18.49 Kamis, 30 Juli ‘09
Lelah. Apa barangkali karena suplemen penambah darahku belum kutenggak? Pil merah itu hilang entah kemana. Padahal ia tidak berharga murah.
Lelah. Terlalu lama aku menunggumu, karena tak puas memandangi punggungmu pagi ini. Setelah sebelumnya aku berjalan dengan iseng ke kampus, bersama hatiku yang nyengir memikirkan kau. Beruntung kau nampak juga sore ini. Tapi aku sudah sangat letih. Ingin pulang ke kamarku dan memikirkanmu dengan nyaman. Tidakkah ini bodoh? Sempitnya jarak cukup menyita energi, ternyata. Kau memaksaku memakai kacamata akhir-akhir ini. Saat duduk di batas pandang kau nampak juga. Dibalik kaca, aku harap aku tak menakutimu karena terus-terusan memandang.
***
Kau masih di sana, berbicara dengan antusias. Sesuatu yang tak kutemui di dunia maya pun dunia nyata selama ini. Dan aku tak bersama kaca mataku. Mencoba menangkapmu dengan mata tanpa lensa, seperti mencari sebuah kancing berwarna krem di dalam sekarung kacang kedelai. Seharusnya, kau dan senja, dan pepohonan rindang, dan lapangan rumput yang luas, dan kesunyian, dan angin, dan debar jantungku, menjadi perpaduan yang romantis. Tapi semuanya samar. Temaram malah membuatmu tampak seperti lukisan surealis dari sini. Menangkap suaramu pun sia-sia. Orang-orang yang sedikit di sekitar kita ini sangat berisik. Aku tak bisa mencapai suaramu. Seperti apa suaramu, lelaki pembawa diam yang tak lagi membawa diam? Apakah berat seperti dentam buku tebal yang dijatuhkan ke lantai marmer? Atau nyaring seperti kaleng-kaleng kosong yang diseret dengan nilon? Apakah terdengar seperti terompet tanpa nada? Atau lembut seperti selimut tidurku? Hum, selimut tidurku…. . Aku ngantuk. Mungkin Sabtu nanti aku bakal mendengar suaramu. Hari ini sangat berisik, aku mau sembunyi minggu ini. Sssst…. Hanya kau yang kuberi tahu, meski kau mungkin tidak bakal tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar