Ini lebih dari cukup, tapi aku masih kekurangan. Tentu saja. Kata cukup itu sebenarnya tidak pernah ada di bumi fana. Bumi fana terus bergerak, bahkan saat aku atau kamu tidak bergerak. Siapa sih yang menciptakan kata cukup? Pasti naif sekali.
Sudah kuketahui sejak awal, bahwa kamu tidak akan pernah cukup buatku. Meski harus menunggu sampai aku atau kamu tidak bergerak. Jika bumi fana tidak bergerak, mungkinkah cukup sudah akan muncul? Terus kenapa ada kata cukup? Mungkin supaya ada yang tidak cukup. Supaya yang tidak cukup, punya alasan untuk menjadi tidak cukup.
Dan disinilah aku, merasa tidak cukup-cukup. Tapi ini tidak buruk. Sungguh tidak buruk. Ini membuatku sangat senang ke kampus. Menuntut ilmu dan menuntut yang lain-lain juga. Heran sekali. Aku tidak punya hasrat menuntutmu, meski kamu tidak mencukupi. Aku sudah tahu, kamu atau yang lainnya tidak akan cukup, maka aku tidak mau menjadi suka menuntut.
Namun, jika boleh merasa tidak cukup, aku sedang merasa tidak cukup. Aku ingin kamu lagi. Lagi. Lagi. Aku ingin ceritakan satu hal yang tidak ada hubungannya dengan kecukupan, tapi cukup lucu buatku.
Kenapa kamu selalu muncul di saat yang aneh? Seaneh kupu-kupu yang berdatangan ke putik-putik bunga saat penyihir berkomat-kamit memohon angin datang dengan mantra-mantranya. Hasil akhirnya sama, bunga-bunga berbuah, meski dengan cara yang tak disangka-sangka. Pertama, kau muncul saat mantra selamat pagi kudendangkan. Kukira kau akan muncul lebih siang lagi. Kedua, kau muncul saat aku menyebut namamu ratusan kali. Kukira kau akan datang waktu aku tak menyebut namamu. Ketiga, kau muncul saat aku menenggelamkan diri dalam rajutan kata-katamu. Kukira kau akan muncul saat aku sama sekali tak memikirkanmu, apalagi menelusuri rajutan kata-katamu. Jika ini tak cukup lucu, maka kau adalah korban dari ketidakcukupan bumi fana.
Kedatangan-kedatangan itu masih membuatku merasa tidak cukup. Entah juga, “masih”, atau “justru” membuatku merasa tidak cukup. Apakah obrolan adalah sesuatu yang mahal? Sekarang ini rasa-rasanya iya. Kedatangan tidak cukup, obrolan barangkali cukup. Aku tak peduli apa yang akan membuatku merasa tidak cukup nanti setelah obrolan. Aku tak mau mematok batas cukupku, karena itu sangat membebani. Mana aku tahu, dulu, bumi fana tidak pernah cukup. Siapa sih pencipta kata cukup? Pasti naif sekali. Dan aku, dulu, pasti aku naif sekali.
Jadi, berapa juta kata-kata lagi yang cukup untukmu? Berapa juta kata-kata akan cukup untuk mengisi ketidakcukupanku akan kamu? Memikirkan kapan dan berapa kata-kata mencukupi sangat membebani, dan lagi, kelihatannya sia-sia. Siapa sih pencipta kata cukup? Pasti ia suka berbohong.
Coba lihat. Berpasang-pasang orang selalu merasa tak cukup akan pasangannya. Ada yang mencari kecukupan di luar pasangannya, ada yang mati-matian percaya kecukupan ada pada pasangannya. Padahal, tidak akan cukup-cukup. Apalagi aku, akan kamu, yang tidak berpasangan. Sedang pasangan-pasangan yang sangat setia itu makin hari makin jadi serupa karena mereka bertransfer kecukupan. Jangan-jangan makin lama mereka malah akan bertukar tubuh karena mentransfer dirinya pada pasangannya. Tapi, itu tidak buruk. Sungguh-sungguh tidak buruk.
Lalu, apakah aku harus minta ijin untuk memikirkanmu? Atau cukupkah dengan tidak minta ijin? Aku harap kamu tak marah kupikirkan, karena inilah salah satu jalan melampaui ketidakcukupan, meski bukan berarti menjadi cukup. Jadi sebenarnya, ini bukan masalah cukup atau tidak cukup, tapi masalah sensasi menyenangkan yang kudapat saat memikirkanmu. Maaf, ya, kamu kupikirkan.
Tapi setelah tak memikirkanmu dan malah memikirkan kecukupan, kurasa, cukup adalah menerima ketidakcukupan. Omong-omong, siapa sih pencipta kata cukup?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar