Reportase Pertama: Dilarang Masuk!
Panas. Pusing. Lapar. Kota Gede, tunjukkanlah pada kami lokasinya: Rumah Pengetahuan Amartya. Sudah kami itari kau, masih tega juga telantarkan kami begini? Kurang apa? Tanya polisi setempat, sudah. Tanya tukang rujak, sudah. Tanya tukang cendol, sudah. Tanya ibu-ibu, sudah. Tanya bapak-bapak, sudah. Sama jawabnya: SD Amartya? Wah, tidak tahu. Griya Mutiara? Ke utara, terus ada kecamatan, terus ke Timur, setelah itu ke Selatan. Dong ding! Pak, bukankah arah yang Anda berikan hanya akan membuat kami kembali ke tempat di mana Anda berdiri kini? Masalahnya, petunjuk Anda kami ikuti juga.
Sampailah di sebuah perumahan. Kalau tidak salah, Mutiara Indah. Ah, ada mutiara2nya. Aku terperanjat.
“Dilarang masuk???!” kata Richie dengan emosional.
“Ah,masa?” jawabku tak kalah emosional. Cuaca Jogja sedang tak karuan panasnya. Ya, ampun. Sudah separah inikah alienasi-nya? PIkir saya. Lantas bagaimana pemilik rumah dan tamu-tamunya menikmati akomodasi perumahan bagus ini?
“Oh… pemulung….,” klarifikasi Richie kemudian. Kami berdua tak melihat ada tulisan: PEMULUNG/PENGAMEN di bawah kata “DILARANG MASUK”. Karena merasa diri bukan pemulung pun pengamen, maka kami beranikan diri masuk. Namun naas, bukan ini perumahan yang kami cari. Pak Satpam yang setia berjaga menjelaskan ada perumahan lain yang benar-benar bernama “Griya Mutiara”, tidak pakai “Indah-indahan”.
Maka dengan sedikit-banyak tanya2, sampai juga kami ke tempat itu. Tapi, tak jadi masuk. Ragu bahwa tempat ini adalah yang kami maksud. Pasalnya, untuk mencari SD Amartya, kami hanya bermodal klu: SD Alternatif Amartya, Griya Mutiara, dan Kota Gede. Memastikan lokasi, kami telfon Mbak Sis yang kami anggap tahu selik beluk selatan Jogja. Mbak Sis pun tak yakin. Karena perumahan begitu sepi, kami tak dapat bertanya-tanya lagi yang mana rumah Eko Prasetyo, pemilik SD Amartya, tinggal. Satpam pun tak ada. Hanya ada seorang bapak yang merasa dirinya bukan satpam dan bukan penduduk setempat, duduk di pos satpam. Kami pulang.
“Bagaimana kalau kita ke kapitalis baik hati?” kata Richie. Adalah sebuah tempat makan, di dekat Lempuyangan, yang harga nasi ayam+es tehnya=3000 rupiah saja. Hanya cerita yang kudengar dari Richie dan Bayu yang dengan begitu antusias memuja warung makan tersebut dan menjuluki pemiliknya sebagai kapitalis yang baik hati.
“Okey2!” kataku bersemangat. Lapar.
Aku tak pandai navigasi. Lampu merah. Belok. Tikungan. Belok lagi. Tidak ada tikungan, juga belok. Jalan di samping rel. Belok. Berputar. Berputar. Berputar. Berputar. Lelah dan pusing kepala.
“Chie, dari tadi muter-muter. Pusing aku. Kapan sampainya?”
“Ini sudah sampai,” jawab Richie jumawa. Karena sebentar lagi cerita andalannya berkenaan dengan kapitalis baik hati akan segera terbukti. Motor sudah diparkir. Balik kanan! Yak! BUKA: 13 Juli 2009. Demikian tertulis di depan warung makan yang dari luar tampak seperti rumah penduduk pada umumnya. Nah, ini baru “Dilarang Masuk” yang sesungguhnya.
Reportase ke Berapa, ya??: Lalu Lintas Yogyakarta-Ini disebut Lampu Merah
Jam setengah tujuh pagi. Menunggu Richie dengan was-was. Di telfon tiga kali, tak ada yang diangkat. Barangkali masih tidur. Janji jam tujuh dengan kepala sekolah SD Mangunan. Berniat melihat aktifitas anak SD Alternatif sejak sebelum masuk kelas. Telfon yang ke empat. Suara Richie yang setengah sadar di seberang. Aku tanya ,”Dimana?”; dia jawab ,”Ha?”. Aku tanya ,”Ada motor?”; dia jawab,”Ha?” lagi. Aku teriak,”Richie!”; dia jawab ,”Ha?” lagi. Aku ngomel-ngomel sambil ketawa dia jawab ,”Bentar tunggu!”. Akhirnya. Setengah jam kurang-kemudian, datanglah Richie dengan semangat -yang cukup lah…- untuk cepat sampai tujuan.
Tak kusangka motor melaju demikian cepatnya. Tak sanggup lagi berkata-kata. Aku diam di belakang. Berpegangan erat pada jok belakang. Poni yang beterbangan di terpa angin menusuk-nusuk wajah. Tercekik rasanya. Degup jantung entah masih ada atau tidak. Getaran motor tak sempat membuatku bengong. Waspada. Melihat polisi lalu lintas malah bikin paranoid. Satu, Richie suka tidak (atau tidak suka-sama saja) ber-STNK. Dua, kecepatan motor saat ini cukup menonjol di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Puji Tuhan, Desa Mangunan tampak juga. Sampai.
“Weh, kita cepat juga ya?” ujar Richie tak berdosa.
Pukul sepuluh, pulang. Berniat mencari Rumah Pengetahuan Amartya yang hingga detik itu belum juga kami temukan. Informasi maya pun nyata telah dijajaki. Lokasi Amartya simpang siur. Dengan bekal baru kami berniat menjelajah Bantul. Klu kali ini: utara Giwangan. Setelah sebelumnya, klu-klu lain bergelimpangan salah.
Giwangan dari utara hingga selatannya telah kami obrak-abrik.
“Utara Giwangan apa utara Terminal Giwangan, ya?” ujarku ragu. Setelah sms pada Nea selaku pemberi informasi tak dibalas jua, kami tuju Terminal Giwangan. Richie tiba-tiba berhenti. Barangkali ingin bertanya pada orang-orang sekitar. Tapi tak ada orang di sekitar. Lantas kenapa Richie berhenti di sini? Di tempat yang begitu tanggung karena lokasinya yang di pinggir jalan ramai.
“Chie, jangan berhenti di sini. Mau tanya siapa, gak ada orang,” ujarku heran. Richie diam saja.
“Chie, maju ke depan lagi tuh lho. Tanya ke penjual-penjual kelontong di sekitar sini barangkali tahu,” ujarku lagi. Richie diam. Barangkali tidak dengar.
“Chie! Chie!” ujarku.
“Maju Chie! Maju!” ujarku lagi.
“Kamu lihat itu?” ujar Richie menunjuk ke atas. Kuikuti telunjuk Richie. Lampu merah sedang menyala.
“Lampu merah,” ujar Richie tanpa tendensi. Kulihat kendaraan-kendaraan di sebelah kanan sedang menunggu lampu hijau.
Aku terbahak. Sampai lampu hijau dan kendaraan akhirnya benar-benar maju. Masih terbahak.
Sayangnya, Rumah Pengetahuan tak juga ditemukan. Namun, kali ini rencana makan di kapitalis baik hati, kesampaian.
Sore hari. Niat berkumpul bersama teman-teman Natas. Richie membawa kabar ironis.
“Weh, gampang aja cari Rumah Pengetahuan tu!” ujar Richie.
“Tadi aku cerita kita bingung cari Rumah Pengetahuan punya Eko Prasetyo. Tommy tadi ke sini. Katanya dulu Eko Prasetyo mantan PU Keadilan!”
Aku meringis.
NB: Keadilan = nama LPM; Tommy=anak LPM Keadilan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar