Jumat, 31 Juli 2009

Setrum

Aku belum sarapan, tapi aku tak lapar, tidak biasa. Kenyang oleh ucapan selamat pagi. Dunia tiba-tiba jadi cerah dan bersahabat, hanya gara-gara selamat pagi. Kadang begitu mudah membuat bumi jadi berkilauan. Selamat pagi dan sepotong kabar tak penting darimu. Kabar tak penting yang tetap tak penting setelah kubaca berulang kali, tapi terasa sangat menyenangkan. Seperti buah-buahan warna-warni yang berenang-renang di sirup strawberi yang main mata dengan lidahku. Kenapa aku jadi begini absurd, adalah karena kau mengijinkan dunia menjadi absurd. Maka menjadi bukan kesalahan memikirkanmu dengan cara ini.

***

Awal dari pertemuannya, sangat lucu buat teman-temanku. Akhirnya aku tak perlu bersusah payah mencari suaramu di tengah kebisingan macam kemarin. Hum, seperti kaleng-kaleng kosong yang diseret dengan nilon, suaramu. Kamu tampak sangat manusiawi hari ini. Antusiasme itu tak perlu susah-susah kuraba dengan jarak sesempit ini. Meski, secara maya, jarak ini masih terbentang panjang. Energimu nyata-nyata ada di hadapanku. Dan saraf-sarafku keranjingan. Mereka pasti sedang menari dengan heboh menanggapi keaslianmu yang palsu itu.

Sial, saraf-saraf ini menarikku pergi dari ruang ini. Tidak, aku tak ingin menari bersama kalian. Aku ingin hadir di momen ini, di ruang dan waktu ini. Sial! Kalian menarikku jauh dari momen ini. Ke ruang yang tak bersisi, ke waktu yang tak berbatas. Ah, dimana dan kapan ini? Aku lupa semuanya. Lupa. Dan saat itulah keporak-porandaan itu dimulai. Aku terpejam dalam tatapku. Aku bisu dalam ucapku. Aku tak bernafas dalam desahku. Aku kaku dalam gerikku. Tak ada waktu membenahi keporak-porandaan ini. Kau terus menghanyutkanku dalam kekacauan yang kosong. Sosokmu makin samar, suaramu makin pudar, tenagamu makin temaram. Aku setengah tidur, keterjagaanku diisi oleh kegugupan yang tidak perlu. Sungguh tidak perlu. Gelap. Otakku, apa masih di sana?

***

Aku terjaga dan mencoba mengingat semuanya. Ternyata jarak yang dipersempit malah membuatku kesetrum dan pingsan. Seperti apa wujudku saat pingsan tadi, ya? Seperti apa reaksimu? Dengan ingatan samar-samar kugali momen yang tak sempat kumiliki tadi. Momen yang kuidam-idamkan sejak beberapa hari lalu, hilang sudah kena setrum.

Sebenarnya awalnya baik-baik saja. Aku dapat bonus narasi darimu. Tentu saja aku nyengir diam-diam. Takut kau curiga. Kau tahu tidak, inferioritasmu itu menggairahkan sekali. Terus apa yang kau harapkan dariku dengan bersikap begitu? Karena pingsan, maka aku berlagak mempunyai superioritas. Padahal, aku harus kerja keras mencari-carinya di dalam kotak mentalku. Maksudnya, supaya ruangan ini tidak terlalu sempit untuk kita. Terlalu sempit oleh inferioritas. Kau kan tak mau mati dan sesak nafas gara-gara ruangannya dijejali inferioritas? Tapi, setelah ku terjaga, baru kusesali superioritasku. Sungguh tidak perlu mengeluarkannya. Tapi bukan salahku. Kau terus menerus mengisi ruangan ini dengan inferioritas. Apa yang kau harapkan? Karena cemas, maka aku mengajak superioritas untuk membunuhnya.
Hum, walau telah sadar, aku tetap menyukai inferioritasmu. Kamu sungguh-sungguh lucu. Masa kamu tidak tahu kamu punya sayap bagus? Kamu punya sayap bagus, tapi kamu tidak tahu. Kamu sungguh-sungguh lucu.

Terus, obrolan macam apa itu yang kita obrolkan? Kukira kita bakal menyelam dan bermain dengan ikan-ikan, tapi kita cuma bermain ciprat-cipratan air di tepi sungai. Main-main di permukaan air. Tentu saja aku basah kuyup. Aku kan tidak bisa jalan di atas air. Kelihatannya kamu juga basah kuyup waktu kamu tertawa terlalu keras dan aku sama sekali tak melihat sisi lucunya.
Kamu sempat kutinggalkan. Betapa aku menyia-nyiakan momen. Aku sedang pingsan dan butuh oksigen. Mencari oksigen sampai momen berakhir. Dan disanalah kamu, melambaikan tanganmu. Sampai ketemu lagi, entah kapan.

***

Sore kuhadiahi lelah badanku. Dan aku puas memandangimu. Menebak apa dibalik senyum itu, tidak kulakukan. Pokoknya, aku pulang mengantongi senyummu. Peduli apa dibaliknya.

***

Aku luntur ke tepian melihat caramu memandang anak kecil itu. Apa yang kamu pikirkan sebenarnya? Kapan aku bisa tahu apa yang kau pikirkan? Atau apa yang kau pikir kau pikirkan? Apa yang kau rasakan, sebenarnya? Apa aku sudah tahu apa yang kau rasakan hanya dengan mengumpulkan rajutan kata-kata yang kau letakkan sembarangan itu? Kau melihat dari sudut mana? Apa kau kira aku sudah tahu dari sudut mana kau melihat bola yang sangat besar ini? Bola di mana aku dan kau tiba-tiba ada? Aku rasa jaraknya perlu diperpendek, tapi jangan buat aku kesetrum lagi. Aku rasa ruangnya perlu dipersempit, agar aku terbiasa dengan aliran listrikmu. Tidak, aku tidak mau membawa beban harapan untuk hanyut. Aku mau jaraknya dinegasikan. Tetapi, bagaimana?

31 Juli ’09—Mrican—Kamar Kos, setelah puas memandang karena memakai kacamata.

Tidak ada komentar: