Rabu, 12 Agustus 2009

Sajak Kebingungan yang Membingungkan

8.44 ; 13 Agustus ‘09




Kacau balau di bawah air tenang. Tidak tahu, tidak mau tahu, tidak peduli. Air tenang dalam dunia yang ramai. Kurenggut lamunan di pusaran udara sunyi. Kurenggut lamunan di putaran udara yang berisik. Kupandangi diri di bawah air tenang tanpa mencoba mengerti. Aku tidak tahu apa yang kuinginkan. Aku tidak lelah. Aku tidak ingin bercanda. Aku tidak menangis. Aku mau memandangi diri di bawah air tenang tanpa memarahinya.

Aku tidak ingin apa-apa, tapi kulakukan apa-apa. Hiruk pikuk ini merenggut pembicaraan. Aku mau bicara tapi tak juga ku bicara. Kemana semua orang? Semua orang timbul tenggelam dalam ketidaksadaran. Aku jadi tidak ingin apa-apa.

Aku mau berteriak, tapi aku tak berteriak. Billie Joe Armstrong mengisi kerongkonganku dan aku merasa berteriak. Aku ingin punya band punk, barangkali? Aku ingin menjadi seorang punk maka aku adalah seorang punk. Baik, aku sudah menjadi seorang punk, lalu?

Aku ingin memandangimu saja, barangkali? Aku tidak begitu ingin, aku mau memandangimu saja. Aku mau menjadi hantu, memandangi kehidupan tanpa kelihatan siapapun. Memandangi kehidupan di tengah alam yang ramah. Tapi tak ada alam yang cukup ramah untuk memandangi kehidupan akhir-akhir ini, dan akhirnya aku tidak jadi ingin menjadi hantu di tengah-tengah alam yang ramah.

Aku tak ingin mendengarkan keporak-porandaan, tapi aku mendengarnya. Aku mendengar keporak-porandaan di tengah orang-orang dan aku tidak suka. Aku mendengar keporak-porandaan sendirian, dan aku menyukainya.

Aku melakukan semuanya, tapi aku tak benar-benar ingin. Barangkali aku tak merasa lucu saat aku tertawa, aku tak begitu yakin. Aku tak sadar waktu tertawa, barangkali?

Aku mengantuk, tapi aku tak juga tidur. Aku memikirkan sesuatu, barangkali? Apa yang benar-benar kuinginkan? Nah, itu mungkin yang kupikirkan. Aku akhirnya menulis.

Malam yang kelap-kelip di sebuah bukit yang baik hati tidak juga menyalakan hasratku. Dalam dingin pekat yang menggigit ada yang padam satu per satu. Apakah semua cahaya sudah lenyap? Lalu apa yang membuatku tetap melangkah? Ini bukan aku. Aku tak memiliki milikku. Aku sedang kehilangan diriku. Lalu aku mulai menangis karena aku tidak tahu kenapa. Ini bukan milikku. Ini milik orang-orang itu yang membuatku melangkah. Aku tidak antusias mencari apa, kenapa, siapa, di mana. Tapi aku melakukan bagaimana. Entah sampai kapan. Apa ada cahaya yang tersisa? Mungkin aku tidak harus ingin, tidak harus mencari apa yang kuinginkan. Aku membutuhkan sedikit saja cahaya, aku tak peduli aku ingin apa. Buat apa cahaya, ya? Melanjutkan yang tersisa? Semoga tidak begitu juga.

Tidak ada komentar: