Pagi itu benar-benar besar harapanku akan tawa dan canda bersama teman-temanku. Kutunggu ucapan selamat atas keberadaanku di bumi yang sudah tepat 18 tahun itu. Terutama secara langsung oleh teman-teman karibku di Jogja: Arnold, Toro, dan Petra. Ini kali pertama aku berulang tahun tanpa hadirnya Ibu, Ayah, dan Adik. Awal-awalnya aku berada di Jogja. Jadi sahabat-sahabat karibku adalah harapan satu-satunya. Sms-sms mengalir ke handphone dari segelintir teman jauh. Tapi tidak dari sobat-sobat gilaku yang mau tak mau kuanggap karib itu. Walau orang-orang yang tidak “momentumal” (di cek lagi saja istilah ini di KBBI, aku tak yakin ada) mengganggap hari jadi, hari raya, hari besar, dan hari-hari spesial lainnya sebatas hari saja, dan pemaknaan atas satu hari spesial sebenarnya bisa kau lakukan kapanpun kau mau, (dan aku pun termasuk dalam orang-orang yang tak “momentumal”), tapi tak bisa dipungkiri harapan terbesar atas pemaknaan terhadap kehadiran dirimu di dunia akan jatuh pada hari jadimu.
Kuliah kujalani seperti biasa. Tentu saja tidak ada pemakluman akan hari jadiku. Maklum saja kalau ada yang tidak tahu aku berulang tahun. Kala itu aku baru 18 hari belajar di kampus. Aku bertemu Toro. Aku panggil sekali, dia tak menoleh. Kupanggil lagi dan lagi, akhirnya ia menoleh.
“Jadi nanti sore?” kutanya padanya tentang rencana kami nonton Sexen sore itu.
“Nggak tahu,” jawabnya datar. Begitu saja. Dan dia berlalu, tanpa ucapan selamat apa-apa. Keyakinanku bahwa aku makhluk eksis di bumi agak goyah.
Sepulang kuliah, masih tak ada aksi apapun dari teman-temanku. Jam empat sore janji nonton Sexen akan terlaksana. Aku penasaran akan UKM yang menaungi hobi yang kugandrungi, band.
Aku mencoba tabah. Menerima kenyataan bahwa teman-temanku itu benar-benar lupa hari jadiku. Sisi diriku yang tidak “momentumal” itu meyakinkanku bahwa ucapan selamat tak ada artinya tanpa pemaknaan. Tapi di sela-sela usaha untuk menjadi tabah itu muncul pula kemungkinan bahwa akan ada kejutan buatku. Merasa bahwa kejutan bukan bagian dari diri mereka, aku memupuskan harapan itu. Sedikit menghibur diri aku berharap mereka besok ingat dan sangat menyesal telah melupakan ulang tahunku.
Runtuh juga pertahananku. Aku akhirnya menangis juga. Mungkin aku tidak “momentumal” atau apalah sebutannya, tapi baru kusadari apa gunanya kata “basa-basi” diciptakan. Selain untuk membuatmu muak jika digunakan berlebihan, juga untuk memberi penghargaan jika digunakan tepat sasaran, dan membuatmu menangis jika tidak digunakan sama sekali. Sama sekali tidak digunakan oleh teman-teman dekatku. Walau semua orang di bumi tersenyum untukmu di hari ulang tahunmu, kalau teman-temanmu melupakannya, akan hambar jadinya semua senyum.
Mencoba memotret diri dengan web cam untuk menghilangkan sedih. Tetap ekspresi-ekspresi sendu dan putus asa yang muncul di layar lap top.
Tiba-tiba hp bergetar. Sms, dari Arnold. Menanyakan rencana nonton Sexen. Sudah sangat telat. Sudah mulai bermenit-menit yang lalu, tapi kuiyakan juga. Kekesalanku double. Satu, mereka tidak tepat janji. Dua, mereka benar-benar lupa ulang tahunku.
Dan tibalah Arnold di kos, terlihat terburu-buru. Kecemasan di wajahnya amat kaku.
“Naik ke motor, cepet!”
Aku tak lantas naik.
“Lho, Toro, Petra mana?”
“Naik aja cepet!” ujar Arnold kaku, tak seperti biasa. Kekakuan itu membuatku berpikir akan kemungkinan kejutan. Terus kucecar Arnold dengan pertanyaan akan keberadaan Petra dan Toro. Arnold tidak berbelok ke mana Sexen manggung, malah ke arah berlawanan. Aku curiga. Beragam spekulasi muncul ke permukaan. Arnold ngebut. Aku diam saja. Entah kenapa kadang-kadang aku senyum sendiri waktu di motor, mungkin analisa yang muncul di kepala sedang lucu. Kucecar lagi dengan pertanyaan yang sama. Arnold diam.
Ternyata kami menuju ke rumah Petra. Saat sudah hampir dekat rumah Petra, Arnold bicara,”Petra pingsan, Fa, tadi kecelakaan, sampe ngigau-ngigau. Mbahnya cemas,” Arnold masih bicara dengan kaku. Aku setengah tak percaya. Kalau memang pingsan, kenapa tak bilang dari tadi.
“Hah? Masa? Pingsan di mana?” tanyaku dengan keterkejutan yang dipaksakan. Entah kenapa aku menahan senyum. Ada yang salah, pasti.
“Pokoknya sekarang dia sekarat. Toro udah di sana,” Arnold tak menjawab pertanyaan.
Sampailah kami di depan rumah Petra. Mbah putrinya sedang duduk santai sambil? Membaca koran, saudara-saudara! Antisipasi yang amat janggal dalam menyikapi kepingsanan cucunya. Aku tak bicara apa-apa tentang kejanggalan itu. Aku terus ikuti Arnold masuk ke dalam kamar Petra. Tak ada kehebohan apa-apa seperti yang aku kira akan terjadi saat tetanggamu pingsan. Sepiiiiiii sekali.
Akupun tertawa.
“Kamu ngerjain aku ya?” Aku tertawa lebih keras. Arnold masih bersikeras,”Lha nggak percaya? Tor! Tor!” dia memanggil Toro. Ternyata Petra tak ada di kamarnya. Aneh sekali dan aku tertawa makin keras,”Masakan cucunya pingsan tapi neneknya santai-santai baca koran?” ujarku akhirnya dan bahakku makin keras saja.
Tiba-tiba dari kamar depan muncul Petra, Toro dan Lia mambawa black forest. Aku akhirnya lega. Tertawa bersama-sama mereka dan mengomentari betapa salahnya menempatkan Arnold yang susah akting itu untuk menjemputku dan kejutan yang tak terorganisir mengingat Mbahnya Petra yang berfungsi vital luput dari perencanaan.
“Padahal tadi aku udah ngomong sama Mbah untuk sembunyi, dan udah diiyakan,” Toro membela diri. Dia ngiler lihat black forest.
Akhirnya makan-makan juga, penuh tawa. Mereka semua mengatarku ke kos dan ngakak lihat foto yang kuambil habis menangis di lap top. Cengeng. Mereka foto-foto dengan ekspresi tak karuan.
Terima kasih atas perhatiannya, teman-teman! Aku jadi sadar aku tak se”anti-momentumal” itu dan sadar akan pentingnya pengakuan kalian atas keberadaanku serta berartinya kalian buatku. Kadang kita tak sejalan, kadang ada kata-kata yang tak berkenan, kadang ada gesekan-gesekan yang membuat kita jauh, kadang kita tak seperti yang kita harapkan satu sama lain, kadang kita kesal, kadang, kadang, dan kadang-kadang lainnya. Tapi persahabatan tak kan mulus adanya dan semestinya kita berjuang agar “kadang” itu bisa mengeratkan kita dan tidak menghancurkan kita. Kita bersahabat karena kita selalu mencoba menghancurkan tembok “kadang” itu bersama-sama, bukan karena tidak ada tembok di antara kita. Tapi aku sarankan, jangan biarkan saudaramu duduk santai sambil membaca koran saat kau pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar