Rabu, 26 Agustus 2009

Di Langit ke Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tujuh

Katakanlah aku terbang, atau menari, atau terjun bebas. Katakanlah aku….katakanlah. Demi nafasku, ku tinggalkan tanah; tak kujejak buminya.

Katakanlah daratanku makin jauh, terbangku makin tinggi, tarianku melayang, terjun bebasku memusuhi gravitasi. Katakanlah semua itu…katakanlah. Demi nafasku, kulakukan. Demi nafasku, katakanlah.

Makin jauh, tak terjejak daratanku, makin jauh. Aku baik-baik saja. Baik-baik saja. Baik-baik saja hingga ketinggian ini. Baik-baik saja. Dan lebih tinggi lagi. Langit ke tujuh ratus tujuh puluh tujuh. Baik-baik saja.

Ramai. Berserakan. Hingar. Gelak. Kata-kata. Di sini, jauh di sini, ia begitu sunyi. Hening, dan aku merasa baik-baik saja. Sungguhkah? Tanyaku. Lalu di sini kesunyian meledak. Hancur berkeping-keping menjadi tetes-tetes embun yang sayu. Merenggut keheningan dan mengantarkan keheningan baru. Aku menginginkan ruangku untuk berduka. Di langit ke tujuh ratus tujuh puluh tujuh, aku menjadi.

Aku menjadi rindu. Tapi tak ada keutuhan yang bisa kurindukan. Aku merindukan….sesuatu. Sesuatu yang tak pernah kau miliki, bisakah dirindukan? Atau ia hanya akan mendukaimu, tanpa bisa kau rindukan? Tapi aku rindu. Aku tahu aku merindu. Praduga-pradugamu, yang berhenti pada praduga, yang tak menjadi apapun, kecuali sesuatu yang tak kau miliki, apakah bisa dirindukan? Jika ya, maka sebenarnya aku tak pernah menjejak bumi karena aku hanya menduga aku menjejaknya. Aku pernah, rasanya. Pernah, menjejak bumi. Lalu ini apa? Aku rindu. Sesuatu. Yang pernah ada, entah sebatas praduga, entah yang lainnya, tapi tidak utuh. Kenangan. Kenangan yang masih mencipta dirinya, tapi kurasa ia tidak utuh-utuh juga hingga kini.

Kata-kata yang membelaiku seperti mata yang memandang dengan sayang. Apa ini hanya aku? Apa aku harus menjadi naif dengan tidak merasakan apapun? Aku tidak mau berbohong soal tafsirku dan soal ketak-mungkinan. Aku tidak ingin, sungguh tidak ingin kembali di jalan kemarin dengan langit gelap yang sama. Apa kata-kata itu seharusnya tidak usah dimunculkan? Tidak harus begitu juga. Maka aku terbang tinggi. Jika aku tak terbang, ketak-tergapaian itu; ketak-terengkuhan; ketak-teraihan itu tetap akan membuatku, barangkali, rindu. Aku, telah kehilangan, dan masih takut kehilangan. Aku belum pernah memiliki sesuatu yang sudah hilang, dan sudah merindu.

Apa atau siapa? Jika ini apa, maka itu adalah kebohongan. Belum ada siapa yang memberiku apa sedemikian rupa; apa yang kurindu ini. Jika ini siapa, maka…. . Apakah ini hanya aku? Dan disitulah, aku, mengembuni malam ini dengan tetes-tetes sayu.

Jumat, 21 Agustus 2009

INGINKU



Ingin kulari ke situ, biar tak usah susah payah kupilah-pilah suaramu di antara suara yang lain-lainnya.
Ingin kuberanjak dari dudukku, biar tak usah capai kutunggu munculnya.
Ingin kukatakan sesuatu, biar bibir ini tak menggigit dirinya sendiri.
Ingin kutersenyum dengan bebas, biar hati ini tak mencelos.
Ingin kuberlama-lama menghujamkan mata, biar hatiku tak berdemo menuntut kemerdekaan.
Ingin kulangkahkan kakiku, tapi kakiku tetap berayun-ayun di bawah bangku.

***

Seperti pencuri saja. Harus beginikah untuk bisa membaca kata-kata itu? Ingin juga kucuri tulisan-tulisan itu. Jika bincang tak bisa kumiliki, lalu dengan apa lagi aku bisa menghadirkanmu? Jika berjalan-jalan dengan mataku malah makin mengikis absurditasku, dengan absurditas itu sendiri. Ingin. Jika. Ingin. Jika. Jika saja bisa kuminta. Jika saja bisa kupunya. Jika tidak, mungkin kucuri. Apa? Apanya? Yang diminta. Yang dipunya. Yang dicuri. Apanya? Apa yang sedang kumiliki, kecuali yang mengikisku ini?

Inginku Mulai, Barangkali Seraya Mengakhiri



20 Agustus'09 - 20.49
Seorang sobat kerap berkata, “Selalu kuakhiri sebelum kumulai.” Karena kesenasiban barangkali kata-katanya itu menenangkan. Memberi ruang bagiku yang belum juga menyelesaikan mendengarkan lagu yang selama ini mampir ke telinga. Pernah barangkali lagu itu selesai, dengan coda yang senada dengan intro; dengan bantuan seseorang yang adalah lagu itu sendiri; intro yang tak kucipta, dengan coda yang kucipta; sama dan berbeda di saat yang sama; awal dan akhir yang adalah sama sekaligus berbeda; tapi tidak utuh sama sekali; tidak; sama sekali. Terimakasih untuknya, karenanya sempat kudengarkan sebuah lagu penuh, meski tidak utuh.

Hari ini kudengar laguku sendiri. Lagi-lagi. Intronya kucipta sendiri, tapi baitku tak juga mendendang. Lagi-lagi. Dimana lagu ini tak kan selesai? Betapa pesimisme itu mengakrabiku. Betapa aku lelah melarikan diri, mencari nada-nada lain yang tak juga habis kuselesaikan sampai coda. Kubiarkan berhenti; kadang di bait pertama, kadang di refrain kedua, kadang di melodi tengah. Kutinggalkan supaya bambu-bambu mencipta melodi sendiri menyelesaikan sisanya. Atau buai angin dalam gesek dedaunan. Atau gemericik air di antara batu-batuan. Kenapa harus, selalu? Kenapa kau lari anak ingusan? Lari, lalu menangis sendiri. Apa yang kau cari? Apa yang kau takuti? Apa yang kau rindukan? Sampai kapan? Sesuatu yang barangkali aku tahu jawabnya dimana. Tanya itu makin nekad menyusup petangku kali ini. Dan tulisanku berharap dapat mengusirnya jauh, supaya aku tidur nyenyak seperti biasa.

Setidaknya beberapa bait saja melagu, selanjutnya mungkin kuakhiri sendiri, sampai coda. Entah kapan, pada saat waktu tergesa-gesa memindahmu dari ruang ini, ingin kumulai, barangkali, seraya mengakhiri. Satu lagu untukmu dan aku mungkin bisa berlari, lagi. Sebut aku pengecut. Setidaknya ingin kuselesaikan laguku, hanya supaya kau tahu ia ada. Untuk tahu lagumu untuk siapa, laguku buatmu nantinya, aku tak harus tahu meski ingin. Apa ini yang kutakuti? Maka aku berlari? Apa yang kucari? Apa yang kurindukan?

Tak kan utuh, mungkin, tapi ada sebuah lagu, entah kapan. Aku sangat ingin sebuah lagu yang panjang, dengan nada dan bait yang tak harus kutulis sendirian, dan akhir yang tak harus kuakhiri sendirian, tapi itu tak mendesak. Hanya saja, lagu macam itu sering mengganggu malamku. Dan tulisan malam ini tak akan menyelesaikan lagu apa-apa, tapi membantuku terlelap.

Rabu, 12 Agustus 2009

Sajak Kebingungan yang Membingungkan

8.44 ; 13 Agustus ‘09




Kacau balau di bawah air tenang. Tidak tahu, tidak mau tahu, tidak peduli. Air tenang dalam dunia yang ramai. Kurenggut lamunan di pusaran udara sunyi. Kurenggut lamunan di putaran udara yang berisik. Kupandangi diri di bawah air tenang tanpa mencoba mengerti. Aku tidak tahu apa yang kuinginkan. Aku tidak lelah. Aku tidak ingin bercanda. Aku tidak menangis. Aku mau memandangi diri di bawah air tenang tanpa memarahinya.

Aku tidak ingin apa-apa, tapi kulakukan apa-apa. Hiruk pikuk ini merenggut pembicaraan. Aku mau bicara tapi tak juga ku bicara. Kemana semua orang? Semua orang timbul tenggelam dalam ketidaksadaran. Aku jadi tidak ingin apa-apa.

Aku mau berteriak, tapi aku tak berteriak. Billie Joe Armstrong mengisi kerongkonganku dan aku merasa berteriak. Aku ingin punya band punk, barangkali? Aku ingin menjadi seorang punk maka aku adalah seorang punk. Baik, aku sudah menjadi seorang punk, lalu?

Aku ingin memandangimu saja, barangkali? Aku tidak begitu ingin, aku mau memandangimu saja. Aku mau menjadi hantu, memandangi kehidupan tanpa kelihatan siapapun. Memandangi kehidupan di tengah alam yang ramah. Tapi tak ada alam yang cukup ramah untuk memandangi kehidupan akhir-akhir ini, dan akhirnya aku tidak jadi ingin menjadi hantu di tengah-tengah alam yang ramah.

Aku tak ingin mendengarkan keporak-porandaan, tapi aku mendengarnya. Aku mendengar keporak-porandaan di tengah orang-orang dan aku tidak suka. Aku mendengar keporak-porandaan sendirian, dan aku menyukainya.

Aku melakukan semuanya, tapi aku tak benar-benar ingin. Barangkali aku tak merasa lucu saat aku tertawa, aku tak begitu yakin. Aku tak sadar waktu tertawa, barangkali?

Aku mengantuk, tapi aku tak juga tidur. Aku memikirkan sesuatu, barangkali? Apa yang benar-benar kuinginkan? Nah, itu mungkin yang kupikirkan. Aku akhirnya menulis.

Malam yang kelap-kelip di sebuah bukit yang baik hati tidak juga menyalakan hasratku. Dalam dingin pekat yang menggigit ada yang padam satu per satu. Apakah semua cahaya sudah lenyap? Lalu apa yang membuatku tetap melangkah? Ini bukan aku. Aku tak memiliki milikku. Aku sedang kehilangan diriku. Lalu aku mulai menangis karena aku tidak tahu kenapa. Ini bukan milikku. Ini milik orang-orang itu yang membuatku melangkah. Aku tidak antusias mencari apa, kenapa, siapa, di mana. Tapi aku melakukan bagaimana. Entah sampai kapan. Apa ada cahaya yang tersisa? Mungkin aku tidak harus ingin, tidak harus mencari apa yang kuinginkan. Aku membutuhkan sedikit saja cahaya, aku tak peduli aku ingin apa. Buat apa cahaya, ya? Melanjutkan yang tersisa? Semoga tidak begitu juga.

Rabu, 05 Agustus 2009

Siapa Pencipta Kata Cukup?

Ini lebih dari cukup, tapi aku masih kekurangan. Tentu saja. Kata cukup itu sebenarnya tidak pernah ada di bumi fana. Bumi fana terus bergerak, bahkan saat aku atau kamu tidak bergerak. Siapa sih yang menciptakan kata cukup? Pasti naif sekali.

Sudah kuketahui sejak awal, bahwa kamu tidak akan pernah cukup buatku. Meski harus menunggu sampai aku atau kamu tidak bergerak. Jika bumi fana tidak bergerak, mungkinkah cukup sudah akan muncul? Terus kenapa ada kata cukup? Mungkin supaya ada yang tidak cukup. Supaya yang tidak cukup, punya alasan untuk menjadi tidak cukup.

Dan disinilah aku, merasa tidak cukup-cukup. Tapi ini tidak buruk. Sungguh tidak buruk. Ini membuatku sangat senang ke kampus. Menuntut ilmu dan menuntut yang lain-lain juga. Heran sekali. Aku tidak punya hasrat menuntutmu, meski kamu tidak mencukupi. Aku sudah tahu, kamu atau yang lainnya tidak akan cukup, maka aku tidak mau menjadi suka menuntut.

Namun, jika boleh merasa tidak cukup, aku sedang merasa tidak cukup. Aku ingin kamu lagi. Lagi. Lagi. Aku ingin ceritakan satu hal yang tidak ada hubungannya dengan kecukupan, tapi cukup lucu buatku.

Kenapa kamu selalu muncul di saat yang aneh? Seaneh kupu-kupu yang berdatangan ke putik-putik bunga saat penyihir berkomat-kamit memohon angin datang dengan mantra-mantranya. Hasil akhirnya sama, bunga-bunga berbuah, meski dengan cara yang tak disangka-sangka. Pertama, kau muncul saat mantra selamat pagi kudendangkan. Kukira kau akan muncul lebih siang lagi. Kedua, kau muncul saat aku menyebut namamu ratusan kali. Kukira kau akan datang waktu aku tak menyebut namamu. Ketiga, kau muncul saat aku menenggelamkan diri dalam rajutan kata-katamu. Kukira kau akan muncul saat aku sama sekali tak memikirkanmu, apalagi menelusuri rajutan kata-katamu. Jika ini tak cukup lucu, maka kau adalah korban dari ketidakcukupan bumi fana.

Kedatangan-kedatangan itu masih membuatku merasa tidak cukup. Entah juga, “masih”, atau “justru” membuatku merasa tidak cukup. Apakah obrolan adalah sesuatu yang mahal? Sekarang ini rasa-rasanya iya. Kedatangan tidak cukup, obrolan barangkali cukup. Aku tak peduli apa yang akan membuatku merasa tidak cukup nanti setelah obrolan. Aku tak mau mematok batas cukupku, karena itu sangat membebani. Mana aku tahu, dulu, bumi fana tidak pernah cukup. Siapa sih pencipta kata cukup? Pasti naif sekali. Dan aku, dulu, pasti aku naif sekali.

Jadi, berapa juta kata-kata lagi yang cukup untukmu? Berapa juta kata-kata akan cukup untuk mengisi ketidakcukupanku akan kamu? Memikirkan kapan dan berapa kata-kata mencukupi sangat membebani, dan lagi, kelihatannya sia-sia. Siapa sih pencipta kata cukup? Pasti ia suka berbohong.

Coba lihat. Berpasang-pasang orang selalu merasa tak cukup akan pasangannya. Ada yang mencari kecukupan di luar pasangannya, ada yang mati-matian percaya kecukupan ada pada pasangannya. Padahal, tidak akan cukup-cukup. Apalagi aku, akan kamu, yang tidak berpasangan. Sedang pasangan-pasangan yang sangat setia itu makin hari makin jadi serupa karena mereka bertransfer kecukupan. Jangan-jangan makin lama mereka malah akan bertukar tubuh karena mentransfer dirinya pada pasangannya. Tapi, itu tidak buruk. Sungguh-sungguh tidak buruk.

Lalu, apakah aku harus minta ijin untuk memikirkanmu? Atau cukupkah dengan tidak minta ijin? Aku harap kamu tak marah kupikirkan, karena inilah salah satu jalan melampaui ketidakcukupan, meski bukan berarti menjadi cukup. Jadi sebenarnya, ini bukan masalah cukup atau tidak cukup, tapi masalah sensasi menyenangkan yang kudapat saat memikirkanmu. Maaf, ya, kamu kupikirkan.

Tapi setelah tak memikirkanmu dan malah memikirkan kecukupan, kurasa, cukup adalah menerima ketidakcukupan. Omong-omong, siapa sih pencipta kata cukup?

Suaramu, Kamu yang Berwarna Kuning, dan Potret Berwarna Jingga

Sebelum waktunya aku sudah tahu seperti apa suaramu. Tapi pada waktunya pun, aku bisa dengar lagi, itu. Kamu sangat kuning pada waktu itu. Bukan suaramu yang berwarna kuning, tapi gelombang listrikmu. Suaramu masih sama, seperti kaleng-kaleng yang diseret dengan nilon. Lebih seksama, kaleng-kaleng yang diseret dengan nilon di ruangan penuh gabus. Empuk, dan aku mengantuk. Tapi gelombang listriknya bikin aku terjaga karena mengulum cengiranku. Tahu tidak? Atom-atom jantungku jungkir balik, menertawai lelucon yang dibawa oleh gelombang listrikmu, menertawai diriku yang tidak bisa tertawa karena lelucon gelombang listrikmu sungguh-sungguh lucu, dan aku masih tidak tertawa. Gelombang-gelombang itu melambai di tanganmu dan bersuara di sebuah kata sapa. Sial! Kamu menyetrumku lagi. Aku hanya bisa menuliskan gelombangku sekedarnya karena kehabisan tenaga akibat kena setrum. Tapi tak apa, hari ini aku bisa membawa pulang potret gelombangmu. Ia berwarna jingga. Warna kuningmu itu tercampur dengan gelombang merah meletup-letup punyaku. Potret ini sangat hangat oleh warna kuningmu dan membara dengan warna merahku. Maka ia berwana jingga. Heran, padahal itu belum senja. Dan kenapa kamu berwarna kuning? Heran, ketika itu pagi kan sudah pulang. Tak lama kemudian kamu yang pulang. Aku menyesal aku tak memberimu oleh-oleh senyum, padahal kamu sangat kuning saat itu. Sangat kuning sampai teman-temanmu dengan gelombang hitamnya tampak kontras dengan kekuninganmu. Iya, teman-temanmu sangat mengagetkan. Tampaknya heran karena kamu berwarna kuning dan aku berwarna merah. Dan bagaimana tiba-tiba kuning dan merah itu menjadi jingga karena gelombang-gelombang lucu berbincang-bincang dan meleburkan diri mereka. Sorot mata mereka sungguh-sungguh mengerikan. Seperti ingin menerkamku dengan kecurigaan mereka. Aduh, aku lupa seperti apa suaramu. Kata-kata tidak cukup peka untuk menyuarakannya.