Minggu, 19 Juli 2009

Kotaku dari Mataku- Tiga: Penyelamat Perut di Malam Hari yang Menyelamatkanku Demi Menyelamatkan Perutnya dan Perut Keluarganya




Perut merongrong minta diisi. Kau kutunggu. Bukan karena aku pemakan manusia macam Sumanto. Kau jualan mie tek-tek. Jam tujuh, atau delapan, atau sembilan, atau di antaranya. Di Pringgodani, dengan gerobak. Dan lampu, dan kuali, dan kompor, dan pisau. Dan telur, dan bawang putih, dan cabe, dan daun bawang, dan kecap, dan air, dan garam, dan dicampur, berurutan. Selalu, bihun goreng. Kalau ada modal, pasti Bapak Mie Tek-Tek sukses. Apa karena lidahku jodoh sama masakannya, entah juga.

Selalu ramah. Perawakan kurus, kulit putih, berpakaian rapi dan bersih, tinggi sedang. Suka senyum, suka bertanya, suka menjawab, suka tertawa. Tidak pakai kerupuk, Pak. Sedang.

Pilpres pilih nomor tiga. Mbak? Saya tidak pilih, Pak. Ya, sebenarnya pilih siapapun juga sama saja ujungnya, Mbak. Nomor tiga ternyata, ya….begitu juga.Begitu bagaimana, Pak? Begitulah, Mbak. Anak-istri pilih nomor dua.

Anak saya? Tidak kuliah, mahal. Ditawari kuliah di tempat yang terjangkau, tidak ingin. Sekarang kerja. Pergi pagi-pulang malam, penghasilan tetap kecil. Jam kerja ditambah, gaji tetap. Kadang saya kasihan, anak saya terlalu capai. Untung dia tinggal sama saya, dekat tempat kerja, kalau tidak, gaji pasti nombok untuk ongkos dan makan. Sekarang saja makan bawa dari rumah. Ditawari kerja di Jakarta, gaji lebih besar, tapi pasti sama saja. Biaya hidup di Jakarta lebih mahal. Bayar tempat tinggal dan makan sendiri. Dulu negeri murah, sekarang tidak ada yang murah.

Kerja, banyak saingan. Dulu di sini hanya saya yang jualan. Sekarang, di mana-mana warung makan. Apa-apa mahal.

Masakan bapak itu enak, Pak. Wajah Bapak Mie Tek-Tek sumringah, tertawa malu-malu. Empat ribu lima ratus ya, Pak? Terimakasih. Perut saya selamat. Mudah-mudahan perut bapak dan perut keluarga bapak juga. Omong-omong sampai kini aku lupa namamu, Pak.

Tidak ada komentar: