Minggu, 19 Juli 2009

Kotaku dari Mataku - Lima : Lagi, di Lampu Merah




Di suatu pagi merambah siang. Di sebuah angkutan umum. Setelah melahap burjo di burjo sambil menggali pengalaman bersama Sita. Setelah malam penuh bahak di sebuah tempat makan. Sesaat ingat helm yang kutinggalkan di kontrakkannya. Angkot melaju. Sebentar kemudian menaruh curiga, dengan alasan kuat, pada seorang bapak yang pada akhirnya tak patut dicurigai. Karena kesederhanaannya, barangkali, kupungut lagi curigaku. Manusia….. musuh manusia lainnya. Kebersahajaan yang belakangan hanya bisa ditatap di film-film dan mulai langka ditemui di hidup fana jaman ini. Betapa gampang menarik simpatiku. Mulai, mual dan mengantuk. Penyakit kambuhan saat di angkutan. Memperhatikan beberapa nenek dan kakek di sekitarku. Di hadapanku, beberapa keranjang, barangkali dagangan.

Dan, lampu merah. Anak kecil berbaju merah. Tujuh? Tidak, sepuluh tahun? Kelihatan menyindir kehidupan, buatku. Barangkali karena asap rokok yang mengepul dari mulutnya. Barangkali karena keakrabannya dengan jalanan; dengan kulit terbakar mataharinya; dengan kejumawaannya, duduk di pinggir jalan sana. Seolah tak peduli aku mengkhawatirkan keterlantarannya. Dia tak akan tahu. Aku tak takjub pada ketidakpeduliannya. Cuma merasa diingatkan, banyak hal mesti dibenahi. Tidakkah nikotin terlalu cepat untuk paru-paru mudanya? Tidak? Kurang dari lima menit dan kendaraan ini melaju lagi. Jadi, apa kau tahu anak kecil? Setelah kita bertatapan?

Kesadaranku kembali ke kendaraan sempit ini. Seorang bapak yang sama, yang duduk di belakangku, yang kucurigai, tapi tak jadi. Menjelaskan tempat ini dan itu pada dua orang anak gadisnya yang takjub pada kota. Ingatan tentang ayah tiba-tiba merasuk. Rindu ayah dan masa kecilku, saat aku mendogmakan segala ucapnya, saat aku menjadi begitu banyak tanya di kendaraan umum, saat aku percaya sebentar lagi kita sampai kala pusing kepala merajuk, sebelum aku bisa membentengi diri dengan skeptisku, macam kini. Dan kepercayaan pada cintanya, yang kusyukuri, masih bertahan hingga kini. Bapak dan dua anak kecil, turun. Wajah-wajah antusias dan penuh semangat, entah karena apa. Mereka turun, entah mau kemana lagi. Masih tersisa gurat bersahaja di wajah sang bapak, saat kendaraan ini menyeret batas pandangku darinya.

Kaos biru: kaosku, kaos supir angkot. Angkutan warna biru. Turun di Gejayan, aku, dan kaos biruku, tentu. Kantukku diinjak-injak inspirasi yang berlari penuh semangat. Yang pada detik ini menari-nari bersama jari-jariku di papan kunci (di-Inggriskan sendiri). Membuncah ke langkah kakiku. Ingin cepat pulang ke kos. Menikmati kesendirian yang rupawan. Berniat melukiskan suasana tadi, dengan kata-kata berbunga. Jadi, sore nanti ke gereja tidak, Fafa?

Tidak ada komentar: