Selasa, 30 Desember 2008

EN-A-TE-A-EL

DULU


Rusuh, hatiku.

Seperti yang telah kuramalkan berhari-hari lalu.

Tidak sama. Tidak akan sama, memang.


Cahayanya.

Kesibukkan orang-orangnya.

Keringat yang seharusnya membanjiriku juga.

Kerepotan ibu, gara-gara:

Udaranya.

Debu-debu yang tak diinginkan, yang menyengat hidungku.

Keenggananku yang membaur bersama kerinduanku.

Keputusasaanku yang dibungkus oleh semangatku.

Toples-toples yang bertutup merah kristal.

Kue-kue kering yang hangat dari oven, yang memudar akhir-akhir ini.

Terganti kue-kue kering dingin yang tak mau kalah menggoda.

Kue-kue basah yang menantang kesanggupan perut kenyangku.

Wangi makanan yang tak ada hubungannya dengan semua ini, tapi merekat kuat dengan semua ini.

Kain-kain untuk menutupi cacat ini dan itu.


Perdebatan dengan adik, tentang:

Warna merahnya.

Lampu-lampunya.

Gumpalan kapasnya.

Bau cemaranya.

Hijau yang palsu.

Ruang.

Letak kado-kado kosongnya.

Lonceng-lonceng yang bisu.

Drama-drama yang mengentalkan rasa.

Fantasi-fantasi yang menggugah.

Kerinduan kami, kerinduan yang kurindukan.

Salju-salju yang jadi mimpi terus-terusan..


Lalu aku ke sana, ke tempat di mana aku:

Mengeringkan tenggorokkanku demi melodi-melodi itu.

Menggelitik otakku dengan nada-nada.

Bertemu wajah-wajah itu.

Bicara,bicara,bicara sampai bosan.

Tentang semua ini.

Memanjakkan hatiku untuk kehadiran seseorang yang menggerogoti hatiku bertahun-tahun.

Gelap malamnya.

Bau lilin yang meleleh, panasnya yang menyapa jemari, cahayanya yang malu-malu.

Wajah-wajah yang bisa kubayangkan, dan wajahnya.

Sorot-sorot mata.

Gemerincing yang megah.

Totalitas yang ikhlas.

Doa-doa.

Atmosfer yang pekat.

Cahaya bertubi-tubi.

Sabda-sabda.

Cerita-cerita.

Lagu-lagu.

Senyum-senyum merekah.

Jabatan tangan.

Tawa.

Kenangan.


Pagi yang lebar.

Dentuman drum di hati.

Sengatan yang merekahkan senyum.

Kekosongan yang mengisi celah-celah hati seperti mentari pagi.

Harap.

Senandung.

Penantian.

Sepi yang berujung.

Senyum bangga ayah.

Cerita dan bual ayah.

Gurauan ayah.

Sahabat.

Kisah.

Keluguan.

Kepura-puraan.

Memori.


Makna. Makna. Makna.


Tidak. Tak sama.

Aku rindu dulu.


LALU


Duka yang perlahan.

Kain yang membalutku tak pura-pura.

Kaki yang melangkah cepat tak senada dengan semangat.

Wajah-wajah berbeda.

Kesibukkan yang semu.

Senyum yang semu.


Tiba-tiba rusuh, hatiku.

Kain yang apa adanya menciutkan aku.

Sesaat aku ingin menghilang.

Air mata saja yang menghilang.

Teriak-teriak yang seharusnya tak ada di kekudusan, mendentam.


Tenggelam dalam kosong.

Tenggelam oleh rindu.

Sendiri saat ramai.

Gelap saat gemerlap.

Sepi saat gempita.


Aku mau teriak.

Aku mau lari! Lari! Aku muak akan rindu! Sangat muak akan rindu!

Aku ingin pulang, pulang.....

Tenggelam dalam repotnya ibu.

Tenggelam dalam perdebatan dengan adik.

Tenggelam di sana.

Tenggelam di pagi yang lebar bersama ayah.

Tenggelam dalam kenangan.

Tenggelam dalam memori.

Yang jauh, jauh....


Kerapuhan hati.

Disangga sebisanya.

Pulang.

Atmosfer berbeda, tanpa makna selain sendu.

Wajah-wajah berbeda.

Sajian yang berbeda.

Tradisi yang berbeda.

Tak menyibukkanku, tapi aku terbelenggu.

Dibingkai dalam keluarga baru.

Aku rindu yang dulu.

Kekhasan yang terpatri di otak, kini menyisakan rindu.

Rindu saja...


Terlelap sebelumnya cemas.

Sebelumnya ketaknyamanan.

Sebelumnya sepi yang mendalam.

Sebelumnya harap yang patah.

Sebelumnya mimpi-mimpi yang sampai di batasnya.

Sebelumnya kucari-cari penawar rindu.

Semu...

Semu...

Hatiku pilu...

Hanya rindu...

Rindu...

Tak sanggup lagi aku menangis.

Diam. Diam saja. Aku diam saja...

Aku pun terlelap...


Makna. Makna. Makna.

Kucari-cari di sela mimpi, kucari-cari kala terkantuk, kutunggu-tunggu sampai muak.


Tak ketemu.

Kesabaran yang samar kucoba genggam.

Sedikit makna samar muncul ke permukaan.

Baru tak selalu bagus.

Buruk tak selalu buruk.


Siapapun, selamatkan aku...

Jangan semu....

Jangan semu...


Tuhan, dengarkan aku....

Tidak ada komentar: