Kamis, 30 Juli 2009
Saat Hari Hujan
Paradoks bahwa aku belum pernah memiliki perasaanku sendiri. Belum juga hari ini. Maka aku tak ingin menggalinya lebih dalam. Maka kali ini aku hanya bermain-main di atas tanah. Membiarkan, barangkali hujan, menyingkap timbunan-timbunan kemungkinan di hadapanku, tanah lapang yang luas. Dan beberapa hari ini, hujan turun.
***
Yang ia lakukan hanya: diam saja. Lalu apa yang membuat hujan menyingkapnya? Bukankah ia tak punya dosa, wahai hujan? Satu-satunya dosa yang dimiliknya adalah, ia ada; dosa asalnya. Lalu, entah kepolosan mata angin macam apa yang membuatnya hilir mudik di tanah lapang itu. Persetan! Aku tak mau ambil pusing soal makna kemunculannya.
***
Tapi terkadang ia berhasil membuatku menunggunya nampak. Placebo yang tidak pernah membuatku ketagihan, mulai nakal. Adalah ketidaksengajaan yang selalu menghubungkanku dengan parasnya. Bermain-main dengan momen, kemudian. Menunggu momen memberi ijin padanya untuk tampak sempurna. Adalah karena kesementaraan dari kesempurnaan, maka aku tak ingin melewatkannya. Seperti kunyahan apel di mulut, dengan kesegaran dan kemanisan sementaranya. Seperti sesapan kopi, dengan aroma dan kehangatan sementaranya. Seperti pijar kembang api, dengan cahaya dan gemerisik bara sementaranya. Kesementaraan yang selama ini mengisi rongga otak macam angin lalu. Setelah angin berlalu, aku lupa dosa asalnya, lupa ia ada. Namun, tiap kali kesementaraan itu datang, saraf-sarafku menari-nari. Menari sampai angin berlalu dan aku lupa ia ada.
***
Nah, ia hilir mudik. Lagi-lagi hilir mudik. Aku sedang sangat sibuk, maka ia kubiarkan lalu. Sampai akhirnya aku melompong dan kosong karena membersihkan isi hati dari luka-luka. Baru aku menatapnya. Maaf, mungkin kau kompensasi. Tapi , kau tahu? Kau terlalu indah untuk jadi kompensasi saja. Barangkali pembenaran yang membuatmu jadi kompensasiku. Keadaan. Aku toh tak mengenalmu, jadi aku tak merasa berdosa berkata ,”Kau kompensasiku.” Jika saja aku punya kesempatan, kau tak bakal jadi kompensasi. Kau seperti tumpukan buku-buku yang disusun sembarang di atas meja kecil di kamarku. Lebih menarik tentu, jauh, lebih menarik ketimbang kotak sampah di depan kamar yang sering dipadankan dengan kompensasi. Apa hanya karena jarak maka kau indah? Kau tahu, kan, kadang-kadang cela baru kau temukan jika kau menatap lukisannya dari jarak sangat dekat. Tapi sudahlah, banyak yang tidak indah juga dari jarak sejauh apa. Kau indah dari jauh sini, seperti padang rumput berbukit-bukit dengan pohon-pohon di sela-sela ketiaknya. Dari jauh sini, kau juga tampak serupa denganku. Apa ini hanya bentuk identifikasi orang yang sedang mencari arus untuk hanyut? Barangkali. Kalau tidak salah, sepembacaanku, kamu itu melankolis, rapuh, absurd, sendiri, dan indah. Misteri kita yang barangkali berbeda? Sudahlah, aku tak mau ambil pusing. Setiap kali aku ambil pusing, aku benar-benar pusing akhirnya. Aku belum hanyut karena arusmu. Dulu, bertahun-tahun lalu, aku sudah bisa bilang ,”Rasa-rasanya aku sedang hanyut,” saat ada yang berhasil mengaduk-aduk perutku macam sekarang. Tapi setelah aku berkali-kali memecahkan bola kaca karena mengaduk-ngaduk perutku dan membuat badanku panas dingin, aku mau lebih hati-hati. Perasaan ini adalah mengantuk di tengah gerimis yang mulai melehkan aku ke tepian. Kau punya sesuatu yang melekat padamu. Sesuatu yang elok. Entah juga, aku malah belum membuktikan dongeng-dongeng tentangmu itu. Tanpa kelekatan itu, kau sudah cukup bisa mengaduk perutku, kukira, karena kau punya momen sempurna yang sulit kutangkap itu. Lalu apa yang bisa membuatku hanyut, sekarang? Kelihatannya, otak dan hatiku mesti dilelehkan oleh gelombang keapaan. Itu juga belum cukup membuatku hanyut. Aku perlu ruang, bahkan lebih dari ruang, jaminan bahwa aku hanyut dengan leluasa bersamamu, atau siapapun yang bisa melelehkanku ke alirannya. Hanyut dan melepaskan bola kacaku sesukanya, karena aku percaya pada arusnya. Aku punya bola kaca yang harus dijaga, ia mudah pecah. Apa kau juga punya?
***
Namamu bikin perutku mulas. Akhirnya angka-angka itu bisa kugunakan juga. Darurat sudah datang. Kata-katamu membuat perutku teraduk-aduk lagi. Aku paksakan kata-kata itu memegang makna. Dan aku tidur nyenyak. Dan seharian aku senyum-senyum sendiri. Absurd. Absurd dan hanya absurd yang telah, dan akan menjagai bola kacaku.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar