Rabu, 05 Agustus 2009

Suaramu, Kamu yang Berwarna Kuning, dan Potret Berwarna Jingga

Sebelum waktunya aku sudah tahu seperti apa suaramu. Tapi pada waktunya pun, aku bisa dengar lagi, itu. Kamu sangat kuning pada waktu itu. Bukan suaramu yang berwarna kuning, tapi gelombang listrikmu. Suaramu masih sama, seperti kaleng-kaleng yang diseret dengan nilon. Lebih seksama, kaleng-kaleng yang diseret dengan nilon di ruangan penuh gabus. Empuk, dan aku mengantuk. Tapi gelombang listriknya bikin aku terjaga karena mengulum cengiranku. Tahu tidak? Atom-atom jantungku jungkir balik, menertawai lelucon yang dibawa oleh gelombang listrikmu, menertawai diriku yang tidak bisa tertawa karena lelucon gelombang listrikmu sungguh-sungguh lucu, dan aku masih tidak tertawa. Gelombang-gelombang itu melambai di tanganmu dan bersuara di sebuah kata sapa. Sial! Kamu menyetrumku lagi. Aku hanya bisa menuliskan gelombangku sekedarnya karena kehabisan tenaga akibat kena setrum. Tapi tak apa, hari ini aku bisa membawa pulang potret gelombangmu. Ia berwarna jingga. Warna kuningmu itu tercampur dengan gelombang merah meletup-letup punyaku. Potret ini sangat hangat oleh warna kuningmu dan membara dengan warna merahku. Maka ia berwana jingga. Heran, padahal itu belum senja. Dan kenapa kamu berwarna kuning? Heran, ketika itu pagi kan sudah pulang. Tak lama kemudian kamu yang pulang. Aku menyesal aku tak memberimu oleh-oleh senyum, padahal kamu sangat kuning saat itu. Sangat kuning sampai teman-temanmu dengan gelombang hitamnya tampak kontras dengan kekuninganmu. Iya, teman-temanmu sangat mengagetkan. Tampaknya heran karena kamu berwarna kuning dan aku berwarna merah. Dan bagaimana tiba-tiba kuning dan merah itu menjadi jingga karena gelombang-gelombang lucu berbincang-bincang dan meleburkan diri mereka. Sorot mata mereka sungguh-sungguh mengerikan. Seperti ingin menerkamku dengan kecurigaan mereka. Aduh, aku lupa seperti apa suaramu. Kata-kata tidak cukup peka untuk menyuarakannya.

Tidak ada komentar: