Minggu, 19 Juli 2009

Kotaku dari Mataku - Satu : Dari Bus Kota


“Mengamati kotaku tanpa perlu mendapat jawaban darinya. Menghiasi kumpulan memori dengan praduga sepihak. Merangkai memori dan praduga itu dengan rantai-rantai imajinasi. Maka jadilah sebuah: tulisan berisi fragmen-fragmen realita kota yang dibumbui praduga-praduga dan disajikan dengan sedikit fiksi. Memberi ruang untuk bermain pilah memilah; mana fakta, mana praduga, dan mana fiksi. Saya begitu cinta padamu, metafor. Memberi ruang buatku untuk jadi egois dan seenak perutku. Kapan lagi? Menjadi bebas menelanjangi diri tanpa menjadi telanjang? Tertutupi beragam interpretasi yang sesukanya muncul ke permukaan. Harus. Rela diadili. ”


Dari Bus Kota



Pagi hari, kepala pusing, seperti ramalanku. Tidur subuh karena kopi, sama dengan energi berlebih, sama dengan kesadaran terbatas. Kopi, minuman nikmat yang sayangnya tak bersahabat dengan tubuh. Kepala pusing, jantung berdegup cepat, efek buruk yang mesti ditanggung kalau bala tentara kafein menyatakan perang dengan badan. Duduk di bus kota menambah pusing kepala. Tidak hanya kopi. Kendaraan bermesin roda empat, juga musuh tubuh. Aku seperti lahir dengan bakat mabuk daratan. Maka benci adalah wajar jika naik kendaraan darat roda empat macam ini. Bus kota, apalagi. Jalan lelet, sering penuh sesak, siang = panas, rawan copet, guncangan ampuh yang buat perut mual. Adalah keadaan yang memaksaku berteman karib dengannya. Tidak di Palembang, tidak di Jogja, bus kota adalah penghantar yang terpaksa setia. Masih pagi, jalanan padat. Ini hari minggu. Wajah-wajah penumpang yang acuh di bus kota. Pandangan-pandangan yang dilemparkan ke segala arah. Dua orang pemudi di belakang yang mencolok dengan keriuhannya. Gosip-gosip yang ujung pangkalnya hanya mereka yang tahu. Ibu-ibu di depanku dengan sayurannya. Meminta supir berhenti. Menyerahkan beberapa lembar uang, buru-buru turun. Pak supir menceracau, uang yang diberi kurang. Dengan rengut di wajah, terus melaju.


Lampu merah. Di sana, di pinggir jalan, seorang bapak paruh baya memegang setumpuk koran. Menjajakan koran pada orang-orang di atas kendaraan. Dengan topi dan rompi kuningnya. Mengenakan kaki palsu. Tak lama berjaja, lalu duduk di pinggir jalan, membenarkan kaki palsu. Lampu sebentar lagi hijau. Karena itu ia minggir. Kaki palsu sungguhan. Apa ini di hatiku? Simpati? Bukan iba. Bukan acuh. Kepolosan semburat wajahnya kah? Kau nikmatikah pekerjaanmu, Pak? Berjualan koran di paruh baya? Kegigihan dan kejujuran yang jelas menempa wajamu kah? Tak ada pembenaran akan satu kakimu pantas diberi salut. Sedang ada yang minta-minta dalam kebugarannya. Kekagumanku mesti berakhir. Bus segera berlari. Maka jadilah potret bapak penjual koran berkaki buntung terekam sempurna di kepalaku. Tak ada pertanyaan, tak ada pembelaan yang harus aku atau kau lontarkan soal keadaanmu, Pak. Bapak, sempurna sebagai seorang gigih, kurang dari lima menit. Selamat bapak, Anda orang beruntung yang menghadiahi saya inspirasi di Minggu pagi, dan nilai, dan pesan, tanpa saya tahu keapaanmu.

Tidak ada komentar: