cemas, maka aku mengajak superioritas untuk membunuhnya.
Hum, walau telah sadar, aku tetap menyukai inferioritasmu. Kamu sungguh-sungguh lucu. Masa kamu tidak tahu kamu punya sayap bagus? Kamu punya sayap bagus, tapi kamu tidak tahu. Kamu sungguh-sungguh lucu.

Terus, obrolan macam apa itu yang kita obrolkan? Kukira kita bakal menyelam dan bermain dengan ikan-ikan, tapi kita cuma bermain ciprat-cipratan air di tepi sungai. Main-main di permukaan air. Tentu saja aku basah kuyup. Aku kan tidak bisa jalan di atas air. Kelihatannya kamu juga basah kuyup waktu kamu tertawa terlalu keras dan aku sama sekali tak melihat sisi lucunya.
Kamu sempat kutinggalkan. Betapa aku menyia-nyiakan momen. Aku sedang pingsan dan butuh oksigen. Mencari oksigen sampai momen berakhir. Dan disanalah kamu, melambaikan tanganmu. Sampai ketemu lagi, entah kapan.

***

Sore kuhadiahi lelah badanku. Dan aku puas memandangimu. Menebak apa dibalik senyum itu, tidak kulakukan. Pokoknya, aku pulang mengantongi senyummu. Peduli apa dibaliknya.

***

Aku luntur ke tepian melihat caramu memandang anak kecil itu. Apa yang kamu pikirkan sebenarnya? Kapan aku bisa tahu apa yang kau pikirkan? Atau apa yang kau pikir kau pikirkan? Apa yang kau rasakan, sebenarnya? Apa aku sudah tahu apa yang kau rasakan hanya dengan mengumpulkan rajutan kata-kata yang kau letakkan sembarangan itu? Kau melihat dari sudut mana? Apa kau kira aku sudah tahu dari sudut mana kau melihat bola yang sangat besar ini? Bola di mana aku dan kau tiba-tiba ada? Aku rasa jaraknya perlu diperpendek, tapi jangan buat aku kesetrum lagi. Aku rasa ruangnya perlu dipersempit, agar aku terbiasa dengan aliran listrikmu. Tidak, aku tidak mau membawa beban harapan untuk hanyut. Aku mau jaraknya dinegasikan. Tetapi, bagaimana?

31 Juli ’09—Mrican—Kamar Kos, setelah puas memandang karena memakai kacamata.

Romantisme Itu, Melelahkan.

18.49 Kamis, 30 Juli ‘09
Lelah. Apa barangkali karena suplemen penambah darahku belum kutenggak? Pil merah itu hilang entah kemana. Padahal ia tidak berharga murah.

Lelah. Terlalu lama aku menunggumu, karena tak puas memandangi punggungmu pagi ini. Setelah sebelumnya aku berjalan dengan iseng ke kampus, bersama hatiku yang nyengir memikirkan kau. Beruntung kau nampak juga sore ini. Tapi aku sudah sangat letih. Ingin pulang ke kamarku dan memikirkanmu dengan nyaman. Tidakkah ini bodoh? Sempitnya jarak cukup menyita energi, ternyata. Kau memaksaku memakai kacamata akhir-akhir ini. Saat duduk di batas pandang kau nampak juga. Dibalik kaca, aku harap aku tak menakutimu karena terus-terusan memandang.

***

Kau masih di sana, berbicara dengan antusias. Sesuatu yang tak kutemui di dunia maya pun dunia nyata selama ini. Dan aku tak bersama kaca mataku. Mencoba menangkapmu dengan mata tanpa lensa, seperti mencari sebuah kancing berwarna krem di dalam sekarung kacang kedelai. Seharusnya, kau dan senja, dan pepohonan rindang, dan lapangan rumput yang luas, dan kesunyian, dan angin, dan debar jantungku, menjadi perpaduan yang romantis. Tapi semuanya samar. Temaram malah membuatmu tampak seperti lukisan surealis dari sini. Menangkap suaramu pun sia-sia. Orang-orang yang sedikit di sekitar kita ini sangat berisik. Aku tak bisa mencapai suaramu. Seperti apa suaramu, lelaki pembawa diam yang tak lagi membawa diam? Apakah berat seperti dentam buku tebal yang dijatuhkan ke lantai marmer? Atau nyaring seperti kaleng-kaleng kosong yang diseret dengan nilon? Apakah terdengar seperti terompet tanpa nada? Atau lembut seperti selimut tidurku? Hum, selimut tidurku…. . Aku ngantuk. Mungkin Sabtu nanti aku bakal mendengar suaramu. Hari ini sangat berisik, aku mau sembunyi minggu ini. Sssst…. Hanya kau yang kuberi tahu, meski kau mungkin tidak bakal tahu.

Kamis, 30 Juli 2009

Saat Hari Hujan





Paradoks bahwa aku belum pernah memiliki perasaanku sendiri. Belum juga hari ini. Maka aku tak ingin menggalinya lebih dalam. Maka kali ini aku hanya bermain-main di atas tanah. Membiarkan, barangkali hujan, menyingkap timbunan-timbunan kemungkinan di hadapanku, tanah lapang yang luas. Dan beberapa hari ini, hujan turun.

***

Yang ia lakukan hanya: diam saja. Lalu apa yang membuat hujan menyingkapnya? Bukankah ia tak punya dosa, wahai hujan? Satu-satunya dosa yang dimiliknya adalah, ia ada; dosa asalnya. Lalu, entah kepolosan mata angin macam apa yang membuatnya hilir mudik di tanah lapang itu. Persetan! Aku tak mau ambil pusing soal makna kemunculannya.

***

Tapi terkadang ia berhasil membuatku menunggunya nampak. Placebo yang tidak pernah membuatku ketagihan, mulai nakal. Adalah ketidaksengajaan yang selalu menghubungkanku dengan parasnya. Bermain-main dengan momen, kemudian. Menunggu momen memberi ijin padanya untuk tampak sempurna. Adalah karena kesementaraan dari kesempurnaan, maka aku tak ingin melewatkannya. Seperti kunyahan apel di mulut, dengan kesegaran dan kemanisan sementaranya. Seperti sesapan kopi, dengan aroma dan kehangatan sementaranya. Seperti pijar kembang api, dengan cahaya dan gemerisik bara sementaranya. Kesementaraan yang selama ini mengisi rongga otak macam angin lalu. Setelah angin berlalu, aku lupa dosa asalnya, lupa ia ada. Namun, tiap kali kesementaraan itu datang, saraf-sarafku menari-nari. Menari sampai angin berlalu dan aku lupa ia ada.

