Rabu, 21 Oktober 2009

ANTAR AKU PULANG




22 Oktober 2009 (6:09)


Aku tak percaya aku bernama “Sabina” pada akhirnya. Padahal aku mencinta dan berpikir seperti Theresa. Memandang hidup dan dunia dengan cara gelap sepertinya. Katakanlah, aku keduanya. Aku adalah Theresa yang sedang pulang ke Prague, kota gelap itu. Aku menuju Theresaku dengan cara Sabina memiliki Thomas. Kau tahu, rasanya paradoks sekali. Memiliki Thomasmu dengan cara Theresa dan Sabina sekaligus. Ia Thomas karena ia mencintai terang, barangkali. Meski aku selalu bisa melihat sekaligus mengkhawatirkan sisi gelapnya. Karena tak mungkin ia bisa memilikiku tanpa memiliki sisi gelap sama sekali. Meski aku memilikinya tanpa harus bermain mandi cahaya. Sejauh gelap hanya kekurangan terang, aku hanya mengkompromikan kadar terangku untuk memilikinya. Ia masih milikku! Seperti Thomas yang hanya dimiliki Sabina dan Theresa di sepanjang film meski ada wanita lainnya. Aku Sabina dan Theresa sekarang. Lalu aku menyetujui Iwan Fals dengan kata “entah esok hari atau lusa nanti” nya. Ya, aku sedang pulang ke Prague, aku tak mungkin berada di kereta selamanya. Prague-ku tanpa Thomas, tak berarti kekasih lainnya. Seperti Thomas dimanapun dan wanita-wanitanya. Prague-ku bisa jadi gelap dan kesendirianku; kestabilan aneh yang tak cukup lama kutinggalkan.

Kembalikan aku ke pinggir sungai dengan hati-hati. Jika kau pernah mengambil sebuah batu dari sana, kau harus menggenggamnya di tanganmu. Sekarang kembalikan batu yang serapuh bola kaca itu ke sana perlahan, dengan genggam tanganmu, atau ia akan hancur berkeping-keping. Kembalikan ia dengan genggam aliran sungaimu perlahan, agar ia bisa mencari aliran lain dengan keutuhan. Aliran lain, ya, aliran lain. Meski ia sangat benci bahwa manusia-manusia merenggutnya dari aliranmu dengan alasan yang tak adil. Manusia yang penuh dengan label-label. Label bola kacaku dan aliranmu tak bisa diterima, maka aku harus pergi dari aliranmu. Aku benci label-label, jadi berhentilah melabeli aku dan kau. Label-label itu melelahkan. Berhentilah melabeli, karena dengan label-label kenormalan itu, aku hanya mendapat tempat di pinggir. Selain, kita, aku, atau kau terlalu aneh untuk mendapat label dari dunia normal. Seperti katamu, akan menyakitkan jika orang yang berkepribadian aneh mencoba pola pikir pada umumnya. Jadi berhentilah melabeli! Aku tak tahu apa kesialanku ini ada hubungannya dengan kegandrunganku pada lagu Alter Bridge yang berlirik “Will they open their eyes and realize we’re one?” itu. Mungkin tidak, hanya kebetulan yang aneh saja.

Kita sama-sama egois, maka aku harus diantar pulang, demi egoku. Lalu kau harus mengantarku pulang, demi egomu. Kita seperti anak kecil yang bertukar permen. Aku menyukai permenmu seperti kau menyukai permenku. Tapi aku tak mau memberi semua permenku padamu seperti kau tak mau memberiku semua permenmu. Seperti permen baru yang kau dapat dari seorang gadis. Kau tak menyukai permen itu tapi kau tak ingin membuangnya, pun memberikannya padaku. Aku tak peduli akan kau apakan permen itu. Walau gara-gara permen itu aku jadi merasakan keanehan pada rasa permen-permen darimu. Rasanya tak karuan, tapi aku ingin terus mencecapnya. Aku hanya perlu tahu kau dan permen-permenmu masih milikku! Aku hanya bisa jadi sangat egois dalam hal permen. Karena selain permen, aku cukup altruistik. Kapan aku bisa memiliki diriku kalau aku terus-terusan begitu? Sekali ini aku egois. Kau milikku! Aku toh hampir sampai Prague, aku hanya ingin pulang ke sana. Mencari permen lain barangkali, karena seturunku dari kereta aku tak bisa lagi bertukar permen denganmu dengan cara ini. Lalu entah kau masih milikku atau tidak.

Aku adalah Sabina dan Theresa yang sedang duduk di kereta. Dan namaku bukan Theresa. Aku tak pulang sendirian, dan yang duduk di sampingku adalah Thomas, namun ia tak bernama Thomas.