Jumat, 04 September 2009

Sebuah Kata Maaf yang Menunggu Kesia-siaan untuk Menjadi Sebuah Ucap

3 September 09

Mencoba mengingat hari kemarinku. Melarikan diri dari kebosanan dan kemuakan akan pembicaraan tentang uang di ruang dan waktu ini. Entah kenapa judul mata kuliah ini bukan : UANG, ORGANISASI, dan PENJAJAHAN saja. Kamar bertanya pun tak tersedia. Hilang ditelan kantuk yang dihembus oleh kata-kata satu arah dan kesadaran yang berpindah-pindah.

***

10 jam yang lalu dan langit masih terang. Di sana, aku duduk bersama seorang kawan. Bicarakan tentang sebentuk kabut dalam benak yang telah dan sedang meng-ada di sini selama lebih dari ribuan jam. Sekarang malam dan aku masih bimbang soal membunuh keberadaanmu dalam ruangku.

***

12 jam yang lalu dan aku telah melampaui keputus-asaanku akan sebuah keberadaan. Siang yang renyah dengan dedaunan gugur yang rapuh. Kerianganku yang membuatku terkejut sekaligus lelah. Kau meng-ada nyata-nyata di suasana ini. Dan aku mencari sesuatu yang tak kan (barangkali) pernah kuketahui. Kuraih kesia-siaan dengan antusiasme ini; membangunkanmu dari sorot gelisahmu itu. Menganomalikan permukaan wajah kusut itu. Senyum.

Beberapa detik saja dan rasanya seperti bertahun-tahun. Beberapa detik saja dan perlu ratusan kata-kata untuknya. Maaf, mungkin senyum ini tidak sebegitu penting buatmu. Hanya bukti eksistensiku saja di benakmu dariku. Meski kurasa aku hanya meng-ada beberapa detik saja di benakmu. Bukan, bukan benak, kurasa. Kurasa ia hanya berhenti pada mata, dan sudah, aku pergi dari sana. Sesuatu yang sama sekali tidak penting ini seperti merenggut kegelisahanmu yang utuh itu. Maaf.

Jikapun senyumku ini sedikit penting, barangkali karena aku tak mau menjadi jahat dengan berpura mengabaikanmu sebagai sesuatu yang ada. Karena aku, sejujurnya, takut tersenyum, terutama padamu. Takut dan ingin sekali. Ambiguitas yang terasa indah, menggelitik isi diafragmaku. Sesuatu yang sebenarnya tak terdeskripsikan tapi selalu kuusahakan membahasa. Sedikit sia-sia, sesungguhnya, senyum itu, kecuali bahwa ia memberiku sedikit kelegaan. Tapi aku benar-benar merasa seperti pencuri yang merenggut kegelisahan itu dari rautmu. Maaf.

***

17 jam yang lalu dan aku sangat putus asa. Beberapa hari mencari sosok yang tak bakal kuraih juga, rasanya. Terus buat apa dicari? Kesenangan pun tak lagi utuh karena ia tak berujung. Aku tak tahu kemana rasa aneh ini mesti dibawa. Terus buat apa kau dicari? Sia-sia sekali.

Ya. Ya. Semua orang adalah kamu, kau tahu? Itu, yang berjaket krem. Ternyata bukan kau. Itu, yang duduk-duduk di kantin. Bukan kau juga. Itu, yang naik motor. Bukan kau, lagi-lagi. Apa kau pikir aku psikopat? Tidak, tenang saja. Tidak seburuk itu juga.

Seperti langkah kaki di pagi hari ku ini. Aku tidak terlalu yakin harus di bawa ke mana. Di kampus ini semua jadi tampak sia-sia. Bahkan kau, juga, yang tiba-tiba nampak. Kurasa aku memang harus membunuh keberadaanmu di benakku. Ini agak menyiksa, perasaan ragu-ragu untuk membiarkannya tetap ada atau membunuhnya. Kenapa tidak kunikmati saja? Aku rasa aku bukan orang yang mudah menikmati kesia-siaan, tapi aku terus-terusan berkubang di dalamnya. Nah, itu yang kusebut penyiksaan.

Kapan harus kuakhiri kesia-siaan ini? Harus kuakhiri, kesia-siaan ini, dengan sebuah kesia-siaan, agar impas. Akan kuakhiri. Pasti. Harus. Mesti. Meski akhirnya nanti juga tetap sia-sia, kecuali bahwa kau tahu “sesuatu yang aneh” ini ada.

7:41 5 september nya, baru selesai.