***

Nah, ia hilir mudik. Lagi-lagi hilir mudik. Aku sedang sangat sibuk, maka ia kubiarkan lalu. Sampai akhirnya aku melompong dan kosong karena membersihkan isi hati dari luka-luka. Baru aku menatapnya. Maaf, mungkin kau kompensasi. Tapi , kau tahu? Kau terlalu indah untuk jadi kompensasi saja. Barangkali pembenaran yang membuatmu jadi kompensasiku. Keadaan. Aku toh tak mengenalmu, jadi aku tak merasa berdosa berkata ,”Kau kompensasiku.” Jika saja aku punya kesempatan, kau tak bakal jadi kompensasi. Kau seperti tumpukan buku-buku yang disusun sembarang di atas meja kecil di kamarku. Lebih menarik tentu, jauh, lebih menarik ketimbang kotak sampah di depan kamar yang sering dipadankan dengan kompensasi. Apa hanya karena jarak maka kau indah? Kau tahu, kan, kadang-kadang cela baru kau temukan jika kau menatap lukisannya dari jarak sangat dekat. Tapi sudahlah, banyak yang tidak indah juga dari jarak sejauh apa. Kau indah dari jauh sini, seperti padang rumput berbukit-bukit dengan pohon-pohon di sela-sela ketiaknya. Dari jauh sini, kau juga tampak serupa denganku. Apa ini hanya bentuk identifikasi orang yang sedang mencari arus untuk hanyut? Barangkali. Kalau tidak salah, sepembacaanku, kamu itu melankolis, rapuh, absurd, sendiri, dan indah. Misteri kita yang barangkali berbeda? Sudahlah, aku tak mau ambil pusing. Setiap kali aku ambil pusing, aku benar-benar pusing akhirnya. Aku belum hanyut karena arusmu. Dulu, bertahun-tahun lalu, aku sudah bisa bilang ,”Rasa-rasanya aku sedang hanyut,” saat ada yang berhasil mengaduk-aduk perutku macam sekarang. Tapi setelah aku berkali-kali memecahkan bola kaca karena mengaduk-ngaduk perutku dan membuat badanku panas dingin, aku mau lebih hati-hati. Perasaan ini adalah mengantuk di tengah gerimis yang mulai melehkan aku ke tepian. Kau punya sesuatu yang melekat padamu. Sesuatu yang elok. Entah juga, aku malah belum membuktikan dongeng-dongeng tentangmu itu. Tanpa kelekatan itu, kau sudah cukup bisa mengaduk perutku, kukira, karena kau punya momen sempurna yang sulit kutangkap itu. Lalu apa yang bisa membuatku hanyut, sekarang? Kelihatannya, otak dan hatiku mesti dilelehkan oleh gelombang keapaan. Itu juga belum cukup membuatku hanyut. Aku perlu ruang, bahkan lebih dari ruang, jaminan bahwa aku hanyut dengan leluasa bersamamu, atau siapapun yang bisa melelehkanku ke alirannya. Hanyut dan melepaskan bola kacaku sesukanya, karena aku percaya pada arusnya. Aku punya bola kaca yang harus dijaga, ia mudah pecah. Apa kau juga punya?

***

Namamu bikin perutku mulas. Akhirnya angka-angka itu bisa kugunakan juga. Darurat sudah datang. Kata-katamu membuat perutku teraduk-aduk lagi. Aku paksakan kata-kata itu memegang makna. Dan aku tidur nyenyak. Dan seharian aku senyum-senyum sendiri. Absurd. Absurd dan hanya absurd yang telah, dan akan menjagai bola kacaku.

***

Rabu, 29 Juli 2009

Nomor




Tiba-tiba ia di sana.
Hadiah dari sobat.
Kombinasi angka yang beruntung.
Karena dimiliki oleh seorang yang membawa diam kemanapun.

Sepenglihatanku.
Sependengaranku.
Sepembacaanku.

Indah dengan jarak yang kumiliki.
Merdu dibalik suara-suara.
Sempurna dari persembunyian.

Begitu angka-angka tiba, senyum sinis menerpa bibir.
Memangnya apa yang akan kita lakukan, hai angka-angka?
Menghapalkanmu? Absurd.
Memandangimu? Jauh lebih absurd. Konyol, kita.
Kita. Aku dan angka-angka.
Lalu apa yang kau lakukan di layar itu, ha?
Aku. Aku yang memenjaramu di sana.

Menggunakanmu adalah mengurangi jarak pandang.
Meragukan keindahan.
Bikin sumbang kemerduan.
Mematahkan kesempurnaan.
Berakibat kehancuran, barangkali, buatku.
Berbahaya.

Maka aku tetap di sini.
Mengitari si pembawa diam dari berbagai sudut.
Sekarang. Entah besok.

Angin, hembusi aku.
Cahaya, lelehkan aku.
Hujan, lunturkan aku.
Arus, hanyutkan aku.
Bawa saja aku sesukamu.
Tapi aku tak mau perang sekarang.
Dan lagi tidak harus perang.

Bisakah, diriku?
Dan lagi, memang dia peduli?
Memang aku peduli?
Mari, tidak usah peduli.
Jadi, angka-angka, alam harus menunggu darurat untuk bisa menggunakanmu.

Sekarang, berdiri di sini, cukup. Entah besok.

Minggu, 19 Juli 2009

PINTU TERTUTUP - SARTRE



Inez:

Melupakan yang lain? Mustahil. Aku merasakan kehadiranmu, di setiap lubang kulitku. Keheninganmu bersorak-sorak di telingaku. Kau bisa memaku mulutku, memotong lidahmu - tapi kau tidak bisa meniadakan kehadiranmu di sini. Apa kau bisa menghentikan pikiranmu? Aku dengar dia berdetak bagai jam dan aku yakin kau juga mendengar bunyi pikiranku. Bisa saja kau berdiam diri di atas sofamu, tapi kau ada dimana-mana dan setiap bunyi yang sampai padaku sudah kotor karena kau jaring terlebih dahulu.Kau sudah mencuri mukaku. Kau tahu itu, sedangkan aku tidak. Dan bagaimana tentang dia, tentang Estelle? Dia juga sudah kau curi dari aku. Sekiranya dia hanya bersama aku, kaukira dia akan memperlakukan aku seperti itu? Angkat tanganmu dari mukamu! Aku tidak akan membiarkan kau senang diam - terlalu menguntungkan buat kau. Kau duduk di sana bersamadi seperti orang yogi, dan biarpun aku tidak melihat dia aku merasakannya dalam tulangku - bahwa dia memperdengarkan suara-suara, untuk kepentinganmu - bahkan desir gaunnya - bahwa ia melemparkan senyuman yang tidak kau lihat.... Aku tidak mau terima. Biar aku memilih nerakaku sendiri. Aku lebih suka memandang matamu dan berkelahi berhadap-hadapan dengan kau.

Kotaku dari Mataku - Enam : Reportase Bersama Richie Richardus P. A.

Reportase Pertama: Dilarang Masuk!



Panas. Pusing. Lapar. Kota Gede, tunjukkanlah pada kami lokasinya: Rumah Pengetahuan Amartya. Sudah kami itari kau, masih tega juga telantarkan kami begini? Kurang apa? Tanya polisi setempat, sudah. Tanya tukang rujak, sudah. Tanya tukang cendol, sudah. Tanya ibu-ibu, sudah. Tanya bapak-bapak, sudah. Sama jawabnya: SD Amartya? Wah, tidak tahu. Griya Mutiara? Ke utara, terus ada kecamatan, terus ke Timur, setelah itu ke Selatan. Dong ding! Pak, bukankah arah yang Anda berikan hanya akan membuat kami kembali ke tempat di mana Anda berdiri kini? Masalahnya, petunjuk Anda kami ikuti juga.

Sampailah di sebuah perumahan. Kalau tidak salah, Mutiara Indah. Ah, ada mutiara2nya. Aku terperanjat.

“Dilarang masuk???!” kata Richie dengan emosional.

“Ah,masa?” jawabku tak kalah emosional. Cuaca Jogja sedang tak karuan panasnya. Ya, ampun. Sudah separah inikah alienasi-nya? PIkir saya. Lantas bagaimana pemilik rumah dan tamu-tamunya menikmati akomodasi perumahan bagus ini?

“Oh… pemulung….,” klarifikasi Richie kemudian. Kami berdua tak melihat ada tulisan: PEMULUNG/PENGAMEN di bawah kata “DILARANG MASUK”. Karena merasa diri bukan pemulung pun pengamen, maka kami beranikan diri masuk. Namun naas, bukan ini perumahan yang kami cari. Pak Satpam yang setia berjaga menjelaskan ada perumahan lain yang benar-benar bernama “Griya Mutiara”, tidak pakai “Indah-indahan”.

Maka dengan sedikit-banyak tanya2, sampai juga kami ke tempat itu. Tapi, tak jadi masuk. Ragu bahwa tempat ini adalah yang kami maksud. Pasalnya, untuk mencari SD Amartya, kami hanya bermodal klu: SD Alternatif Amartya, Griya Mutiara, dan Kota Gede. Memastikan lokasi, kami telfon Mbak Sis yang kami anggap tahu selik beluk selatan Jogja. Mbak Sis pun tak yakin. Karena perumahan begitu sepi, kami tak dapat bertanya-tanya lagi yang mana rumah Eko Prasetyo, pemilik SD Amartya, tinggal. Satpam pun tak ada. Hanya ada seorang bapak yang merasa dirinya bukan satpam dan bukan penduduk setempat, duduk di pos satpam. Kami pulang.

“Bagaimana kalau kita ke kapitalis baik hati?” kata Richie. Adalah sebuah tempat makan, di dekat Lempuyangan, yang harga nasi ayam+es tehnya=3000 rupiah saja. Hanya cerita yang kudengar dari Richie dan Bayu yang dengan begitu antusias memuja warung makan tersebut dan menjuluki pemiliknya sebagai kapitalis yang baik hati.

“Okey2!” kataku bersemangat. Lapar.

Aku tak pandai navigasi. Lampu merah. Belok. Tikungan. Belok lagi. Tidak ada tikungan, juga belok. Jalan di samping rel. Belok. Berputar. Berputar. Berputar. Berputar. Lelah dan pusing kepala.

“Chie, dari tadi muter-muter. Pusing aku. Kapan sampainya?”

“Ini sudah sampai,” jawab Richie jumawa. Karena sebentar lagi cerita andalannya berkenaan dengan kapitalis baik hati akan segera terbukti. Motor sudah diparkir. Balik kanan! Yak! BUKA: 13 Juli 2009. Demikian tertulis di depan warung makan yang dari luar tampak seperti rumah penduduk pada umumnya. Nah, ini baru “Dilarang Masuk” yang sesungguhnya.

Reportase ke Berapa, ya??: Lalu Lintas Yogyakarta-Ini disebut Lampu Merah



Jam setengah tujuh pagi. Menunggu Richie dengan was-was. Di telfon tiga kali, tak ada yang diangkat. Barangkali masih tidur. Janji jam tujuh dengan kepala sekolah SD Mangunan. Berniat melihat aktifitas anak SD Alternatif sejak sebelum masuk kelas. Telfon yang ke empat. Suara Richie yang setengah sadar di seberang. Aku tanya ,”Dimana?”; dia jawab ,”Ha?”. Aku tanya ,”Ada motor?”; dia jawab,”Ha?” lagi. Aku teriak,”Richie!”; dia jawab ,”Ha?” lagi. Aku ngomel-ngomel sambil ketawa dia jawab ,”Bentar tunggu!”. Akhirnya. Setengah jam kurang-kemudian, datanglah Richie dengan semangat -yang cukup lah…- untuk cepat sampai tujuan.

Tak kusangka motor melaju demikian cepatnya. Tak sanggup lagi berkata-kata. Aku diam di belakang. Berpegangan erat pada jok belakang. Poni yang beterbangan di terpa angin menusuk-nusuk wajah. Tercekik rasanya. Degup jantung entah masih ada atau tidak. Getaran motor tak sempat membuatku bengong. Waspada. Melihat polisi lalu lintas malah bikin paranoid. Satu, Richie suka tidak (atau tidak suka-sama saja) ber-STNK. Dua, kecepatan motor saat ini cukup menonjol di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Puji Tuhan, Desa Mangunan tampak juga. Sampai.

“Weh, kita cepat juga ya?” ujar Richie tak berdosa.

Pukul sepuluh, pulang. Berniat mencari Rumah Pengetahuan Amartya yang hingga detik itu belum juga kami temukan. Informasi maya pun nyata telah dijajaki. Lokasi Amartya simpang siur. Dengan bekal baru kami berniat menjelajah Bantul. Klu kali ini: utara Giwangan. Setelah sebelumnya, klu-klu lain bergelimpangan salah.

Giwangan dari utara hingga selatannya telah kami obrak-abrik.

“Utara Giwangan apa utara Terminal Giwangan, ya?” ujarku ragu. Setelah sms pada Nea selaku pemberi informasi tak dibalas jua, kami tuju Terminal Giwangan. Richie tiba-tiba berhenti. Barangkali ingin bertanya pada orang-orang sekitar. Tapi tak ada orang di sekitar. Lantas kenapa Richie berhenti di sini? Di tempat yang begitu tanggung karena lokasinya yang di pinggir jalan ramai.

“Chie, jangan berhenti di sini. Mau tanya siapa, gak ada orang,” ujarku heran. Richie diam saja.

“Chie, maju ke depan lagi tuh lho. Tanya ke penjual-penjual kelontong di sekitar sini barangkali tahu,” ujarku lagi. Richie diam. Barangkali tidak dengar.

“Chie! Chie!” ujarku.

“Maju Chie! Maju!” ujarku lagi.

“Kamu lihat itu?” ujar Richie menunjuk ke atas. Kuikuti telunjuk Richie. Lampu merah sedang menyala.

“Lampu merah,” ujar Richie tanpa tendensi. Kulihat kendaraan-kendaraan di sebelah kanan sedang menunggu lampu hijau.

Aku terbahak. Sampai lampu hijau dan kendaraan akhirnya benar-benar maju. Masih terbahak.

Sayangnya, Rumah Pengetahuan tak juga ditemukan. Namun, kali ini rencana makan di kapitalis baik hati, kesampaian.

Sore hari. Niat berkumpul bersama teman-teman Natas. Richie membawa kabar ironis.

“Weh, gampang aja cari Rumah Pengetahuan tu!” ujar Richie.

“Tadi aku cerita kita bingung cari Rumah Pengetahuan punya Eko Prasetyo. Tommy tadi ke sini. Katanya dulu Eko Prasetyo mantan PU Keadilan!”

Aku meringis.

NB: Keadilan = nama LPM; Tommy=anak LPM Keadilan

Kotaku dari Mataku - Lima : Lagi, di Lampu Merah




Di suatu pagi merambah siang. Di sebuah angkutan umum. Setelah melahap burjo di burjo sambil menggali pengalaman bersama Sita. Setelah malam penuh bahak di sebuah tempat makan. Sesaat ingat helm yang kutinggalkan di kontrakkannya. Angkot melaju. Sebentar kemudian menaruh curiga, dengan alasan kuat, pada seorang bapak yang pada akhirnya tak patut dicurigai. Karena kesederhanaannya, barangkali, kupungut lagi curigaku. Manusia….. musuh manusia lainnya. Kebersahajaan yang belakangan hanya bisa ditatap di film-film dan mulai langka ditemui di hidup fana jaman ini. Betapa gampang menarik simpatiku. Mulai, mual dan mengantuk. Penyakit kambuhan saat di angkutan. Memperhatikan beberapa nenek dan kakek di sekitarku. Di hadapanku, beberapa keranjang, barangkali dagangan.

Dan, lampu merah. Anak kecil berbaju merah. Tujuh? Tidak, sepuluh tahun? Kelihatan menyindir kehidupan, buatku. Barangkali karena asap rokok yang mengepul dari mulutnya. Barangkali karena keakrabannya dengan jalanan; dengan kulit terbakar mataharinya; dengan kejumawaannya, duduk di pinggir jalan sana. Seolah tak peduli aku mengkhawatirkan keterlantarannya. Dia tak akan tahu. Aku tak takjub pada ketidakpeduliannya. Cuma merasa diingatkan, banyak hal mesti dibenahi. Tidakkah nikotin terlalu cepat untuk paru-paru mudanya? Tidak? Kurang dari lima menit dan kendaraan ini melaju lagi. Jadi, apa kau tahu anak kecil? Setelah kita bertatapan?

Kesadaranku kembali ke kendaraan sempit ini. Seorang bapak yang sama, yang duduk di belakangku, yang kucurigai, tapi tak jadi. Menjelaskan tempat ini dan itu pada dua orang anak gadisnya yang takjub pada kota. Ingatan tentang ayah tiba-tiba merasuk. Rindu ayah dan masa kecilku, saat aku mendogmakan segala ucapnya, saat aku menjadi begitu banyak tanya di kendaraan umum, saat aku percaya sebentar lagi kita sampai kala pusing kepala merajuk, sebelum aku bisa membentengi diri dengan skeptisku, macam kini. Dan kepercayaan pada cintanya, yang kusyukuri, masih bertahan hingga kini. Bapak dan dua anak kecil, turun. Wajah-wajah antusias dan penuh semangat, entah karena apa. Mereka turun, entah mau kemana lagi. Masih tersisa gurat bersahaja di wajah sang bapak, saat kendaraan ini menyeret batas pandangku darinya.

Kaos biru: kaosku, kaos supir angkot. Angkutan warna biru. Turun di Gejayan, aku, dan kaos biruku, tentu. Kantukku diinjak-injak inspirasi yang berlari penuh semangat. Yang pada detik ini menari-nari bersama jari-jariku di papan kunci (di-Inggriskan sendiri). Membuncah ke langkah kakiku. Ingin cepat pulang ke kos. Menikmati kesendirian yang rupawan. Berniat melukiskan suasana tadi, dengan kata-kata berbunga. Jadi, sore nanti ke gereja tidak, Fafa?

Kotaku dari Mataku - Empat: Birokrasi dan Sandal Jepit




Kantor Dinas Pendidikan Yogyakarta. Siang hari. Pakaian rapi-rapi. Suasana resmi-resmi. Aku dan Nea dan sandal jepitku. Berharap dapat ijin wawancara dengan gaya sok penting. Dikira kartu pers bisa menolong menyempitkan waktu tunggu . Tidak juga. Seperti biasa, bikin janji dulu. Bukan gara-gara sandal jepitku, kan?

***

Kantor surat kabar kota. Tujuan, cari sponsor. Aku dan Richie dan sandal jepit kami, dan Laras. Sekretaris jutek. Menceramahi kami soal birokrasi. Kalau tidak terpaksa kami tak mau kenal dekat dengan birokrasi, bu sekretaris. Dan sebenarnya dengan senang hati kami bakal kompromi dengan birokrasi asal Anda tidak sejutek itu. Bukan karena sandal jepit kami, kan? Niat pulang, mesti ditunda. Ada razia di tikungan depan. Richi, kan? Bawa STNK bukan kapan ingat, tapi kapan suka. Pura-pura tidak tahu, parkir motor dulu. Motor siapa? Entah. Ujar kami duduk santai. Mengamati orang-orang sial yang pada cemas karena tak siaga akan razia. Ada celah melarikan diri. Segera motor berlari. Tidak, sekali ini bukan karena sandal jepit.

***

Lantai dua. Urusan UKM. Di pintu depan tertulis: STOP SANDAL JEPIT. Aku dan Nea dan sandal jepit kami. Minta beberapa berkas. Ada yang muncul dari dalam kantor. Firasat bahwa sesuatu dapat terjadi karena sandal jepit kami, muncul. Kakiku dan kaki Nea bersembunyi di kolong meja. Tak ada guna. Urusan sudah selesai, dan kami harus pergi, dan kaki-kaki bersandal jepit harus keluar dari kolong meja. Cemas. Bukan apa-apa. Tidak ingin dapat ceramah hanya karena sandal jepit. Yang keluar dari kantor tersenyum. Aku dan Nea tunggang langgang buru-buru keluar ruangan. Barangkali "yang keluar dari kantor" bingung. Naik lift? Jangan! Turun tangga! "Yang keluar dari kantor" pasti naik lift. Hindarkan kaki kita dari pandangan menghakimi "yang keluar dari kantor". Ngebut turun tangga. Masuk kamar mandi. Ketawa terbahak-bahak berdua. Sekali ini, adalah karena sandal jepit.

Kotaku dari Mataku- Tiga: Penyelamat Perut di Malam Hari yang Menyelamatkanku Demi Menyelamatkan Perutnya dan Perut Keluarganya




Perut merongrong minta diisi. Kau kutunggu. Bukan karena aku pemakan manusia macam Sumanto. Kau jualan mie tek-tek. Jam tujuh, atau delapan, atau sembilan, atau di antaranya. Di Pringgodani, dengan gerobak. Dan lampu, dan kuali, dan kompor, dan pisau. Dan telur, dan bawang putih, dan cabe, dan daun bawang, dan kecap, dan air, dan garam, dan dicampur, berurutan. Selalu, bihun goreng. Kalau ada modal, pasti Bapak Mie Tek-Tek sukses. Apa karena lidahku jodoh sama masakannya, entah juga.

Selalu ramah. Perawakan kurus, kulit putih, berpakaian rapi dan bersih, tinggi sedang. Suka senyum, suka bertanya, suka menjawab, suka tertawa. Tidak pakai kerupuk, Pak. Sedang.

Pilpres pilih nomor tiga. Mbak? Saya tidak pilih, Pak. Ya, sebenarnya pilih siapapun juga sama saja ujungnya, Mbak. Nomor tiga ternyata, ya….begitu juga.Begitu bagaimana, Pak? Begitulah, Mbak. Anak-istri pilih nomor dua.

Anak saya? Tidak kuliah, mahal. Ditawari kuliah di tempat yang terjangkau, tidak ingin. Sekarang kerja. Pergi pagi-pulang malam, penghasilan tetap kecil. Jam kerja ditambah, gaji tetap. Kadang saya kasihan, anak saya terlalu capai. Untung dia tinggal sama saya, dekat tempat kerja, kalau tidak, gaji pasti nombok untuk ongkos dan makan. Sekarang saja makan bawa dari rumah. Ditawari kerja di Jakarta, gaji lebih besar, tapi pasti sama saja. Biaya hidup di Jakarta lebih mahal. Bayar tempat tinggal dan makan sendiri. Dulu negeri murah, sekarang tidak ada yang murah.

Kerja, banyak saingan. Dulu di sini hanya saya yang jualan. Sekarang, di mana-mana warung makan. Apa-apa mahal.

Masakan bapak itu enak, Pak. Wajah Bapak Mie Tek-Tek sumringah, tertawa malu-malu. Empat ribu lima ratus ya, Pak? Terimakasih. Perut saya selamat. Mudah-mudahan perut bapak dan perut keluarga bapak juga. Omong-omong sampai kini aku lupa namamu, Pak.

Kotaku dari Mataku- Dua: Pak Pemulung



Beberapa helai putih rambutnya, membuat kepalanya tampak abu-abu dari jauh. Selalu bertopi dengan posisi tidak benar. Agak miring ke samping. Seolah topi dipakainya tergesa tiap hari, tanpa berkaca. Jalan miring-terseoknya menjadikannya terlihat rapuh. Hampir tiap hari kita berpapasan. Kau dan karung besar di punggungmu itu. Karung, dua kali ukuran tubuhmu. Seberat apa kah? Cukup berat untuk bikinku khawatir kau akan terjungkal dengan karung penuh sesak itu. Pakaianmu tak pernah rapi. Kumal. Berantakan. Aku mengharapkan apa? Orang berpakaian necis yang mengorek-ngorek tempat sampah?

Adakah kau istirahat, Pak? Kita belum pernah berpapasan dalam keadaanmu melepas lelah. Selalu kerja. Entah mengangkat karung besar di punggung. Entah mengorek-ngorek tempat sampah. Tidak pagi, tidak siang, tidak sore, tidak malam. Kau pegang itu karung dan gancu. Ah, ya, pernah kau duduk agak santai. Musim rambutan. Jual rambutan bersama istri. Musim rambutan jadi sering duduk santai, ya? Ingat basa-basiku waktu beli rambutanmu? Kau terbata seperti anak SD belajar bicara. Aku tak jadi banyak tanya karena tak sanggup cerna maksudmu.

Barangkali besok kita papasan lagi? Aku tak sanggup beri apapun. Cuma simpati yang kupunya. Pasalnya kau sering curiga dengan tatapku.

Kotaku dari Mataku - Satu : Dari Bus Kota


“Mengamati kotaku tanpa perlu mendapat jawaban darinya. Menghiasi kumpulan memori dengan praduga sepihak. Merangkai memori dan praduga itu dengan rantai-rantai imajinasi. Maka jadilah sebuah: tulisan berisi fragmen-fragmen realita kota yang dibumbui praduga-praduga dan disajikan dengan sedikit fiksi. Memberi ruang untuk bermain pilah memilah; mana fakta, mana praduga, dan mana fiksi. Saya begitu cinta padamu, metafor. Memberi ruang buatku untuk jadi egois dan seenak perutku. Kapan lagi? Menjadi bebas menelanjangi diri tanpa menjadi telanjang? Tertutupi beragam interpretasi yang sesukanya muncul ke permukaan. Harus. Rela diadili. ”


Dari Bus Kota



Pagi hari, kepala pusing, seperti ramalanku. Tidur subuh karena kopi, sama dengan energi berlebih, sama dengan kesadaran terbatas. Kopi, minuman nikmat yang sayangnya tak bersahabat dengan tubuh. Kepala pusing, jantung berdegup cepat, efek buruk yang mesti ditanggung kalau bala tentara kafein menyatakan perang dengan badan. Duduk di bus kota menambah pusing kepala. Tidak hanya kopi. Kendaraan bermesin roda empat, juga musuh tubuh. Aku seperti lahir dengan bakat mabuk daratan. Maka benci adalah wajar jika naik kendaraan darat roda empat macam ini. Bus kota, apalagi. Jalan lelet, sering penuh sesak, siang = panas, rawan copet, guncangan ampuh yang buat perut mual. Adalah keadaan yang memaksaku berteman karib dengannya. Tidak di Palembang, tidak di Jogja, bus kota adalah penghantar yang terpaksa setia. Masih pagi, jalanan padat. Ini hari minggu. Wajah-wajah penumpang yang acuh di bus kota. Pandangan-pandangan yang dilemparkan ke segala arah. Dua orang pemudi di belakang yang mencolok dengan keriuhannya. Gosip-gosip yang ujung pangkalnya hanya mereka yang tahu. Ibu-ibu di depanku dengan sayurannya. Meminta supir berhenti. Menyerahkan beberapa lembar uang, buru-buru turun. Pak supir menceracau, uang yang diberi kurang. Dengan rengut di wajah, terus melaju.


Lampu merah. Di sana, di pinggir jalan, seorang bapak paruh baya memegang setumpuk koran. Menjajakan koran pada orang-orang di atas kendaraan. Dengan topi dan rompi kuningnya. Mengenakan kaki palsu. Tak lama berjaja, lalu duduk di pinggir jalan, membenarkan kaki palsu. Lampu sebentar lagi hijau. Karena itu ia minggir. Kaki palsu sungguhan. Apa ini di hatiku? Simpati? Bukan iba. Bukan acuh. Kepolosan semburat wajahnya kah? Kau nikmatikah pekerjaanmu, Pak? Berjualan koran di paruh baya? Kegigihan dan kejujuran yang jelas menempa wajamu kah? Tak ada pembenaran akan satu kakimu pantas diberi salut. Sedang ada yang minta-minta dalam kebugarannya. Kekagumanku mesti berakhir. Bus segera berlari. Maka jadilah potret bapak penjual koran berkaki buntung terekam sempurna di kepalaku. Tak ada pertanyaan, tak ada pembelaan yang harus aku atau kau lontarkan soal keadaanmu, Pak. Bapak, sempurna sebagai seorang gigih, kurang dari lima menit. Selamat bapak, Anda orang beruntung yang menghadiahi saya inspirasi di Minggu pagi, dan nilai, dan pesan, tanpa saya tahu keapaanmu.

Sabtu, 18 Juli 2009

POVERTY IS NOT A PICTURE, POVERTY IS NOT DESTINY




Essay yang diikutsertakan ke PBI's Writing Competition, tapi tidak menang. Hehe. Kurang data kayaknya ni... maka kelihatan seperti berspekulasi...

Some people have a very luxurious house, some others have no house. Some students taste the best education include its great facility, many children have to work and can’t feel study in school. Pride buildings stand next to dirty district. Social difference is very big in this country.

Poverty can be seen from some points of view. From social sight, poverty can be defined as a condition of slipped away from social, dependence, powerless to participate in society. From economical sight, poverty is a condition where someone can’t full fill their own fundamental necessary, such as clothes, food, home, and healthy service. Social poverty is usually differed from economical poverty. Politically, poverty is an economic condition under boundary line of economy.

In this country, although some people have passed the boundary line of economy, even pass it far, there are still so many people live improper as human being. There are still many homeless man, many children and old people have to work, many people die of starvation or diseases, the number of unemployment is still high.
While the cases of poverty are going complex, education becomes very difficult to be reached. 19 percents kids in school age don’t study and choose to work. The reason is cost of education which is too high. The poor can’t solve their poverty problem because they don’t have chance to get knowledge and ability to change their condition. The worst is some people still think that their poverty is their destiny so they think there’s nothing can be done to solve their poverty. It doesn’t mean that they like their condition. This stereotype can be caused by no chance for them to get appropriate education.

Although some people fight for the rights of the poor, students demonstrate for the minority, but it seems no something significant happens. (BBM) fuel‘s price increase drastically and government don’t give constructive solution of that. BLT in the end just gives new problem. The data of the poor in Indonesia which is not accurate causes many knaveries happens. Chance of corruption is getting bigger because this allowance involves many organizers, from the center until RT level. We hear the news. We hear people died because they queued for BLT, we hear some people who really need BLT don’t get their rights because the data given is not accurate.
Health becomes something really expensive. Many children died of bad nutrition, starvation, and other diseases. Poverty card should be useful for poor people to get easiness access of health, but often it is not as useful as its function.

Natural disasters and other disasters in some areas also cause poverty. Victims of Lapindo don’t get adequate compensation. People can’t predict natural disaster but at least people can do something to reduce that. While the victims are waiting for help, corruption still happens. Allowance for the victims of natural disaster is still corrupted. People still corrupt while other people are dying. In 2007 Indonesia is the fifth most corrupted country in the world. Corruption becomes structural sin. Some others even say that corruption has been culture. How come the immoral thing like corruption is considered as culture? This statements show us how common corruption happens nowadays in our country.

Poverty seems to be only picture and nothing can be done to solve that. The poor seem to deserve to be poor. Some people connect poverty problem with laziness. If the poor don’t have chance and access to get knowledge, ability, and health, what else can be done? But actually many of them even work harder than us. They often use their body energy more than people who work with rely on their brain. Some individuals who have power and authority don’t use what they have to help instead make them selves richer. Easiness to get access is getting smaller for the poor.

Poverty is not destiny. Nobody is born to be poor. Free cost of education will make the burden of the poor smaller. All they need is chance. Socialization of this fundamental aspect has been done in Cuba. Indonesia actually ever did it in Old Era. The result was, in this era Indonesia could send teachers to other countries, sent students to study aboard, and sent workers to solve illiteracy in some areas of this country. Number of students of educational institution increased. Worked in education was considered as pride job. Education is the back bone of the country. This country can develop and leave poverty if the people are smart and independent. Knowledge which is gotten from education will make somebody independent. It will be easier for somebody to get job if they has ability and knowledge.

However, nowadays, knowledge and ability are not enough if there are no chances of work. Unemployment is one of the problem causes poverty. They need chance to work also. Increase of fuel price shouldn’t be that hard if the poor are given jobs. If they are only given money, when will they be independent? Small industries can be developed and absorb workers. Capital addition for small industries can help them to develop. Agriculture is also good aspect to be developed. Beside it can absorb worker, it also can increase food production. This country doesn’t need to import rice just like what is going on. Indonesia is a very rich country with its natural resources. It is very ironic if we are still import rice and our farmers’ rice is bought with very low price. Privatization of strategic factories in this country causes reduction of salary of workers and laborers because the shares of the factory are sold cheaply. Maybe this gives profit for capitalists, but our laborers don’t get what they deserve. Many products of factories are sold expensively while the laborers are paid really cheaply. The rules of the privatization need to be observed.

Health becomes another problem. Dirty district becomes reason of many diseases. The poor can’t get good nutrition because they don’t eat nutritious food. Even it has been very hard for them to eat regularly every day. This condition is going worse because they can’t get health facility. Poverty card is not always useful. Health facility is just for them who can pay for that. It is not fair. The baby of the poor who has the same disease with the baby of the rich often doesn’t get the same service. We also need free health facility for the poor.

Corruption has started to be acted although many times our corruptors don’t get what they deserve. Bribery still can save them in some cases. The moral of this country is the root of the problem. Actually this moral education should be grown since we were young. Family and school are the basic of this education. The execution of rules needs to be confirmed more.

Poverty can be solved if the government and the people want to fight for that seriously. Poverty can be more than just a picture which is only can be watched. Poverty is really happening around us. We can change that. We can do something for that together. Many countries such as Cuba, Venezuela, and Bolivia have started to change their condition. We should also change poverty problem in this country. As student the real thing can be done is find out about what’s going on. Every thing is started from our self. We need to fill our brain with knowledge about poverty, why it happens and how to solve it. We can also write about awareness of poverty because it has been many media to express people’s opinion nowadays. If we have had knowledge about that, we can use our knowledge someday when we have already had power to solve poverty. It is said that unjustified condition happens not only because the bad people act, but also because the good people is silent.

THE STREET




VOCABULARY
Sabina Thipani (081214032)

A little girl was sitting in a plain-small-wooden chair which was put in front of her home. She was staring at the night sky. There were no stars tonight. No, there were no stars almost every night. The smoke from the factories chimneys in the town never let them show their light. Only some stars which still could shine this night.
She was a thin girl with brown skin. Her black hair had turned to reddish because of the heat of the sun ray. She sang her songs every day under the heat of the sun with her small guitar among the luxurious cars in the traffic light. She knows she was not good enough in playing that small guitar, but some people said they like her voice. Mas Topo had thought her how to play that guitar for about a year ago. A year ago when her father was fired because of something that she never know exactly. All she knows was her father loved her and her mother. Maybe the factory where her father worked didn’t know that, she often thought. Maybe they didn’t know that now her father had to work harder than before. Maybe they didn’t know that her father was a very nice people. Her father always told her to be an honest girl. Maybe they didn’t know that her father wouldn’t disappoint them. Her father always told her to respect people. Maybe they didn’t know that she had to work in the street because father didn’t work in factory anymore.
“Why don’t you tell them about us, Dad? That I have to work now, that I can’t buy the books anymore, that mother now sleeps lately because she has to work as a chip seller. Maybe they will understand,” she asked her father.
“No little girl, they don’t really understand,” father answered.
Oh, what do they need, then? She thought. Ah, maybe there were better people than father.
“You will understand someday,” her father said again. “That’s why you have to be a smart girl.”
“You don’t have to sing every day, Honey. Or if you have bored you can stop to sing,” her mother said while she was stroking her hair. Her mother was no spring chicken.
“No, Mom. I like to help you and Dad, but I just don’t understand why Dad can’t work in the factory anymore. Beside I really want to have books to school.”
The conversation a couple of months ago appeared again that night. She was in the 3th grade of Elementary School. She was a little girl but unfortunately the problem she had to face was not as little as her age. A doll was not the most important dream for her any more. She wanted to be a smart girl just like her father said.
The night was deeper. The wind which blows gently made the night was getting colder. The little girl felt sleepy. She came to her home after her mother called her to come in. She was actually so tired. She went home at 1 p.m. from school today. Then she sang in the street again till the sky turned orange.
She often thought if the people really listen to her voice or not. Sometimes they gave her money before she sang or before she finished her song. That’s not bad, she thought. But honestly, she prefers if people heard she sings first then gave her money.
She came to her small room and went to bed. Her thin mattress didn’t mind to support her thin body. She closed her eyes. Let her tiredness dulled together with her slower breath. Tomorrow she had to study again to be a smart girl her father wanted, to sing to help her parents, sing with Anto and Tina. While the darkness was covering her, she thought about Anto. He never tasted study in school. He often asked her how it felt to study in school. She finally slept tighter.

***

A young girl was walking slowly through the stores in a mall. She was about 16 years old. She had walked for about two hours. She seemed didn’t feel tired. Her tiredness was covered by her passion to find the dress she wanted. She finally found a store, like boutique. She saw a wonderful, legged, sleeved, open-necked, red dress.
An hour latter she had sat in a food court, waiting for the fast food she ordered five minutes ago. She was not alone now. She was sitting with her friends which all were girls. They were four. She was wearing black short with red shirt and sandals in her foot. Her black hair was totally smooth. She had done cream bath yesterday.
The room where she sits was really comfortable. The brown table in front of her was glancing. The sofa where she sat was really soft and elastic. Air conditioner didn’t let her felt hot. The (perfumed) of the room was really fresh.
It seemed that she didn’t felt the comfort at all. She felt tired, sleepy, and really hungry.
“O, God. Why is it too long? I could eat a horse!” she finally spoke what her stomach meant.
“This place is not good enough, isn’t it?” her friend with the tank top responded her.
“Well, yeah. I’m really hungry,” she said.
“How is your hunt? Did you find the dress you wanted?” another friend of her who had curly hair asked her enthusiastically.
“Oh, yes of course. I am always the first than all of you in fashion,” she said arrogantly. Her friends were just smiling each other. They aren’t really simpatico to her. If that was not because she was rich and had money to pay all of their clothes and food, they would leave her soon. She never appreciated people and thought that she was every thing.
“How much is the dress?” the girl who had kept silent finally spoke.
“Cheap. Eight hundred IDR,” she answered. “If it was not because Lena invited us suddenly and gave me very short time to buy dress, I would buy the better one,” she spoke something annoying again.
“Or the more expensive one?” the girl with the tank top licked.
Thirty minutes later, they had finished their lunch. They ate like birds, left the plate more than half food. Every girl did that, they thought. The “central girl” left the money on the table above the (bond). Two thousand IDR for the wasted food.
The super power girl and the flatterer were walking out of the restaurant but they never walked out from the material world.

***
The night was getting dark but the little girl didn’t want to go home now. She walked in the sidewalk. The cars which competed with the motorcycles to full fill the road had passed two hours ago. The traffic wasn’t loaded any more. She felt so tired. Her leg had been so stiff.
“I wanted to buy the books tomorrow,” she thought. She was satisfied by the money she got today.

***

She had been waiting for fifteen minutes. She felt very upset. “Why is she so long?” The beauty in her face was dull by her anger. The girl who had been waited finally came out and went to the car.
The light of the road was passed fast from the car. They were in a hurry. The party began five minutes more and they were still fifteen minutes from the place where the party was held. The girl with the red dress was driving the car. The road was empty. The traffic light would turn into red five seconds more but they were too far to pass the green light. She volatilized the gas. But suddenly unexpected figure appeared two meters in front of her car. She couldn’t control her car. She clashed the figure. She finally could stop the car but it was too late. The figure had fallen through the side of the car. She was shocked. She was in a pickle. She really wanted to go to the party. She had been waited for a long time. She had lost many things, much energy, and much power. Now the figure was fallen powerless beside her car. She didn’t know what to do.

***

The tough woman was waiting in the door. Her little girl hadn’t come back. Usually she had come home two hours ago. Her husband touched her solder.
“Don’t worry honey, she is strong,” he said.
“I will go there to find her,” she said. She was panic.
“Let me do that. Just wait here,” her husband finally left her in the door. She was staring at the night sky. There were no stars tonight. No, there were no stars almost every night. The smoke from the factories chimneys in the town never let them show their light. Only some stars which still could shine this night.

***

Minggu, 12 Juli 2009

Bernafas dengan Absurditas di Malam Minggu





Malam ini, kutanggalkan semua obsesiku. Tak bersentuhan dengan penghakiman yang paling kejam buat diriku; diriku sendiri. Tenggelam dalam-dalam di lautan melankolisku. Sedang mengagumi sosok yang tak kunyana absurdnya. Seperti berkaca aku, membaca tulisannya. Dengan kemelankolisan tulisan itulah aku berkompensasi. Betapa menghibur mengetahui aku bukan satu-satunya makhluk di bumi yang melihat hidup dari sisi ini. Dan pada ketakjuban ini aku berhenti, supaya sosok itu tetap sempurna seperti ini; tetap sempurna sebagai sosok yang rapuh, melankolis, absurd, dan kesepian. Hai kau orang yang merasa absurd, tahukah kau juga bisa membuatku absurd? Dan maafkan jika kau hanya jadi kompensasi. Toh mustahil aku bisa tahu kau lebih jauh. Maka diam di sana, dan tetap jadi sempurna. Sempurna persisnya denganku. Ini bukan hanya soal kemungkinan bahwa aku tak akan mengenalmu, tapi juga karena aku telah ucapkan selamat datang buat kawan sinisme. Lagi pula mengenalmu akan membuatku merasa berdosa di kemudian hari karena menjadikanmu kompensasi seperti malam ini. Hanya ucapan terima kasih -yang tentu akan langsung lenyap ditelan udara malam-, buatmu yang menghiburku di kehampaan ini. Lenyap, tak akan sempat tersampaikan padamu. Kata-kata absurdmu itu menjadi seperti pemakluman akan kelemahan-kelemahanku. Pemakluman yang tak akan kutelan mentah-mentah jadi pembenaran. Hampir sama rasanya ketika ibu memintaku untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah terlalu keras, sedang aku masih merasa aku belum melakukan yang terbaik. Hampir sama rasanya dengan belaian yang diberikan ibu ketika aku merasa sangat lelah, namun tak kunjung selesai pekerjaanku.


Ngomong-ngomong soal ibu, aku rindu rumah. Jika kecoa bisa menggodaku dengan ejekan-ejekan adikku, dan atau cicak bisa memandangku dengan penuh perhatian tanpa penghakiman layaknya ibu memandangku, dan atau nyamuk bisa memperingatkanku dengan gigitan nasehat ayahku, mungkin aku tak bakal serindu ini. Hah, tetaplah kalian bergerak seturut naluri kalian hewan-hewan menyebalkan di kamarku. Kalian tak akan pernah pantas menggantikan keluargaku. Maaf cacing kamar mandi, kalian tidak kuharapkan punya kesadaran. Kalian sudah cukup menjijikkan dengan geliat instingtif kalian itu. Jika ada hewan lain selain kecoak yang bisa lebih kuharapkan untuk menggantikan adikku, itu juga pasti sudah kulakukan sejak tadi. Sayangnya hanya itu hewan-hewan yang akrab dengan aktivitas kamarku.


Sesorean ini aku merenungkan bola kaca kerapuhan yang selalu kubawa kemana pun aku pergi. Ah, kurasa bola kaca itulah yang selalu mengikutiku. Ia membutuhkan orang yang sama rapuh dengannya untuk menjaganya, atau lebih baik lagi, berteman dengannya. Karena udara dan musim telah dan akan keras padanya. Aku tak percaya ia akan bisa berdekatan dengan benda lain yang kuat, kokoh, atau tajam. Itu hanya akan melukainya. Aku telah menghabiskan begitu banyak energiku untuk menjaga dan memperbaiki kehancuran-kehancuran bola kaca, hingga aku sampai pada titik lelah dan muak. Kukira kerasnya cuaca akan membuatnya lebur dan lenyap, tapi ia hanya lebur dan tidak segera lenyap. Jika ia lenyap, aku rasa aku akan kehilangan diriku. Keleburannya saja sudah cukup membuatku hampa. Bola kaca kerapuhan milikku tidak buruk juga. Jika dijaga dengan baik ia bisa jadi pelarian yang efektif. Ia membuatku gampang berempati pada kehancuran. Empati ini yang selalu membuatku terjaga dan memberi daya saat aku sudah “mengantuk”. Agak merepotkan sih, menjaganya. Tapi kalau bukan aku, siapa lagi yang akan menjaganya? Dan untuk menjaganya aku harus memiliki energi ekstra, serta tameng yang lebih kuat ketimbang bola kaca kerapuhan itu sendiri, karena aku amat sinis di luar sana ada yang bisa mengertinya.


Terimakasih untuk orang absurd tak dikenal yang menginspirasi tulisan absurd ini. Sedikit ruang diberikan untukku bernafas. Melepaskan karbondioksida kelemahanku lewat tulisan dengan menghirup dalam-dalam absurditas. Sampai jumpa lagi, romantisme. Akan lama kukembali. Kalaupun cepat, kuharap kau tak akan sempat menjadi penjara. Hanya akan berhenti kau di udara, mengisi paru-paru dengan absurditas yang sama untuk ku bernafas.

Selasa, 07 Juli 2009

Karena Aku adalah Pulau




Memungut makna,
yang kutunggu gugurnya dari dahan waktu.
Satu per satu.

Karena petang itu,
kata-kata tak lagi sanggup melarikan aku.

Begitu ingin kuterenggut dari duduk ku.
Tapi tak ada yang bergerak, kecuali udara.
Dan aku. Dan desahan nafasku. Dan sesungguk ku.

Lalu aku hanyut.
Memeluk diriku lekat-lekat bersamaku.
Kubiarkan derai mengalirkan ketakberdayaanku.

Jika sendiri adalah pasti, maka bukan ia yang melukaiku.
Adakah ia mercusuar keangkuhanku?
Hanya karena belum pernah kumenangkan terang,
maka patut aku berdarah?

Barangkali kekagumanku,
pada manusia-manusia yang berusaha menjelajahi daratan kesendirian manusia lain.
Meski di ujung jalan,
kata “amin” juga yang terucap.

Hanya aku, barangkali?
Aku dan kebiruanku yang mudah koyak.
Hanya lelahkah aku membenahi robekan-robekan ini?

Atau sungguhkah ini kau dan keapaanmu?
Daratan yang tak bisa disinggahi pun penjelajah yang terus berlayar?

Hingga kuucapkan selamat datang pada gelap sinisme.
Hingga kubiarkan diriku membeku di kutub ini.

Tak ada.
Sayangnya tak ada yang sepenuhnya patut dibenamkan.
Tak perlu.

Terus,
terus kularikan diri.
Kubiarkan berdarah.
Kubiarkan hampa membanjir-banjir.
Kupecundangi kebiruan.
Karena hidup bukanlah pembenaran kelemahan.

Terus,
Terus ku bermain air di lautnya.
Hanya titip rindu.
Barangkali bisa ditiupkan di kapal itu.
Lewat angin laut kujejalkan.
Karena rinduku terlalu sulit tersampaikan.
Kecuali kapal berlabuh membawanya turun.

Aku adalah pulau.
Manusia adalah pulau.
Cukup untuk membuatku mengerti,
berusaha menjadi kepulauan adalah kesia-siaan.
Dan langit petang ini, cukup hitam untuk kusebut hitam.

Senin, 06 Juli 2009

Solitude is More or Less Sexy




Maka saya urungkan niat untuk mencap Jogja memusuhi saya kemarin malam, setelah bioskop ecek-ecek dan Benteng Vredeburg menolak saya dan Mbak Sis karena “keintrovertan” mereka. Niatan untuk mencari “tempat bermain” muncul pada sore hari saat saya menemani Mbak Sis makan (makan yang secara teknis adalah makan siang, namun secara temporal bisa juga disebut makan sore-terserah saja menyebut apa-). Bioskop ecek-ecek adalah ide yang muncul di kepala Mbak Sis saat saya menanyakan ke tempat nongkrong mana kami akan menghabiskan malam. Sebagai dua orang makhluk yang menyepakati ungkapan solitude is sexy, ke-solitude-an tersebut harus dipertanggungjawabkan dengan aktivitas sexy, di tempat yang sexy pula (11 kata terakhir belum saya sepakati dengan Mbak Sis). Karena saya pun belum pernah ke tempat tersebut –bioskop ecek-ecek -, maka saya amat antusias. Tak ada film bagus, mengobjekkan orang pun jadi, pikir saya. Namun kecewa yang didapat ketika melihat bioskop ecek-ecek tutup. Entah nama bioskopnya apa dan di daerah mana. Mengingat kemampuan membaca peta dan menghapal jalan saya yang terbatas, maka dikira-kira saja lokasinya. Pembicaraan di motor dengan Mbak Sis dalam perjalanan menuju bioskop ecek-ecek adalah hal yang menarik buat saya. Pembicaraan soal “asosasi jenis musik kesukaan dengan pengalaman khusus” itu membawa saya kembali pada pengalaman masa kecil saya. Saya baru sadar kemarin alasan saya tidak suka mendengarkan musik dangdut dengan lirik sedih. Saat kecil dan melakukan perjalanan jauh dengan bus atau kereta api, musik dangdut dengan tema-tema sedih-merana (macam pisah ranjang, mimpi buruk tentang kekasih, berpisah dengan kekasih) selalu didendangkan di kendaraan-kendaraan umum tersebut. Bukanlah musiknya yang semata-mata saya kira saya benci, namun perjalanan jauhnya. Saya selalu merasa melankolis kalau harus meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat nenek atau saudara dan sebaliknya. Saya tidak nyaman berada di lingkungan yang isinya orang-orang yang tidak saya kenal macam orang-orang baru di kendaraan tersebut. Dan tentu yang juga amat jelas adalah, saya mabuk darat. Maka saat saya mendengar lagu dangdut dengan lirik sedih, saya segera terhubung dengan suasana perjalana jauh yang tak mengenakkan. Mbak Sis sendiri menyukai musik klasik karena musik klasik mengingatkannya pada film-film eropa yang saat kecil ditontonnya di televisi. Film-film tersebut menampilkan kemapanan dan kenyamanan yang menggoda. Kemapanan dan kenyamanan demikianlah yang muncul tiap kali ia mendengarkan musik klasik. Saya rasa saya pun suka musik klasik, entah dengan asosiasi apa.

Setelah kemudian berputar-putar di jalanan yang (lagi-lagi) tidak mampu saya hafalkan rutenya, tiba-tiba kami sudah di Vredeburg saja. Niat nonton FKY pun pupus juga karena ternyata festival telah berakhir. Menjelajahi Vredeburg pun tak bisa dilaksanakan karena benteng ditutup akibat ada pertemuan penting (demikian ujar pak satpam). Kegagalan ini tak membuat saya terlampau kecewa karena ternyata ada dua orang ibu-ibu yang mengikuti kami masuk FKY dan dikecewakan juga. (Hubungan antara kecewa dan kedua ibu tersebut memang tak jelas koherensinya. Barangkali kekecewaan kolektif lebih gampang dimaklumi ketimbang kekecewaan pribadi. Pertama, jumlah empat orang terkecoh membuktikan bahwa kami tidak bodoh-bodoh amat pergi ke benteng saat festival telah tutup. Kedua, suara salah satu ibu amat menggelitik kuping saya. Entah apa yang lucu. Nah, tambah ngaco saja saya dan tambah tidak koheren saja cerita saya).

Setelah kembali berputar-putar dengan motor Mbak Sis , sampailah saya di suatu tempat yang familiar. Bukan karena saya pernah ke sana. Pohon beringin adalah klu-nya. Sahabat-sahabat di sebuah organisasi kampus berkata bahwa saat mereka berkunjung ke Makam Raja-Raja Mataram, salah satu dari mereka melakukan sesuatu dengan pohon beringin. Perlakuan terhadap pohon beringin tersebut cukup memalukan untuk dapat diingat oleh salah seorang sahabat dan kemudian diceritakan pada saya. Nah, benar, saya dan Mbak Sis ke Makam Raja-Raja Mataram. Lalu apa lagi yang diharapkan dilakukan oleh kami di sana selain ngobrol? Obrolan soal masa SMA hingga gitaris dengan gaya potong kambing jadi tema. Udara terlampau dingin membuat hidung saya yang kena flu meler, tapi tak terlampau saya hiraukan. Pembicaraan itu memberi masukan dan sudut pandang menarik soal kesexyan “solitude” dan cara-cara unik mengisinya. Selain itu, saya juga dapat tips menggiurkan untuk makan oat dengan penyajian menarik ala Mbak Sis. Tentu saja selama ini saya benci oat, wong saya selalu makan oat dengan garam atau susu saja.

Karena malam makin larut dan kos saya ada jam malam, maka pembicaraan di makam raja-raja segera diakhiri. Omong-omong, sampai pulang saya tak tahu makam raja nya ada di sebelah mana. Menuju kos, kita melihat kedai burger dan ngiler lihat gambar burgernya. Akhirnya kita memutuskan makan burger dahulu meski ternyata si burger tak terasa selezat gambarnya. (Dasar kapitalis! Menang di pencitraan saja!) Demikianlah akhir malam ditutup dengan traktiran buger dari Mbak Sis. Terimakasih atas “nyampah-nyampah”nya Mbak (ingat: junk food), juga masukan-masukan yang secara langsung maupun tak langsung memberi inspirasi buat saya.