Selasa, 07 Juli 2009
Karena Aku adalah Pulau
Memungut makna,
yang kutunggu gugurnya dari dahan waktu.
Satu per satu.
Karena petang itu,
kata-kata tak lagi sanggup melarikan aku.
Begitu ingin kuterenggut dari duduk ku.
Tapi tak ada yang bergerak, kecuali udara.
Dan aku. Dan desahan nafasku. Dan sesungguk ku.
Lalu aku hanyut.
Memeluk diriku lekat-lekat bersamaku.
Kubiarkan derai mengalirkan ketakberdayaanku.
Jika sendiri adalah pasti, maka bukan ia yang melukaiku.
Adakah ia mercusuar keangkuhanku?
Hanya karena belum pernah kumenangkan terang,
maka patut aku berdarah?
Barangkali kekagumanku,
pada manusia-manusia yang berusaha menjelajahi daratan kesendirian manusia lain.
Meski di ujung jalan,
kata “amin” juga yang terucap.
Hanya aku, barangkali?
Aku dan kebiruanku yang mudah koyak.
Hanya lelahkah aku membenahi robekan-robekan ini?
Atau sungguhkah ini kau dan keapaanmu?
Daratan yang tak bisa disinggahi pun penjelajah yang terus berlayar?
Hingga kuucapkan selamat datang pada gelap sinisme.
Hingga kubiarkan diriku membeku di kutub ini.
Tak ada.
Sayangnya tak ada yang sepenuhnya patut dibenamkan.
Tak perlu.
Terus,
terus kularikan diri.
Kubiarkan berdarah.
Kubiarkan hampa membanjir-banjir.
Kupecundangi kebiruan.
Karena hidup bukanlah pembenaran kelemahan.
Terus,
Terus ku bermain air di lautnya.
Hanya titip rindu.
Barangkali bisa ditiupkan di kapal itu.
Lewat angin laut kujejalkan.
Karena rinduku terlalu sulit tersampaikan.
Kecuali kapal berlabuh membawanya turun.
Aku adalah pulau.
Manusia adalah pulau.
Cukup untuk membuatku mengerti,
berusaha menjadi kepulauan adalah kesia-siaan.
Dan langit petang ini, cukup hitam untuk kusebut hitam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar