Selasa, 30 Desember 2008

EN-A-TE-A-EL

DULU


Rusuh, hatiku.

Seperti yang telah kuramalkan berhari-hari lalu.

Tidak sama. Tidak akan sama, memang.


Cahayanya.

Kesibukkan orang-orangnya.

Keringat yang seharusnya membanjiriku juga.

Kerepotan ibu, gara-gara:

Udaranya.

Debu-debu yang tak diinginkan, yang menyengat hidungku.

Keenggananku yang membaur bersama kerinduanku.

Keputusasaanku yang dibungkus oleh semangatku.

Toples-toples yang bertutup merah kristal.

Kue-kue kering yang hangat dari oven, yang memudar akhir-akhir ini.

Terganti kue-kue kering dingin yang tak mau kalah menggoda.

Kue-kue basah yang menantang kesanggupan perut kenyangku.

Wangi makanan yang tak ada hubungannya dengan semua ini, tapi merekat kuat dengan semua ini.

Kain-kain untuk menutupi cacat ini dan itu.


Perdebatan dengan adik, tentang:

Warna merahnya.

Lampu-lampunya.

Gumpalan kapasnya.

Bau cemaranya.

Hijau yang palsu.

Ruang.

Letak kado-kado kosongnya.

Lonceng-lonceng yang bisu.

Drama-drama yang mengentalkan rasa.

Fantasi-fantasi yang menggugah.

Kerinduan kami, kerinduan yang kurindukan.

Salju-salju yang jadi mimpi terus-terusan..


Lalu aku ke sana, ke tempat di mana aku:

Mengeringkan tenggorokkanku demi melodi-melodi itu.

Menggelitik otakku dengan nada-nada.

Bertemu wajah-wajah itu.

Bicara,bicara,bicara sampai bosan.

Tentang semua ini.

Memanjakkan hatiku untuk kehadiran seseorang yang menggerogoti hatiku bertahun-tahun.

Gelap malamnya.

Bau lilin yang meleleh, panasnya yang menyapa jemari, cahayanya yang malu-malu.

Wajah-wajah yang bisa kubayangkan, dan wajahnya.

Sorot-sorot mata.

Gemerincing yang megah.

Totalitas yang ikhlas.

Doa-doa.

Atmosfer yang pekat.

Cahaya bertubi-tubi.

Sabda-sabda.

Cerita-cerita.

Lagu-lagu.

Senyum-senyum merekah.

Jabatan tangan.

Tawa.

Kenangan.


Pagi yang lebar.

Dentuman drum di hati.

Sengatan yang merekahkan senyum.

Kekosongan yang mengisi celah-celah hati seperti mentari pagi.

Harap.

Senandung.

Penantian.

Sepi yang berujung.

Senyum bangga ayah.

Cerita dan bual ayah.

Gurauan ayah.

Sahabat.

Kisah.

Keluguan.

Kepura-puraan.

Memori.


Makna. Makna. Makna.


Tidak. Tak sama.

Aku rindu dulu.


LALU


Duka yang perlahan.

Kain yang membalutku tak pura-pura.

Kaki yang melangkah cepat tak senada dengan semangat.

Wajah-wajah berbeda.

Kesibukkan yang semu.

Senyum yang semu.


Tiba-tiba rusuh, hatiku.

Kain yang apa adanya menciutkan aku.

Sesaat aku ingin menghilang.

Air mata saja yang menghilang.

Teriak-teriak yang seharusnya tak ada di kekudusan, mendentam.


Tenggelam dalam kosong.

Tenggelam oleh rindu.

Sendiri saat ramai.

Gelap saat gemerlap.

Sepi saat gempita.


Aku mau teriak.

Aku mau lari! Lari! Aku muak akan rindu! Sangat muak akan rindu!

Aku ingin pulang, pulang.....

Tenggelam dalam repotnya ibu.

Tenggelam dalam perdebatan dengan adik.

Tenggelam di sana.

Tenggelam di pagi yang lebar bersama ayah.

Tenggelam dalam kenangan.

Tenggelam dalam memori.

Yang jauh, jauh....


Kerapuhan hati.

Disangga sebisanya.

Pulang.

Atmosfer berbeda, tanpa makna selain sendu.

Wajah-wajah berbeda.

Sajian yang berbeda.

Tradisi yang berbeda.

Tak menyibukkanku, tapi aku terbelenggu.

Dibingkai dalam keluarga baru.

Aku rindu yang dulu.

Kekhasan yang terpatri di otak, kini menyisakan rindu.

Rindu saja...


Terlelap sebelumnya cemas.

Sebelumnya ketaknyamanan.

Sebelumnya sepi yang mendalam.

Sebelumnya harap yang patah.

Sebelumnya mimpi-mimpi yang sampai di batasnya.

Sebelumnya kucari-cari penawar rindu.

Semu...

Semu...

Hatiku pilu...

Hanya rindu...

Rindu...

Tak sanggup lagi aku menangis.

Diam. Diam saja. Aku diam saja...

Aku pun terlelap...


Makna. Makna. Makna.

Kucari-cari di sela mimpi, kucari-cari kala terkantuk, kutunggu-tunggu sampai muak.


Tak ketemu.

Kesabaran yang samar kucoba genggam.

Sedikit makna samar muncul ke permukaan.

Baru tak selalu bagus.

Buruk tak selalu buruk.


Siapapun, selamatkan aku...

Jangan semu....

Jangan semu...


Tuhan, dengarkan aku....

Saudara Anda Pingsan? Duduk Santai Saja Sambil Baca Koran!

Pagi itu benar-benar besar harapanku akan tawa dan canda bersama teman-temanku. Kutunggu ucapan selamat atas keberadaanku di bumi yang sudah tepat 18 tahun itu. Terutama secara langsung oleh teman-teman karibku di Jogja: Arnold, Toro, dan Petra. Ini kali pertama aku berulang tahun tanpa hadirnya Ibu, Ayah, dan Adik. Awal-awalnya aku berada di Jogja. Jadi sahabat-sahabat karibku adalah harapan satu-satunya. Sms-sms mengalir ke handphone dari segelintir teman jauh. Tapi tidak dari sobat-sobat gilaku yang mau tak mau kuanggap karib itu. Walau orang-orang yang tidak “momentumal” (di cek lagi saja istilah ini di KBBI, aku tak yakin ada) mengganggap hari jadi, hari raya, hari besar, dan hari-hari spesial lainnya sebatas hari saja, dan pemaknaan atas satu hari spesial sebenarnya bisa kau lakukan kapanpun kau mau, (dan aku pun termasuk dalam orang-orang yang tak “momentumal”), tapi tak bisa dipungkiri harapan terbesar atas pemaknaan terhadap kehadiran dirimu di dunia akan jatuh pada hari jadimu.

Kuliah kujalani seperti biasa. Tentu saja tidak ada pemakluman akan hari jadiku. Maklum saja kalau ada yang tidak tahu aku berulang tahun. Kala itu aku baru 18 hari belajar di kampus. Aku bertemu Toro. Aku panggil sekali, dia tak menoleh. Kupanggil lagi dan lagi, akhirnya ia menoleh.

“Jadi nanti sore?” kutanya padanya tentang rencana kami nonton Sexen sore itu.

“Nggak tahu,” jawabnya datar. Begitu saja. Dan dia berlalu, tanpa ucapan selamat apa-apa. Keyakinanku bahwa aku makhluk eksis di bumi agak goyah.

Sepulang kuliah, masih tak ada aksi apapun dari teman-temanku. Jam empat sore janji nonton Sexen akan terlaksana. Aku penasaran akan UKM yang menaungi hobi yang kugandrungi, band.

Aku mencoba tabah. Menerima kenyataan bahwa teman-temanku itu benar-benar lupa hari jadiku. Sisi diriku yang tidak “momentumal” itu meyakinkanku bahwa ucapan selamat tak ada artinya tanpa pemaknaan. Tapi di sela-sela usaha untuk menjadi tabah itu muncul pula kemungkinan bahwa akan ada kejutan buatku. Merasa bahwa kejutan bukan bagian dari diri mereka, aku memupuskan harapan itu. Sedikit menghibur diri aku berharap mereka besok ingat dan sangat menyesal telah melupakan ulang tahunku.

Runtuh juga pertahananku. Aku akhirnya menangis juga. Mungkin aku tidak “momentumal” atau apalah sebutannya, tapi baru kusadari apa gunanya kata “basa-basi” diciptakan. Selain untuk membuatmu muak jika digunakan berlebihan, juga untuk memberi penghargaan jika digunakan tepat sasaran, dan membuatmu menangis jika tidak digunakan sama sekali. Sama sekali tidak digunakan oleh teman-teman dekatku. Walau semua orang di bumi tersenyum untukmu di hari ulang tahunmu, kalau teman-temanmu melupakannya, akan hambar jadinya semua senyum.

Mencoba memotret diri dengan web cam untuk menghilangkan sedih. Tetap ekspresi-ekspresi sendu dan putus asa yang muncul di layar lap top.

Tiba-tiba hp bergetar. Sms, dari Arnold. Menanyakan rencana nonton Sexen. Sudah sangat telat. Sudah mulai bermenit-menit yang lalu, tapi kuiyakan juga. Kekesalanku double. Satu, mereka tidak tepat janji. Dua, mereka benar-benar lupa ulang tahunku.

Dan tibalah Arnold di kos, terlihat terburu-buru. Kecemasan di wajahnya amat kaku.

“Naik ke motor, cepet!”

Aku tak lantas naik.

“Lho, Toro, Petra mana?”

“Naik aja cepet!” ujar Arnold kaku, tak seperti biasa. Kekakuan itu membuatku berpikir akan kemungkinan kejutan. Terus kucecar Arnold dengan pertanyaan akan keberadaan Petra dan Toro. Arnold tidak berbelok ke mana Sexen manggung, malah ke arah berlawanan. Aku curiga. Beragam spekulasi muncul ke permukaan. Arnold ngebut. Aku diam saja. Entah kenapa kadang-kadang aku senyum sendiri waktu di motor, mungkin analisa yang muncul di kepala sedang lucu. Kucecar lagi dengan pertanyaan yang sama. Arnold diam.

Ternyata kami menuju ke rumah Petra. Saat sudah hampir dekat rumah Petra, Arnold bicara,”Petra pingsan, Fa, tadi kecelakaan, sampe ngigau-ngigau. Mbahnya cemas,” Arnold masih bicara dengan kaku. Aku setengah tak percaya. Kalau memang pingsan, kenapa tak bilang dari tadi.

“Hah? Masa? Pingsan di mana?” tanyaku dengan keterkejutan yang dipaksakan. Entah kenapa aku menahan senyum. Ada yang salah, pasti.

“Pokoknya sekarang dia sekarat. Toro udah di sana,” Arnold tak menjawab pertanyaan.

Sampailah kami di depan rumah Petra. Mbah putrinya sedang duduk santai sambil? Membaca koran, saudara-saudara! Antisipasi yang amat janggal dalam menyikapi kepingsanan cucunya. Aku tak bicara apa-apa tentang kejanggalan itu. Aku terus ikuti Arnold masuk ke dalam kamar Petra. Tak ada kehebohan apa-apa seperti yang aku kira akan terjadi saat tetanggamu pingsan. Sepiiiiiii sekali.

Akupun tertawa.

“Kamu ngerjain aku ya?” Aku tertawa lebih keras. Arnold masih bersikeras,”Lha nggak percaya? Tor! Tor!” dia memanggil Toro. Ternyata Petra tak ada di kamarnya. Aneh sekali dan aku tertawa makin keras,”Masakan cucunya pingsan tapi neneknya santai-santai baca koran?” ujarku akhirnya dan bahakku makin keras saja.

Tiba-tiba dari kamar depan muncul Petra, Toro dan Lia mambawa black forest. Aku akhirnya lega. Tertawa bersama-sama mereka dan mengomentari betapa salahnya menempatkan Arnold yang susah akting itu untuk menjemputku dan kejutan yang tak terorganisir mengingat Mbahnya Petra yang berfungsi vital luput dari perencanaan.

“Padahal tadi aku udah ngomong sama Mbah untuk sembunyi, dan udah diiyakan,” Toro membela diri. Dia ngiler lihat black forest.

Akhirnya makan-makan juga, penuh tawa. Mereka semua mengatarku ke kos dan ngakak lihat foto yang kuambil habis menangis di lap top. Cengeng. Mereka foto-foto dengan ekspresi tak karuan.

Terima kasih atas perhatiannya, teman-teman! Aku jadi sadar aku tak se”anti-momentumal” itu dan sadar akan pentingnya pengakuan kalian atas keberadaanku serta berartinya kalian buatku. Kadang kita tak sejalan, kadang ada kata-kata yang tak berkenan, kadang ada gesekan-gesekan yang membuat kita jauh, kadang kita tak seperti yang kita harapkan satu sama lain, kadang kita kesal, kadang, kadang, dan kadang-kadang lainnya. Tapi persahabatan tak kan mulus adanya dan semestinya kita berjuang agar “kadang” itu bisa mengeratkan kita dan tidak menghancurkan kita. Kita bersahabat karena kita selalu mencoba menghancurkan tembok “kadang” itu bersama-sama, bukan karena tidak ada tembok di antara kita. Tapi aku sarankan, jangan biarkan saudaramu duduk santai sambil membaca koran saat kau pingsan.

Kurang Naek Dikiiit Aje!

Aji Pangestu itu adalah nama lengkap gue. Walau nama gue itu beda dikit sama Adjie Pangestu yang arteis itu, tapi nasib gue nggak sama atau seenggaknya nyrempet dikit kayak Adjie Pangestu. Apalagi urusan cewek. Temen-temen gue bilang sekali lihat juga nggak bakalan lo temuin titik temu antara wajah gue sama wajah Adjie Pangestu.

Tiap pagi tentu gue mandi sebelum ke sekolah layaknya manusia pada umunya. Kalo sempet, ya? Kalo hampir telat, gue pasrahin badan gue ini sama parfum favorit gue. Syukur-syukur gue nggak lupa pake parfum. Kalo udah telat, lupa pake parfum pula, gue pasrah sama kehendak Tuhan. Ngomong-ngomong, gue masih nggak ngerti kenapa cewek-cewek pada nolak gue. Gue tahu wajah gue pas-pasan. Tapi sisanya? Lumayan.

Pelajaran? Nggak bego-bego amat. Remidial satu kali doang tiap ulangan. Gue nggak masuk 10 besar ,tapi gue masuk 25 besar tuh dari 35 anak.

Harta? Punya. Dan gue nggak suka pamer. Masalah vespa gue yang rada butut dan sering mogok itu?? Emang sengaja gue pakai sebagai kendaraan favorit gue. Kesalahannya cuma: vespa bagus susah dicari, jadi gue dapet rongsokan juga udah anugerah. Menurut gue, vespa itu antik, klasik, unik. Terus yang gue denger, cowok yang punya vespa biasanya ditempelin cewek-cewek. Mungkin bukan rejeki gue punya cewek sekarang. Sejauh ini, vespa gue cuma ditempelin sama gambar-gambar cewek aja. Buat pancingan lah.

Satu hal lagi yang menurut gue sangat bisa gue andalin. Bakat gue. Beneran, deh, sekali ini. Suara gue bener-bener bagus dan gue jadi vokalis. Gue yakin temen-temen band gue punya pertimbangan milih gue sebagai vokalis. (Sekedar informasi, si Aji ini nggak bisa maen alat musik apa-apa dan masuk bandnya sekarang gara-gara vokalis bandnya keluar karena konflik. Dan sewaktu band ini sedang bingung-bingungnya nyari vokalis, ditemukanlah Aji ini di bak sampah depan rental band. Eh, ini beneran ditemuinnya di bak sampah! Ceritanya, vespa Aji yang rada rongsok itu mogok di sebelah bak sampah deket rental. Seraya ngecek motornya, Aji nyanyi-nyanyi lagu Rolling Stone gitu. Karena personel bandnya ngerasa suara Aji nggak jelek-jelek amat, seenggaknya bisa dipake buat ngusir tikus sampe bikin tikusnya trauma untuk kembali ke kos-kosan mereka, maka terpilihlah Aji sebagai vokalis band yang namanya “Gubrakk!!” ini.)

Semalam aku mimpi...

Mimpi buruk sekali...

Ku takut berakibat...

Buruk pula baginya...

Eh, kebablasan. Jadi dangdutan gue! Iya nih, gue mimpi buruk bener semalem. Huh! Gue mimpi diputusin sama cewek-cewek gue. Emang gue punya cewek? Ya punya. Tapi dalam mimpi juga. Jadi mereka pada mutusin gue dalam mimpi gitu. Cewek gue itu bilang nggak sanggup lagi sama gue. Katanya gue terlalu kerenlah, terlalu tajir, terlalu banyak yang naksir. Wah, kalo alasan mutusin gue itu beneran kejadian di kehidupan nyata, nggak papa deh, gue diputusin. Pasti walau patah satu, bakal tumbuh seribu. Nggak kayak sekarang, patah satu tumbuh jerawat.

Tapi hari ini bukan hari biasa, teman. Gue nggak berencana ke sekolah. Bukan bolos juga. Ini kan hari Minggu. Mau sekolah? Lo aja kali gue nggak. Hari ini gue ikutan festival band. Rambut gue aja udah rapi sangat. Belah pinggir, tak lupa diminyakin. Baju udah funky, wangi udah semerbak kemana-mana. Radius 100m juga bakal kecium parfum gue yang aduhai ini. Maksud gue, kalo nanti akhirnya suara gue rada-rada cempreng pas festival band, bakal ketutupan sama wangi parfum gue.

Setelah sarapan dan pamit sama bapak kos gue, gue naikin vespa gue ke tempat yang dituju. Wah, gue bersemangat banget pagi ini. Acara kayak gituan kan (festival band) tempatnya cewek-cewek cakep ngumpul. Siapa tahu ada yang bisa gue gebet.

Setelah berjalan kira-kira setengah jam, sampailah gue ke SMA 677.500 (kayak harga hand phone kualitas standard aja tuh SMA) yang jadi tempat penyelenggaraan festival itu. Bener, kan? Banyak cewek cakepnya? Tapi, temen-temen band gue kok belum kelihatan daun telinganya ya? Batang hidungnya aja udah pada lari kemana-mana tuh. Yah akhirnya gue putuskan untuk menyelam sambil minum air. Sambil nyari temen-temen gue, mata gue ini juga gue pake untuk mengincar cewek-cewek cakep.

Wuidih, itu kan Laura! Cewek top markotop di sekolah gue. Aneh, ya? Dia kok senyum ama gue? Padahal kalo di sekolah ngelirik gue aja nggak. Melotot iya. Yah, walaupun gue heran banget, tapi gue baleslah senyumnya Laura.

Eh, nggak cuma Laura, lho! Ada cewek manis banget, sekitar 2 meteran dari Laura juga senyum-senyum tuh sama gue. Manis banget, gila... . Buktinya tuh semut-semut udah ngerubungin dia.

Gue lemparkan lagi pandangan gue ke sekeliling gue, kalau-kalau aja temen-temen band gue udah pada nongol. Belum ketemu juga mereka. Tapi cewek gothic yang di sebelah panggung juga ngelirik-lirik gue gitu! Pas gue senyumin, dia malah tersipu-sipu malu. Ih, kok lama-lama cekikikan, ya?

Gue udah cakep apa gimana sih, sekarang? Kok cewek-cewek udah senyum-senyum gitu sama gue? Mimpi apa sih gue semalem? Oh, iya... . Mimpi diputusin cewek. Gue pernah denger sih apa yang kita mimpiin akan jadi kebalikannya di kehidupan nyata. Dulu sih gue nggak percaya. Tapi, kayaknya beneran, deh!

Akhirnya setelah mata gue menerawang selama setengah jam, dan untung bola mata gue nggak keluar, gue temukan juga sosok temen-temen band gue yang nggak kalah parah tampangnya dari gue. Sebenernya nggak susah sih nyari mereka. Cari aja cowok-cowok yang dandan paling norak, pasti langsung ketemu. Kenorakan temen-temen gue diantara makhluk bumi ternorak udah nggak ada bandingannya! Katanya sih mereka dari tadi nunggunin gue di WC. Alasannya sih WC adalah tempat yang paling matching sama muka-muka mereka. Terserah, ya? Yang jelas alesan sok idealis yang bener-bener nggak idealis bahkan cenderung konyol itu lumayan bikin gue bete. Kalo mereka nggak nggak berinisisatif buat menongolkan diri mungkin ampe gue punya cicit juga nggak bakalan bisa gue temuin mereka.

Kemana aja sih lo, Ji? Lama banget,” Tarjo yang merupakan gitaris band gue memberikan pertanyaan yang harusnya bisa dia jawab sendiri.

Udah capek kali dari tadi gue nyariin lo semua. Nongkrong di WC... . Yang lewat juga cuma orang-orang kebelet pipis doang! Cari tempat yang strategis dikit kenapa? Atep sekolahan, kek, puncak pohon, kek,” Aji melempar kesalahan pada teman-temannya. Sebenernya Aji lumayan bersyukur temen-temennya lama muncul. Kan dia akhirnya bisa menyadari bahwa kini dirinya bisa mempesona wanita-wanita. Mulai dari Laura sampai gembel juga dibuatnya terpesona. Nggak tanggung-tanggung tukang siomay yang bergender kurang jelas tadi juga senyum-senyum tuh sama Aji.

Iya udah deh, sori Ji... . Kita tampil urutan pertama. Bentar lagi mulai acaranya. Udah siap semua, kan?” ujar Bakri sang drumer sok bijak.

Akhirnya saat yang kita nantikan tiba. Nama band gue dipanggil untuk tampil. Dengan penuh kepercayaan diri gue memperkenalkan personel-personel band gue. Sekarang juri-jurinya pada senyum-senyum. Gila, ya? Kharisma gue kayaknya udah mulai memancar. Belum nyanyi aja juri-jurinya udah terkesima. Wah, apa karena parfum yang gue pake setengah botol tadi pagi, ya?

Detakan drum mengawali lagu ciptaan kita yang memang wajib ditampilkan dalam festival band ini. Gue bener-bener ngerasa di atas awan.. Belum pernah orang-orang yang nonton perform kita nunjuk-nunjukin gue dengan penuh semangat kayak gitu. Gue tahu apa yang mereka omongin seraya nunjuk-nunjuk gue,”Gila vokalisnya cakep banget, ya?” atau mungkin supaya kesannya gue lebih rendah hati,”Gila vokalisnya ancur banget ya tampangnya? Tapi auranya memancar kemana-mana...”

Pas tengah-tengah lagu, Jemi, basis gue melototin gue dengan sedemikian rupa. Apa gue salah lirik apa gimana? Perasaan gue udah maksimal, deh! Ah, mungkin si Jemi sirik kali ngelihat gue dielu-elukan fans gue. Dan akhirnya, selesailah lagu kita bergaung. Tepuk tangan riuh membahana. Gue bisa ngerasain gimana antusiasnya 100 orang penonton dan 500.000 nyamuk-nyamuk dan lalat akan penampilan kita.

Gue sengaja turun panggung terakhir sambil ngangkat-ngangkat tangan gue. Sewaktu gue balik ke belakang panggung, temen-temen band gue udah ketawa terbahak-bahak. Kayaknya ngetawain ceritanya si Jemi karena posisis Jemi yang jadi sentral itu. Kenapa sih? Nggak bagi-bagi cerita ama gue.

Gimana guys penampilan gue tadi? Perfect, kan?” gue udah tahu apa yang bakal mereka lontarkan. Pasti kekaguman terhadap aksi gue tadi.

Gimana ya, Ji? Ok, sih... Tapi kurang naek dikiiit aje...,” Bakri sang drummer mengomentari.

Kurang naek apa maksud lo? Fals ya? Masa sih?” gue masih merasa baik-baik aja. Apa itu alesan Jemi tadi melototin gue? Karena gue fals?

Bukan suara, Ji. Tapi resleting lo tuh kurang naek,” Jemi menjawab. Dan meledaklah tawa temen-temen gue tanpa peduli kepedean gue yang tadi segede gunung sekarang jadi menciut sekecil biji kedele. Dan spontan gue menilik ke resleting gue. Ya ampun... nggak ketutup, sodara-sodara! Maka sadarlah gue akan posisi gue sebenarnya. Dan akhirnya gue bisa menyimpulkan alasan senyum cewek-cewek cakep tadi. Pasti yang diketawain resleting gue! Kalo rasa malu itu bisa dilihat dengan mata telanjang, mungkin sekarang udah ada seton karung berisi rasa malu yang udah gue panggul. Pantes juri-juri udah senyum sebelum gue bertanding, pantes tukang siomay senyum genit sama gue, pantes penonton pada cengar-cengir, pantes nyamuk-nyamuk dan lalat-lalat jadi antusias (lho, ini apa hubungannya, ya?), pantes tadi Jemi melototin gue di tengah lagu (nyesel gue nuduh dia sirik sama gue. Secara matematis aja tampang dia lebih baik dari gue), pantes pengemis tadi minta duit sama gue (bukannya emang udah kerjaannya pengemis ya, minta duit sama orang?). Dan keluarlah senyum masem dari bibir gue untuk temen-temen gue. Nggak nafsu lagi gue tebar pesona kayak rencana gue barusan. Pupus sudah harapan gue untuk mendapatkan cewek idaman. Gue duduk merenung murung. Hampir lupa... . Resleting gue belum gue naikin. Dan di saat-saat down gue itu, lewatlah Laura di hadapan gue. Pura-pura nggak lihat aja, deh!

Hai, Ji! Keren banget deh resleting lo! Model baru, ya?” celotehan Laura itu gue tanggapi dengan diam. Ni cewek cakep sih cakep. Tapi busuk bener hatinya. Ilfil gue sama dia. Gue tahu sih dia pasti juga udah ilfil duluan sama gue dari jaman penjajahan. Laura pun berlalu.

Masih tetep gue duduk murung merenung merana terisis tersayat sedih terluka meronta-meronta menggaruk-garuk mecakar-cakar memanjat pohon (gue ini manusia apa monyet ya?). Tak lama, cewek berpenampilan gothic yang tadi juga senyum tersipu sama gue menghampiri gue. Ya Tuhan, udah cukuplah Laura mempermalukan gue. Masa cewek ini juga, sih?

Halo. Vokalis “Gubrak” ya?”

Aji menggangguk lesu. Dia udah tahu tuh cewek mau ngomongin apa.

Lo keren banget, deh! Gue suka musik band lo!” si cewek berkomentar.

Iya gue tahu. Terutama resletingnya kan?” ujar Aji sinis.

Resleting? Maksudnya apa, ya? Itu logo band lo apa gimana sih?” ni cewek rada juling apa beneran blo’on ya? Pikir Aji.

Lo nggak tahu ya, tragedi resleting gue?” Aji bener-bener bingung sama nih cewek.

Itu judul lagu, ya?” si cewek bertanya dengan wajah polos.

Aji bengong. Si cewek juga bengong. Dan diantara kebengongan itu, munculah benih-benih asmara. Kalo kata orang: “dari mata turun ke hati” ini “dari bengong turun ke hati”. Dan mereka pun ketawa.

Gue Meisya,” si cewek mengenalkan dirinya.

Gue Aji,” Aji lega tuh cewek nggak tahu resletingnya udah kebuka setengah hari. Berarti senyum yang tadi dilihatnya itu bukanlah senyum ilusi, tapi nyata.

Begitulah kejadian yang menimpa gue setahun lalu. Seenggak-enggaknya, gue diingatkan untuk nggak boleh cepet sombong. Tiap ada kebaikan yang menimpa gue, pasti gue bisa ngontrol dengan baik supaya gue akhirnya nggak terkungkung dalam ke sombongan.

Dan Meisya? Sekarang udah jadi cewek gue. Mungkin Meisya nggak secantik Laura, tapi dia asik banget dan enak diajak ngobrol. Keren lagi. Yang paling penting, dia nggak sejahat Laura. Buat gue dapetin cewek kayak Meisya itu udah kayak ketiban durian runtuh sepohon-pohonnya. Ternyata dibalik kejadian malu-maluin yakni tragedi resleting itu, masih ada keajaiban. Jadi seburuk apapun peristiwa yang terjadi hari ini di hari lo, semalu-maluin apapun kejadian yang menimpa lo, seburuk apapun lo rasa diri lo (menurut gue Tuhan nyiptain segala sesuatunya dengan indah), ingetlah pasti ada hikmah di balik semuanya.

Minggu, 21 Desember 2008

Detik-detik Lezat dan Beracun


Awalnya, aku juga tak tahu kapan. Tak tahu kapan aku mulai memperhatikannya dan memberi hati untuknya. Awalnya, yang adalah sebelum “awal”, aku bahkan sering kesal padanya. Aku tak tahu juga hal apa yang membuatku begitu sensitif menanggapi sikapnya padaku atau mungkin juga sikapku padanya. Bagaimana kami selalu canggung, bagaimana kami terbata-bata seperti anak kecil yang belajar bicara, kehilangan fokus seperti seperti anak SD yang belajar memahami. Dan kau tak sedetikpun menatapku, membuatku merasa tak cukup dihargai. Kau tak menjawab pertanyaanku dengan benar dan tak mendengarkan jawabanku. Pikiran kita melayang seperti kabut di atas genangan danau keberadaan kita. Anehnya, kesalku tak membuatku mengabaikan keberadaanmu, mataku mencari-carimu di saat aku tahu kau seharusnya ada di sana tapi kau tak ada, dan sikapku tak bisa jadi lebih alami dari biasanya, aku bergerak sedemikian rupa agar kau tahu sesuatu. Sesuatu yang bahkan aku sendiri belum paham waktu itu.


Dan “awal” sesudah awal itu, aku juga tak tahu siapa yang memulai. Jika aku yang tertangkap basah mengamatimu itu kau sebut “mulai”, terserah kau saja. Tapi ketidaktenanganmu saat di dekatku lah yang membuatku mengamatimu. Rasa kesal itulah yang membuatku mengamatimu. Hanya ingin tahu mengapa kau begitu. Hanya ingin tahu mengapa kau bisa membuatku kesal. Mengapa aku harus kesal? Mengapa aku harus peduli pada sikapmu untukku? Mengapa aku harus peduli pada penghargaanmu akan keberadaanku? Apa yang kau miliki yang membuatku harus peduli padamu? Aku tak tahu. Aku tak menemukan jawaban bahkan setelah akhirnya kita saling melempar pandang dan menangkap basah satu sama lain. Perang dingin? Tidak dingin. Aku mulas dan tersengat tiap kali mata kita berada pada satu garis.


Sampai akhirnya kau bicara juga. Dengan polos, berkali-kali kau minta bantuanku untuk sesuatu yang aku tahu kau bisa lakukan sendiri, untuk sesuatu yang aku tahu bisa kau minta dari orang lain yang lebih bisa menolongmu dibanding aku. Lalu mengapa aku harus keberatan? Aku tak tahu mengapa aku sangat bahagia dengan kebodohan ini. Aku tak tahu mengapa aku butuh kau mintai pertolongan. Lalu siapa yang butuh? Kau butuh aku atau aku butuh kau? Aku tak tahu siapa yang menang dalam membutuhkan satu sama lain itu. Tapi kau akan duduk di sampingku setelah aku tak berkeberatan membantumu. Duduk di sampingku, dekat di sampingku. Dan satu detik akan jadi ledakan kebahagiaan besar di hatiku. Mengagumimu dari dekat untuk sesuatu yang tak pernah jelas. Mencoba berkonsentrasi penuh sementara aku sangat terganggu oleh keberadaanmu di dekatku. Kadang aku tak ingin bicara apa-apa. Hanya mau memandangmu saja dan menikmati ledakan kebahagiaan ini tanpa harus berkonsentrasi atas pertanyaan-pertanyaanmu yang sebenarnya tak perlu konsentrasi besar. Aku tahu aku tak harus disalahkan sepenuhnya. Sikapmu tak membantuku berkonsentrasi. Kau mengisyaratkan kau menikmati detik-detik ini. Dan kadang aku tersanjung oleh itu.


Dan kau akan berlalu atau aku yang akan berlalu. Membangunkan aku dari khayalan indah yang dibangun lewat kenyataan pahit. Menyisakan keabsurdan dan kepedihan buatku. Bahwa kau dan aku tak mungkin bersama. Bahwa kita tak akan berada pada titik indah yang hanya beberapa menit itu untuk waktu yang lebih panjang. Bahwa detik-detik itu tak abadi. Bahwa kau punya seseorang yang lebih berhak atas detik-detik itu dan aku akan tersingkirkan. Aku akan menyadari dimana aku dalam kenyataannya. Aku akan menangis lagi bersama kenyataan yang tak akan beranjak dari sisiku kecuali saat aku tidur dan bermimpi tentangmu.


Lalu aku pergi. Lelah akan spekulasi-spekulasi, mimpi-mimpi yang kuciptakan sendiri, dan kesedihan yang menyeruak saat mimpi itu tak kuraih. Menjauh darimu dan aku tersesat. Memandangmu dari kejauhan. Berkali-kali tersesat. Dan kau akan memanggilku dari simpang jalan. Memanggilku dan aku akan kembali pada detik-detik indah yang sementara itu. Aku terus menatap kemungkinan lain. Menatapa tikungan lain. Dan aku pergi lagi, dan aku tersesat lagi, dan aku memandangmu dari kejauhan lagi, dan kau memanggilku lagi. Memanggilku lagi dan memberi detik-detik penuh makna tak bermakna lagi. Bermakna karena ada kita dan tak bermakna karena tak ada ruang buat aku mengenalmu lebih jauh. Kau mungkin dekat di sampingku, tapi aku tak pernah tahu setinggi apa mimpi-mimpimu, sedalam apa rasamu, seluas apa pikiranmu, setegar apa dirimu, sebenci apa kau pada kenyataan, selelah apa kau sekarang, sebahagia apa kau saat aku ada, dan lain-lain, dan sebagainya, dan semacam itu. Aku akan tersadar kau hanya kamuflase. Kau yang dekat ini ternyata tak pernah dekat. Kau samar. Menyamarkan dirimu di hadapku. Aku akan tersadar bahwa aku ternyata sendirian. Aku yang selalu membantumu ini tak bisa berteriak minta tolong saat tergelincir di jurang, bangun sendiri dan mendaki lagi ke jalan yang benar, mencari mata air sambil terlunta-lunta saat aku kehausan, melawan hujan, badai, kemarau, sendirian. Kau dan bayangmu datang dan minta tolong lagi, lagi, lagi, dan lagi. Memberiku kemungkinan bahwa kau ini nyata-nyata di depanku, ada buatku, di hadapanku lagi, lagi, dan lagi. Dan akhirnya aku akan sadar lagi, lagi, dan lagi, bahwa kita tak akan mungkin. Kau tak pernah membuka dirimu untukku dan datang selalu dengan bayang-bayangmu. Lalu buat apa aku merindukan itu? Buat apa aku menangisi itu? Mengapa aku sesakit ini? Untuk kesemuan itu. Untuk keabsurdan itu.


Sekarang aku mau benar-benar berbelok di sini. Aku harap aku tak akan kembali lagi. Aku sudah berjalan beberapa langkah dan mungkin aku sekarang hanya akan duduk dan memandang. Tapi aku tidak tersesat. Tidak, aku tidak tersesat. Aku hanya mau duduk sebentar. Melepaskan perjuangan, mencintai perjalanan, menghargai proses, dan menanti kebaikan datang padaku. Tidak, aku tidak mau terlunta-lunta lagi menangisi mimpi yang terlalu tinggi dan meratapi duka yang terlalu dalam. Karena ternyata apa yang kuingini kadang tak bisa kuperjuangkan. Hanya bisa dinanti. Tidak bisa diperjuangkan. Kalau mungkin kau akan datang dan singgah bersamaku dan membuka dirimu. Aku tak pernah tahu. Keajaiban adalah misteri dan keajaiban memungkinkan segalanya. Yang jelas, aku tak meninggalkanmu, bayang semu yang indah dan menyakitkan. Kau masih bisa minta tolong padaku, ah, aku masih peduli padamu, tapi aku tak akan lagi bermimpi untukmu, menangis untukmu, dan sakit untukmu. Tak peduli seingin apapun aku memilikimu. Tak peduli sebesar apapun bahagiaku saat bersamamu, aku tak bisa memperjuangkanmu.


Rabu, 10 Desember 2008

KADANG

Kadang rasanya lelah sekali.

Ingin melarikan diri.

Entah kenapa aku bertahan. Sesempit apapun kemungkinannya.

Mungkin aku tak bergerak maju, kadang mundur, terdesak oleh realita, sampai terjatuh.

Sambil mengumpat aku bangun. Sambil menangis aku berdiri.

Maju selangkah dan mundur dua langkah. Tidak buruk, aku hanya harus maju dua langkah lagi agar berpindah dari keterpurukan ini.

Entah kenapa aku bertahan, seberat apapun berjalan tanpa peluang begini..

Senin, 08 Desember 2008

TANYA DALAM PEKAT

Belum datang malam

Tapi kegelapan telah datang

Hujan rintik...

Tak terlalu dingin untuk menemani kesepianku

Terlalu hangat dibandingkan dengan mimpi-mimpiku yang mulai membeku


Berjalan. Sendirian.

Aku berpikir sepanjangan. Tak habis-habis. Berputar dan berputar. Tak tahu mana pangkal mana ujung.

Tentang semuanya. Tentang hidup. Hidupku, hidupmu, hidup kita.


Aku tak mau kembali ke tempatku. Sepi di sana.

Aku mau pulang ke rumah saja.

Rindu akan atmosfer aneh yang selalu menarikku untuk kembali ke sana.

Dekat ibu, dekat ayah, dekat adik.


Aku bertanya terus-terusan.

Apa yang sedang kulakukan?

Buat apa aku melakukan semuanya?

Apa yang menyebabkan aku masih berjuang?

Padahal mimpi-mimpiku mulai pudar, kawan.

Padahal aku sudah sangat lelah...


Siapa pula yang menantiku untuk pulang?

Rumahku jauh...Ibu pun jauh...

Aku tahu sahabat-sahabatku selalu ada.

Mereka punya impian mereka sendiri dan aku pun mungkin juga.


Sekarang kemana aku mesti bicara?

Saat beban terlalu berat. Saat aku tak mencapai apa yang seharusnya dapat kucapai. Saat aku melalukan banyak kesalahan.

Kemana larinya kebebasan dan kemandirianku?

Tak kusangka aku serapuh ini.


Apa yang benar-benar kuharapkan?

Kadang aku tak tahu. Kadang aku benar-benar tahu. Kadang aku pura-pura tahu.

Mengapa aku menangis?

Buat siapa?

Buat mereka yang mengkhianatiku dan diri mereka sendiri?

Buat mereka yang meninggalkan aku?

Buat mereka yang mereka yang kurindukan?

Atau buat diriku yang dibohongi melulu?


Mengapa aku harus tertawa saat aku benar-benar sedih?

Supaya hilang mungkin semua bebanku?

Atau supaya reda rasa sakitku?

Tak juga hilang-hilang kepedihan itu dariku.

Apa lagi yang harus kulakukan untuk menghempas kesedihan itu?

Berlari jauh-jauh darinya pun tak membuatnya jera.

Aku harus hadapi. Terus menghadapinya.

Sampai kadang aku terlalu muak.


Aku bertumpu pada satu titik.

Apa yang bisa membuatku bahagia?

Dan pantaskah aku bahagia?

Apa itu yang jadi tujuan akhir tiap orang?


Angin berhembus.

Tak menusuk, lemah, seperti aku yang lemah.

Jalanan ramai, tapi tak sesak.

Motor-motor melaju kencang dan pikiran-pikiran di tiap kepala menguap bersama malam yang makin larut.

Kupandangi lagi sekitarku, melepaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak akan digubris siapapun.

Tak lama, dan otakku berlari lagi.


Bahagia itu seperti apa pula?

Tiap otak mungkin punya bahagia yang berbeda.

Tapi bisakah semua manusia di dunia jadi bahagia bersama-sama?

Tanpa ada yang perlu dikorbankan mimpi-mimpinya?

Hanya surga mungkin yang bisa.


Dan bukan dunia namanya jika manusia tak saling kuasa.

Dibalik megahnya bangunan-bangunan kota, kuli-kuli berpeluh tanpa jaminan bahagia, mungkin.

Ah, mana kutahu pula. Itu dari sudut pandangku saja.

Lalu mengapa pula yang satu bergelimang harta dan yang lain mati karena kelaparan?

Mungkin kita tak akan pernah bisa benar-benar persis sama di tanah ini, tapi alangkah malangnya mereka yang dilahirkan hanya untuk terlunta-lunta sementara saudaranya terlalu kenyang oleh gemerlap.


Lalu siapa yang mesti disalahkan? Kadang mereka yang sudah terlalu malang pun tetap disalahkan.

Atas kemalasannya.

Atas kebodohannya.

Bahkan atas nasib.

Lalu tak pernahkah ditanyakan mengapa mereka begitu?

Karena apa bodoh? Karena apa malas?

Pernahkah mereka diberi kesempatan mengecap sedikit saja kepiawaian dari yang bermegah?

Kesempatan sebentar saja menimba ilmu dari yang cemerlang?

Maka takdir lah yang jadi kambing hitam.

Bisakah sekali-kali yang malang tak selalu malang sampai mereka mati?

Beri sedikit saja mereka kesempatan mengalahkan apa yang kalian sebut takdir itu.

Karena memang mungkin beginilah dunia.

Jika ada kemalangan biarlah pula ada keberuntungan.


Tapi mungkin kalian tak terlampau peduli.

Apalah arti serentetan pertanyaan dari seorang gadis yang mulai kehilangan mimpi?

Maka dibiarkanlah saudara-saudaraku yang malang dibingkai dalam figura kehidupan.

Entahlah dibingkai atau dikurung.

Sabtu, 06 Desember 2008

TUNDA

KUMATIKAN RASA


Kuhantam saja!


Lelah! Badanku berteriak.


Aku tak peduli.


Jalan! Jalan terus! Jalan terus! Aku tak peduli.


Sudah menumpuk.


Pakaian kotor. Sepatu buluk.


Kerja! Kerja! Aku paksa.


Kertas. Kertas. Kertas. Dan kertas.


Semuanya menuntut dibaca. Semuanya berebutan memecahkan kepala.


Bayar! Bayar! Bayar! Kuselesaikan.


Memenuhi tuntutan sistem. Memenuhi tuntutan dunia sekarang.


Lucu juga bahwa berpusing-pusing memikirkan semua ini tidaklah gratis.


Tak ada ruang kosong akhir-akhir ini.


Sempit. Sangat sempit waktu untuk bosan.


Biar saja. Toh sakit hatiku memudar.

MEMBACAMU

MEMBACAMU I


Di tengah kemuakanku akan kemunafikan yang merasuki cara pandang dunia

Aku melihat gambaran itu

Gambaran yang kau berikan lewat kata-kata yang kau ketik

Keras!! Kuat!! Berbeda!!

Kau menyadarkanku bahwa ku tak sendiri

Kita muak bersama-sama... Haha..

Berbulan-bulan tulisan itu terpendam

Terpendam karena kekuranganku akan pengetahuan tentang alat yang membuat dunia terasa lebih kecil dan abstrak.

Kau menyentuh hatiku dengan teriakan yang kau tulis

Tentang kecintaanmu pada melodi menghentak yang tercipta juga karena kemuakan orang-orang seperti kita

Berkali-kali kau memanggilku untuk bercerita tentang isi otak kita, tapi aku tak tahu kau ada

Maaf,itu bukan karena aku tak mau, tapi aku memang tak tahu kau ada

Ah, gara-gara keterbatasanku!!

Pertama kali untuk kedua kalinya aku melihat gambaranmu

Hatiku bergejolak, entah karena aku merasa kita sama atau karena aku mengharapkanmu tentang sesuatu

Aku tersenyum bahkan tertawa kegirangan melihat caramu memandang dunia yang makin hari makin gencar berusaha membodohi manusia yang mestinya berbudaya ini

Aku bicara

Akhirnya bicara padamu bahwa aku telah lama setuju dengan apa yang kau bilang indah

Kau bicara

Kau bicara padaku bahwa kau mau tahu apa yang sedang kupikirkan tentang berbagai macam hal

Aku senang waktu kau bilang kau benar-benar mau tahu apa yang ku pikirkan

Aha!! Kita bicara!

Kita tak benar-benar sama yang seperti yang kita kira, ternyata....

Tapi tak apa.

Aku suka.

Aku harusnya mengerti tak mungkin kita sama.

Buat apa kita berbagi kalau kita sama?

Buat apa saling melengkapi kalau kita sama?

Sejak awal tanpa sadar kita tahu kita tak sama

Karena itu kita ingin tahu seperti apa kita


Kenapa??

Aku sudah merindukanmu sebelum aku bicara padamu??

Apa kau begitu??

Aku tak tahu aku merindukan hanya kau saja atau aku merindukan orang dengan semangat sepertimu??

Karena sulit!

Sulit sekali menemukanmu


Dan ada beberapa detik terbersit di otakku tentang kita

Tentang seperti apa kita nantinya

Seperti apa kita jika matahari terbenam

Seperti apa kita saat bulan tak lagi bulat

Seperti apa kita saat kita harus memutuskan


Mungkin tak akan sejauh itu

Mungkin tak mungkin bisa kita selalu saling menopang saat kita tergelincir

Karena kau jauh

Karena ada sekat yang sulit kita hilangkan bersama saat kita jauh

Atau juga karena kau tak pernah berpikir sejauh ku berpikir sejak awal kau coba mengenalku??

Sehingga kita tak pernah berjuang sekeras itu

Sehingga kita tak pernah bertarung melawan perbedaan yang tak bisa kita hilangkan

Perbedaan yang sudah melekat di dalam diri kita masing-masing yang membentuk kita sebelum kita jadi manusia sesungguhnya


Aneh bahwa aku selalu merindukanmu disaat kita belum menciptakan kenangan apapun

Aku tak tahu hal apa yang membuatku begitu merindukanmu

Begitu merindukanmu

Sangat merindukanmu

Ingin bicara panjang lebar padamu segera tentang kepenatanku

Menguapkan kelelahan yang mendidih di diriku

Menangis di depanmu sepuasku

Tanpa kau harus berkata basa basi untuk menenangkanku

Aku mau bercerita semuanya, segera!!

Aku mau tahu ketidaksempurnaanmu dan sisi tergelapmu

Aku mau mencoba mengerti

Karena sepertinya tak ada lagi yang sepertimu

Tak ada yang bisa membuatku merasa tenang dan punya orang yang sama-sama peduli tentang yang terjadi

Kau buat aku menemukan diriku yang hilang

Kau buat aku menemukan tempat mencintai diriku lebih dalam

Kau begitu samar tapi kau begitu kuat



MEMBACAMU (II)


Sial! Sial! Sial! Sial kamu!!


Salah! Salah! Salah! Salah aku!!


Aku salah menilaimu yang sialan itu!!


Tak ubahnya penggila materi!! Tak ubahnya penggila kepicikan ternyata!!


Ah, aku salah! Ah, kamu sial!!


Sesial-sialnya kamu, aku sakit juga di awal salah itu.


Bagaimana sedihnya merindukan sosok yang abstrak sama sekali.


Sosok yang kau bentuk sedemikian rupa yang terpatri di otakku.


Kau yang bercahaya itu tak pernah ada.


Kau hanya membara, tapi tak bercahaya.


Kau hanya panas, tapi tak bercahaya.


Kau hanya membakar, tapi tak bercahaya.


Sakit, merindukan cahaya yang tak pernah ada.


Kadang lebih baik merindukan cahaya yang jauh tapi menyinari dibanding merindukan bara yang rapuh tapi melukai tanganku.


Kadang.


Aku pun sudah muak dengan kadang.


Sial!!



Kosong

Sudah. Sudah terlalu berisik.

Juga sudah terlalu lelah aku menari.

Sudah banyak aku tertawa.

Tapi ada yang tetap kosong.

Satu ruang di hati itu masih tetap kosong.

Kekosongan macam apa ini?

Aku mau keluar, tapi tak bisa.

Aku mau mengisinya, tapi tak kuasa.


Sudah serak aku bernyanyi

Terlalu banyak lagu mengitari dan tak ada yang mencukupiku.

Semuanya mewakili harapanku, tapi tak ada yang sedang terjadi padaku.

Aku tetap merasa berantakan.

Berantakan dan kosong.

Kekosongan macam apa ini?

Berjuta melodi yang kucipta tak dapat menambalnya.


Ah, apalagi air mata.

Sampai bosan aku keluarkan dia.

Kupikir bisa menyembuhkan kekosongan.

Tidak bisa juga.

Kekosongan macam apa ini?

Banjir air mata tak juga menghanyutkannya pergi.


Akhirnya aku diam.

Aku lelah mengusirnya.

Lelah. Sampai lelah aku berkutat dengan kosong…

Apa maunya si kosong?

Berjuta kata telah kugunakan untuk menggambarkannya.

Beragam pikir telah menawarkan analisanya.

Tak kumengerti. Tetap tak kumengerti.