Jumat, 04 Juni 2010

Seorang Pemulung di Suatu Petang

Selepas maghrib kompleks perumahan ini senyap. Udara kala itu membuat saya ingin segera pulang ke kos. Beristirahat, setelah seharian beraktivitas di kampus. Sepeda ontel saya yang berkarat mengeluarkan suara lebih berisik ketika saya kayuh lebih kencang. Bannya berdecit begitu sepeda itu saya rem beberapa meter di depan pagar kos.

Turun dari sepeda, saya mendengar suatu suara yang sudah familiar di telinga saya. Keheningan kompleks perumahan membuat suara kaki yang diseret itu terdengar jelas. Dari keremangan pekarangan rumah induk semang, muncul seorang bapak tua dengan karung berwarna putih di punggungnya. Ia melangkah menjauhi sebuah bak sampah kecil yang terletak di sudut pekarangan, baru saja memulung.

Tersiram sinar bohlam jingga yang teduh, sosoknya semakin jelas. Topi di kepalanya menceng. Sebagian rambutnya beruban. Pakaian lusuh yang dikenakannya terlalu besar untuk badannya yang pendek dan kurus. Kulit legamnya jadi indikasi bahwa ia sering berhadapan dengan panas matahari siang. Ia bongkok. Sebuah kakinya diseret karena pincang. Salah satu kakinya itu tidak dapat menapak lurus ke depan karena bengkok ke samping.

Ia melangkah makin dekat dengan tempat di mana saya berdiri. Kini wajahnya tampak lebih jelas. Kumis dan jenggot yang senada warna rambutnya, tidak lebat. Matanya sayu. Kelopaknya sering berkedip. Giginya tidak rapi pun tak bersih. Bibirnya tidak mengatup karenanya. Kurang dari semenit saya perhatikan dia, tapi dia tidak menyadari itu sampai akhirnya kami bertatapan dan saling senyum.

“Pak,” saya menyapanya kemudian. Ia membalas sapa. Sorot polos dan tulus tersirat di mata lelahnya. Saya masih terpaku di tempat saya berdiri, menatapnya menjauh.

Bukan pertama kali itu saya berpapasan dengannya, pun bukan terakhir kali. Beberapa hari kemudian saya masih kerap berpapasan dengannya saat ia kerja. Tak hanya pada saat malam ia memungut, tapi juga pada pagi, siang, dan sore. Hal ini sempat membuat saya berkesimpulan ia tak pernah rehat barang sebentar dari memulung. Tapi kesimpulan saya terpatahkan saat melihatnya duduk merokok di sebuah simpang jalan: berjualan rambutan bersama istri. Ya, di musim rambutan ia tidak terlihat memulung.

“Dua ribu, mbak,” jawabnya dengan sorot mata yang saya kenal ketika saya tanya berapa harga seikat rambutannya.