Senin, 06 Juli 2009

Solitude is More or Less Sexy




Maka saya urungkan niat untuk mencap Jogja memusuhi saya kemarin malam, setelah bioskop ecek-ecek dan Benteng Vredeburg menolak saya dan Mbak Sis karena “keintrovertan” mereka. Niatan untuk mencari “tempat bermain” muncul pada sore hari saat saya menemani Mbak Sis makan (makan yang secara teknis adalah makan siang, namun secara temporal bisa juga disebut makan sore-terserah saja menyebut apa-). Bioskop ecek-ecek adalah ide yang muncul di kepala Mbak Sis saat saya menanyakan ke tempat nongkrong mana kami akan menghabiskan malam. Sebagai dua orang makhluk yang menyepakati ungkapan solitude is sexy, ke-solitude-an tersebut harus dipertanggungjawabkan dengan aktivitas sexy, di tempat yang sexy pula (11 kata terakhir belum saya sepakati dengan Mbak Sis). Karena saya pun belum pernah ke tempat tersebut –bioskop ecek-ecek -, maka saya amat antusias. Tak ada film bagus, mengobjekkan orang pun jadi, pikir saya. Namun kecewa yang didapat ketika melihat bioskop ecek-ecek tutup. Entah nama bioskopnya apa dan di daerah mana. Mengingat kemampuan membaca peta dan menghapal jalan saya yang terbatas, maka dikira-kira saja lokasinya. Pembicaraan di motor dengan Mbak Sis dalam perjalanan menuju bioskop ecek-ecek adalah hal yang menarik buat saya. Pembicaraan soal “asosasi jenis musik kesukaan dengan pengalaman khusus” itu membawa saya kembali pada pengalaman masa kecil saya. Saya baru sadar kemarin alasan saya tidak suka mendengarkan musik dangdut dengan lirik sedih. Saat kecil dan melakukan perjalanan jauh dengan bus atau kereta api, musik dangdut dengan tema-tema sedih-merana (macam pisah ranjang, mimpi buruk tentang kekasih, berpisah dengan kekasih) selalu didendangkan di kendaraan-kendaraan umum tersebut. Bukanlah musiknya yang semata-mata saya kira saya benci, namun perjalanan jauhnya. Saya selalu merasa melankolis kalau harus meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat nenek atau saudara dan sebaliknya. Saya tidak nyaman berada di lingkungan yang isinya orang-orang yang tidak saya kenal macam orang-orang baru di kendaraan tersebut. Dan tentu yang juga amat jelas adalah, saya mabuk darat. Maka saat saya mendengar lagu dangdut dengan lirik sedih, saya segera terhubung dengan suasana perjalana jauh yang tak mengenakkan. Mbak Sis sendiri menyukai musik klasik karena musik klasik mengingatkannya pada film-film eropa yang saat kecil ditontonnya di televisi. Film-film tersebut menampilkan kemapanan dan kenyamanan yang menggoda. Kemapanan dan kenyamanan demikianlah yang muncul tiap kali ia mendengarkan musik klasik. Saya rasa saya pun suka musik klasik, entah dengan asosiasi apa.

Setelah kemudian berputar-putar di jalanan yang (lagi-lagi) tidak mampu saya hafalkan rutenya, tiba-tiba kami sudah di Vredeburg saja. Niat nonton FKY pun pupus juga karena ternyata festival telah berakhir. Menjelajahi Vredeburg pun tak bisa dilaksanakan karena benteng ditutup akibat ada pertemuan penting (demikian ujar pak satpam). Kegagalan ini tak membuat saya terlampau kecewa karena ternyata ada dua orang ibu-ibu yang mengikuti kami masuk FKY dan dikecewakan juga. (Hubungan antara kecewa dan kedua ibu tersebut memang tak jelas koherensinya. Barangkali kekecewaan kolektif lebih gampang dimaklumi ketimbang kekecewaan pribadi. Pertama, jumlah empat orang terkecoh membuktikan bahwa kami tidak bodoh-bodoh amat pergi ke benteng saat festival telah tutup. Kedua, suara salah satu ibu amat menggelitik kuping saya. Entah apa yang lucu. Nah, tambah ngaco saja saya dan tambah tidak koheren saja cerita saya).

Setelah kembali berputar-putar dengan motor Mbak Sis , sampailah saya di suatu tempat yang familiar. Bukan karena saya pernah ke sana. Pohon beringin adalah klu-nya. Sahabat-sahabat di sebuah organisasi kampus berkata bahwa saat mereka berkunjung ke Makam Raja-Raja Mataram, salah satu dari mereka melakukan sesuatu dengan pohon beringin. Perlakuan terhadap pohon beringin tersebut cukup memalukan untuk dapat diingat oleh salah seorang sahabat dan kemudian diceritakan pada saya. Nah, benar, saya dan Mbak Sis ke Makam Raja-Raja Mataram. Lalu apa lagi yang diharapkan dilakukan oleh kami di sana selain ngobrol? Obrolan soal masa SMA hingga gitaris dengan gaya potong kambing jadi tema. Udara terlampau dingin membuat hidung saya yang kena flu meler, tapi tak terlampau saya hiraukan. Pembicaraan itu memberi masukan dan sudut pandang menarik soal kesexyan “solitude” dan cara-cara unik mengisinya. Selain itu, saya juga dapat tips menggiurkan untuk makan oat dengan penyajian menarik ala Mbak Sis. Tentu saja selama ini saya benci oat, wong saya selalu makan oat dengan garam atau susu saja.

Karena malam makin larut dan kos saya ada jam malam, maka pembicaraan di makam raja-raja segera diakhiri. Omong-omong, sampai pulang saya tak tahu makam raja nya ada di sebelah mana. Menuju kos, kita melihat kedai burger dan ngiler lihat gambar burgernya. Akhirnya kita memutuskan makan burger dahulu meski ternyata si burger tak terasa selezat gambarnya. (Dasar kapitalis! Menang di pencitraan saja!) Demikianlah akhir malam ditutup dengan traktiran buger dari Mbak Sis. Terimakasih atas “nyampah-nyampah”nya Mbak (ingat: junk food), juga masukan-masukan yang secara langsung maupun tak langsung memberi inspirasi buat saya.

Tidak ada komentar: