Selasa, 30 Desember 2008

EN-A-TE-A-EL

DULU


Rusuh, hatiku.

Seperti yang telah kuramalkan berhari-hari lalu.

Tidak sama. Tidak akan sama, memang.


Cahayanya.

Kesibukkan orang-orangnya.

Keringat yang seharusnya membanjiriku juga.

Kerepotan ibu, gara-gara:

Udaranya.

Debu-debu yang tak diinginkan, yang menyengat hidungku.

Keenggananku yang membaur bersama kerinduanku.

Keputusasaanku yang dibungkus oleh semangatku.

Toples-toples yang bertutup merah kristal.

Kue-kue kering yang hangat dari oven, yang memudar akhir-akhir ini.

Terganti kue-kue kering dingin yang tak mau kalah menggoda.

Kue-kue basah yang menantang kesanggupan perut kenyangku.

Wangi makanan yang tak ada hubungannya dengan semua ini, tapi merekat kuat dengan semua ini.

Kain-kain untuk menutupi cacat ini dan itu.


Perdebatan dengan adik, tentang:

Warna merahnya.

Lampu-lampunya.

Gumpalan kapasnya.

Bau cemaranya.

Hijau yang palsu.

Ruang.

Letak kado-kado kosongnya.

Lonceng-lonceng yang bisu.

Drama-drama yang mengentalkan rasa.

Fantasi-fantasi yang menggugah.

Kerinduan kami, kerinduan yang kurindukan.

Salju-salju yang jadi mimpi terus-terusan..


Lalu aku ke sana, ke tempat di mana aku:

Mengeringkan tenggorokkanku demi melodi-melodi itu.

Menggelitik otakku dengan nada-nada.

Bertemu wajah-wajah itu.

Bicara,bicara,bicara sampai bosan.

Tentang semua ini.

Memanjakkan hatiku untuk kehadiran seseorang yang menggerogoti hatiku bertahun-tahun.

Gelap malamnya.

Bau lilin yang meleleh, panasnya yang menyapa jemari, cahayanya yang malu-malu.

Wajah-wajah yang bisa kubayangkan, dan wajahnya.

Sorot-sorot mata.

Gemerincing yang megah.

Totalitas yang ikhlas.

Doa-doa.

Atmosfer yang pekat.

Cahaya bertubi-tubi.

Sabda-sabda.

Cerita-cerita.

Lagu-lagu.

Senyum-senyum merekah.

Jabatan tangan.

Tawa.

Kenangan.


Pagi yang lebar.

Dentuman drum di hati.

Sengatan yang merekahkan senyum.

Kekosongan yang mengisi celah-celah hati seperti mentari pagi.

Harap.

Senandung.

Penantian.

Sepi yang berujung.

Senyum bangga ayah.

Cerita dan bual ayah.

Gurauan ayah.

Sahabat.

Kisah.

Keluguan.

Kepura-puraan.

Memori.


Makna. Makna. Makna.


Tidak. Tak sama.

Aku rindu dulu.


LALU


Duka yang perlahan.

Kain yang membalutku tak pura-pura.

Kaki yang melangkah cepat tak senada dengan semangat.

Wajah-wajah berbeda.

Kesibukkan yang semu.

Senyum yang semu.


Tiba-tiba rusuh, hatiku.

Kain yang apa adanya menciutkan aku.

Sesaat aku ingin menghilang.

Air mata saja yang menghilang.

Teriak-teriak yang seharusnya tak ada di kekudusan, mendentam.


Tenggelam dalam kosong.

Tenggelam oleh rindu.

Sendiri saat ramai.

Gelap saat gemerlap.

Sepi saat gempita.


Aku mau teriak.

Aku mau lari! Lari! Aku muak akan rindu! Sangat muak akan rindu!

Aku ingin pulang, pulang.....

Tenggelam dalam repotnya ibu.

Tenggelam dalam perdebatan dengan adik.

Tenggelam di sana.

Tenggelam di pagi yang lebar bersama ayah.

Tenggelam dalam kenangan.

Tenggelam dalam memori.

Yang jauh, jauh....


Kerapuhan hati.

Disangga sebisanya.

Pulang.

Atmosfer berbeda, tanpa makna selain sendu.

Wajah-wajah berbeda.

Sajian yang berbeda.

Tradisi yang berbeda.

Tak menyibukkanku, tapi aku terbelenggu.

Dibingkai dalam keluarga baru.

Aku rindu yang dulu.

Kekhasan yang terpatri di otak, kini menyisakan rindu.

Rindu saja...


Terlelap sebelumnya cemas.

Sebelumnya ketaknyamanan.

Sebelumnya sepi yang mendalam.

Sebelumnya harap yang patah.

Sebelumnya mimpi-mimpi yang sampai di batasnya.

Sebelumnya kucari-cari penawar rindu.

Semu...

Semu...

Hatiku pilu...

Hanya rindu...

Rindu...

Tak sanggup lagi aku menangis.

Diam. Diam saja. Aku diam saja...

Aku pun terlelap...


Makna. Makna. Makna.

Kucari-cari di sela mimpi, kucari-cari kala terkantuk, kutunggu-tunggu sampai muak.


Tak ketemu.

Kesabaran yang samar kucoba genggam.

Sedikit makna samar muncul ke permukaan.

Baru tak selalu bagus.

Buruk tak selalu buruk.


Siapapun, selamatkan aku...

Jangan semu....

Jangan semu...


Tuhan, dengarkan aku....

Saudara Anda Pingsan? Duduk Santai Saja Sambil Baca Koran!

Pagi itu benar-benar besar harapanku akan tawa dan canda bersama teman-temanku. Kutunggu ucapan selamat atas keberadaanku di bumi yang sudah tepat 18 tahun itu. Terutama secara langsung oleh teman-teman karibku di Jogja: Arnold, Toro, dan Petra. Ini kali pertama aku berulang tahun tanpa hadirnya Ibu, Ayah, dan Adik. Awal-awalnya aku berada di Jogja. Jadi sahabat-sahabat karibku adalah harapan satu-satunya. Sms-sms mengalir ke handphone dari segelintir teman jauh. Tapi tidak dari sobat-sobat gilaku yang mau tak mau kuanggap karib itu. Walau orang-orang yang tidak “momentumal” (di cek lagi saja istilah ini di KBBI, aku tak yakin ada) mengganggap hari jadi, hari raya, hari besar, dan hari-hari spesial lainnya sebatas hari saja, dan pemaknaan atas satu hari spesial sebenarnya bisa kau lakukan kapanpun kau mau, (dan aku pun termasuk dalam orang-orang yang tak “momentumal”), tapi tak bisa dipungkiri harapan terbesar atas pemaknaan terhadap kehadiran dirimu di dunia akan jatuh pada hari jadimu.

Kuliah kujalani seperti biasa. Tentu saja tidak ada pemakluman akan hari jadiku. Maklum saja kalau ada yang tidak tahu aku berulang tahun. Kala itu aku baru 18 hari belajar di kampus. Aku bertemu Toro. Aku panggil sekali, dia tak menoleh. Kupanggil lagi dan lagi, akhirnya ia menoleh.

“Jadi nanti sore?” kutanya padanya tentang rencana kami nonton Sexen sore itu.

“Nggak tahu,” jawabnya datar. Begitu saja. Dan dia berlalu, tanpa ucapan selamat apa-apa. Keyakinanku bahwa aku makhluk eksis di bumi agak goyah.

Sepulang kuliah, masih tak ada aksi apapun dari teman-temanku. Jam empat sore janji nonton Sexen akan terlaksana. Aku penasaran akan UKM yang menaungi hobi yang kugandrungi, band.

Aku mencoba tabah. Menerima kenyataan bahwa teman-temanku itu benar-benar lupa hari jadiku. Sisi diriku yang tidak “momentumal” itu meyakinkanku bahwa ucapan selamat tak ada artinya tanpa pemaknaan. Tapi di sela-sela usaha untuk menjadi tabah itu muncul pula kemungkinan bahwa akan ada kejutan buatku. Merasa bahwa kejutan bukan bagian dari diri mereka, aku memupuskan harapan itu. Sedikit menghibur diri aku berharap mereka besok ingat dan sangat menyesal telah melupakan ulang tahunku.

Runtuh juga pertahananku. Aku akhirnya menangis juga. Mungkin aku tidak “momentumal” atau apalah sebutannya, tapi baru kusadari apa gunanya kata “basa-basi” diciptakan. Selain untuk membuatmu muak jika digunakan berlebihan, juga untuk memberi penghargaan jika digunakan tepat sasaran, dan membuatmu menangis jika tidak digunakan sama sekali. Sama sekali tidak digunakan oleh teman-teman dekatku. Walau semua orang di bumi tersenyum untukmu di hari ulang tahunmu, kalau teman-temanmu melupakannya, akan hambar jadinya semua senyum.

Mencoba memotret diri dengan web cam untuk menghilangkan sedih. Tetap ekspresi-ekspresi sendu dan putus asa yang muncul di layar lap top.

Tiba-tiba hp bergetar. Sms, dari Arnold. Menanyakan rencana nonton Sexen. Sudah sangat telat. Sudah mulai bermenit-menit yang lalu, tapi kuiyakan juga. Kekesalanku double. Satu, mereka tidak tepat janji. Dua, mereka benar-benar lupa ulang tahunku.

Dan tibalah Arnold di kos, terlihat terburu-buru. Kecemasan di wajahnya amat kaku.

“Naik ke motor, cepet!”

Aku tak lantas naik.

“Lho, Toro, Petra mana?”

“Naik aja cepet!” ujar Arnold kaku, tak seperti biasa. Kekakuan itu membuatku berpikir akan kemungkinan kejutan. Terus kucecar Arnold dengan pertanyaan akan keberadaan Petra dan Toro. Arnold tidak berbelok ke mana Sexen manggung, malah ke arah berlawanan. Aku curiga. Beragam spekulasi muncul ke permukaan. Arnold ngebut. Aku diam saja. Entah kenapa kadang-kadang aku senyum sendiri waktu di motor, mungkin analisa yang muncul di kepala sedang lucu. Kucecar lagi dengan pertanyaan yang sama. Arnold diam.

Ternyata kami menuju ke rumah Petra. Saat sudah hampir dekat rumah Petra, Arnold bicara,”Petra pingsan, Fa, tadi kecelakaan, sampe ngigau-ngigau. Mbahnya cemas,” Arnold masih bicara dengan kaku. Aku setengah tak percaya. Kalau memang pingsan, kenapa tak bilang dari tadi.

“Hah? Masa? Pingsan di mana?” tanyaku dengan keterkejutan yang dipaksakan. Entah kenapa aku menahan senyum. Ada yang salah, pasti.

“Pokoknya sekarang dia sekarat. Toro udah di sana,” Arnold tak menjawab pertanyaan.

Sampailah kami di depan rumah Petra. Mbah putrinya sedang duduk santai sambil? Membaca koran, saudara-saudara! Antisipasi yang amat janggal dalam menyikapi kepingsanan cucunya. Aku tak bicara apa-apa tentang kejanggalan itu. Aku terus ikuti Arnold masuk ke dalam kamar Petra. Tak ada kehebohan apa-apa seperti yang aku kira akan terjadi saat tetanggamu pingsan. Sepiiiiiii sekali.

Akupun tertawa.

“Kamu ngerjain aku ya?” Aku tertawa lebih keras. Arnold masih bersikeras,”Lha nggak percaya? Tor! Tor!” dia memanggil Toro. Ternyata Petra tak ada di kamarnya. Aneh sekali dan aku tertawa makin keras,”Masakan cucunya pingsan tapi neneknya santai-santai baca koran?” ujarku akhirnya dan bahakku makin keras saja.

Tiba-tiba dari kamar depan muncul Petra, Toro dan Lia mambawa black forest. Aku akhirnya lega. Tertawa bersama-sama mereka dan mengomentari betapa salahnya menempatkan Arnold yang susah akting itu untuk menjemputku dan kejutan yang tak terorganisir mengingat Mbahnya Petra yang berfungsi vital luput dari perencanaan.

“Padahal tadi aku udah ngomong sama Mbah untuk sembunyi, dan udah diiyakan,” Toro membela diri. Dia ngiler lihat black forest.

Akhirnya makan-makan juga, penuh tawa. Mereka semua mengatarku ke kos dan ngakak lihat foto yang kuambil habis menangis di lap top. Cengeng. Mereka foto-foto dengan ekspresi tak karuan.

Terima kasih atas perhatiannya, teman-teman! Aku jadi sadar aku tak se”anti-momentumal” itu dan sadar akan pentingnya pengakuan kalian atas keberadaanku serta berartinya kalian buatku. Kadang kita tak sejalan, kadang ada kata-kata yang tak berkenan, kadang ada gesekan-gesekan yang membuat kita jauh, kadang kita tak seperti yang kita harapkan satu sama lain, kadang kita kesal, kadang, kadang, dan kadang-kadang lainnya. Tapi persahabatan tak kan mulus adanya dan semestinya kita berjuang agar “kadang” itu bisa mengeratkan kita dan tidak menghancurkan kita. Kita bersahabat karena kita selalu mencoba menghancurkan tembok “kadang” itu bersama-sama, bukan karena tidak ada tembok di antara kita. Tapi aku sarankan, jangan biarkan saudaramu duduk santai sambil membaca koran saat kau pingsan.

Kurang Naek Dikiiit Aje!

Aji Pangestu itu adalah nama lengkap gue. Walau nama gue itu beda dikit sama Adjie Pangestu yang arteis itu, tapi nasib gue nggak sama atau seenggaknya nyrempet dikit kayak Adjie Pangestu. Apalagi urusan cewek. Temen-temen gue bilang sekali lihat juga nggak bakalan lo temuin titik temu antara wajah gue sama wajah Adjie Pangestu.

Tiap pagi tentu gue mandi sebelum ke sekolah layaknya manusia pada umunya. Kalo sempet, ya? Kalo hampir telat, gue pasrahin badan gue ini sama parfum favorit gue. Syukur-syukur gue nggak lupa pake parfum. Kalo udah telat, lupa pake parfum pula, gue pasrah sama kehendak Tuhan. Ngomong-ngomong, gue masih nggak ngerti kenapa cewek-cewek pada nolak gue. Gue tahu wajah gue pas-pasan. Tapi sisanya? Lumayan.

Pelajaran? Nggak bego-bego amat. Remidial satu kali doang tiap ulangan. Gue nggak masuk 10 besar ,tapi gue masuk 25 besar tuh dari 35 anak.

Harta? Punya. Dan gue nggak suka pamer. Masalah vespa gue yang rada butut dan sering mogok itu?? Emang sengaja gue pakai sebagai kendaraan favorit gue. Kesalahannya cuma: vespa bagus susah dicari, jadi gue dapet rongsokan juga udah anugerah. Menurut gue, vespa itu antik, klasik, unik. Terus yang gue denger, cowok yang punya vespa biasanya ditempelin cewek-cewek. Mungkin bukan rejeki gue punya cewek sekarang. Sejauh ini, vespa gue cuma ditempelin sama gambar-gambar cewek aja. Buat pancingan lah.

Satu hal lagi yang menurut gue sangat bisa gue andalin. Bakat gue. Beneran, deh, sekali ini. Suara gue bener-bener bagus dan gue jadi vokalis. Gue yakin temen-temen band gue punya pertimbangan milih gue sebagai vokalis. (Sekedar informasi, si Aji ini nggak bisa maen alat musik apa-apa dan masuk bandnya sekarang gara-gara vokalis bandnya keluar karena konflik. Dan sewaktu band ini sedang bingung-bingungnya nyari vokalis, ditemukanlah Aji ini di bak sampah depan rental band. Eh, ini beneran ditemuinnya di bak sampah! Ceritanya, vespa Aji yang rada rongsok itu mogok di sebelah bak sampah deket rental. Seraya ngecek motornya, Aji nyanyi-nyanyi lagu Rolling Stone gitu. Karena personel bandnya ngerasa suara Aji nggak jelek-jelek amat, seenggaknya bisa dipake buat ngusir tikus sampe bikin tikusnya trauma untuk kembali ke kos-kosan mereka, maka terpilihlah Aji sebagai vokalis band yang namanya “Gubrakk!!” ini.)

Semalam aku mimpi...

Mimpi buruk sekali...

Ku takut berakibat...

Buruk pula baginya...

Eh, kebablasan. Jadi dangdutan gue! Iya nih, gue mimpi buruk bener semalem. Huh! Gue mimpi diputusin sama cewek-cewek gue. Emang gue punya cewek? Ya punya. Tapi dalam mimpi juga. Jadi mereka pada mutusin gue dalam mimpi gitu. Cewek gue itu bilang nggak sanggup lagi sama gue. Katanya gue terlalu kerenlah, terlalu tajir, terlalu banyak yang naksir. Wah, kalo alasan mutusin gue itu beneran kejadian di kehidupan nyata, nggak papa deh, gue diputusin. Pasti walau patah satu, bakal tumbuh seribu. Nggak kayak sekarang, patah satu tumbuh jerawat.

Tapi hari ini bukan hari biasa, teman. Gue nggak berencana ke sekolah. Bukan bolos juga. Ini kan hari Minggu. Mau sekolah? Lo aja kali gue nggak. Hari ini gue ikutan festival band. Rambut gue aja udah rapi sangat. Belah pinggir, tak lupa diminyakin. Baju udah funky, wangi udah semerbak kemana-mana. Radius 100m juga bakal kecium parfum gue yang aduhai ini. Maksud gue, kalo nanti akhirnya suara gue rada-rada cempreng pas festival band, bakal ketutupan sama wangi parfum gue.

Setelah sarapan dan pamit sama bapak kos gue, gue naikin vespa gue ke tempat yang dituju. Wah, gue bersemangat banget pagi ini. Acara kayak gituan kan (festival band) tempatnya cewek-cewek cakep ngumpul. Siapa tahu ada yang bisa gue gebet.

Setelah berjalan kira-kira setengah jam, sampailah gue ke SMA 677.500 (kayak harga hand phone kualitas standard aja tuh SMA) yang jadi tempat penyelenggaraan festival itu. Bener, kan? Banyak cewek cakepnya? Tapi, temen-temen band gue kok belum kelihatan daun telinganya ya? Batang hidungnya aja udah pada lari kemana-mana tuh. Yah akhirnya gue putuskan untuk menyelam sambil minum air. Sambil nyari temen-temen gue, mata gue ini juga gue pake untuk mengincar cewek-cewek cakep.

Wuidih, itu kan Laura! Cewek top markotop di sekolah gue. Aneh, ya? Dia kok senyum ama gue? Padahal kalo di sekolah ngelirik gue aja nggak. Melotot iya. Yah, walaupun gue heran banget, tapi gue baleslah senyumnya Laura.

Eh, nggak cuma Laura, lho! Ada cewek manis banget, sekitar 2 meteran dari Laura juga senyum-senyum tuh sama gue. Manis banget, gila... . Buktinya tuh semut-semut udah ngerubungin dia.

Gue lemparkan lagi pandangan gue ke sekeliling gue, kalau-kalau aja temen-temen band gue udah pada nongol. Belum ketemu juga mereka. Tapi cewek gothic yang di sebelah panggung juga ngelirik-lirik gue gitu! Pas gue senyumin, dia malah tersipu-sipu malu. Ih, kok lama-lama cekikikan, ya?

Gue udah cakep apa gimana sih, sekarang? Kok cewek-cewek udah senyum-senyum gitu sama gue? Mimpi apa sih gue semalem? Oh, iya... . Mimpi diputusin cewek. Gue pernah denger sih apa yang kita mimpiin akan jadi kebalikannya di kehidupan nyata. Dulu sih gue nggak percaya. Tapi, kayaknya beneran, deh!

Akhirnya setelah mata gue menerawang selama setengah jam, dan untung bola mata gue nggak keluar, gue temukan juga sosok temen-temen band gue yang nggak kalah parah tampangnya dari gue. Sebenernya nggak susah sih nyari mereka. Cari aja cowok-cowok yang dandan paling norak, pasti langsung ketemu. Kenorakan temen-temen gue diantara makhluk bumi ternorak udah nggak ada bandingannya! Katanya sih mereka dari tadi nunggunin gue di WC. Alasannya sih WC adalah tempat yang paling matching sama muka-muka mereka. Terserah, ya? Yang jelas alesan sok idealis yang bener-bener nggak idealis bahkan cenderung konyol itu lumayan bikin gue bete. Kalo mereka nggak nggak berinisisatif buat menongolkan diri mungkin ampe gue punya cicit juga nggak bakalan bisa gue temuin mereka.

Kemana aja sih lo, Ji? Lama banget,” Tarjo yang merupakan gitaris band gue memberikan pertanyaan yang harusnya bisa dia jawab sendiri.

Udah capek kali dari tadi gue nyariin lo semua. Nongkrong di WC... . Yang lewat juga cuma orang-orang kebelet pipis doang! Cari tempat yang strategis dikit kenapa? Atep sekolahan, kek, puncak pohon, kek,” Aji melempar kesalahan pada teman-temannya. Sebenernya Aji lumayan bersyukur temen-temennya lama muncul. Kan dia akhirnya bisa menyadari bahwa kini dirinya bisa mempesona wanita-wanita. Mulai dari Laura sampai gembel juga dibuatnya terpesona. Nggak tanggung-tanggung tukang siomay yang bergender kurang jelas tadi juga senyum-senyum tuh sama Aji.

Iya udah deh, sori Ji... . Kita tampil urutan pertama. Bentar lagi mulai acaranya. Udah siap semua, kan?” ujar Bakri sang drumer sok bijak.

Akhirnya saat yang kita nantikan tiba. Nama band gue dipanggil untuk tampil. Dengan penuh kepercayaan diri gue memperkenalkan personel-personel band gue. Sekarang juri-jurinya pada senyum-senyum. Gila, ya? Kharisma gue kayaknya udah mulai memancar. Belum nyanyi aja juri-jurinya udah terkesima. Wah, apa karena parfum yang gue pake setengah botol tadi pagi, ya?

Detakan drum mengawali lagu ciptaan kita yang memang wajib ditampilkan dalam festival band ini. Gue bener-bener ngerasa di atas awan.. Belum pernah orang-orang yang nonton perform kita nunjuk-nunjukin gue dengan penuh semangat kayak gitu. Gue tahu apa yang mereka omongin seraya nunjuk-nunjuk gue,”Gila vokalisnya cakep banget, ya?” atau mungkin supaya kesannya gue lebih rendah hati,”Gila vokalisnya ancur banget ya tampangnya? Tapi auranya memancar kemana-mana...”

Pas tengah-tengah lagu, Jemi, basis gue melototin gue dengan sedemikian rupa. Apa gue salah lirik apa gimana? Perasaan gue udah maksimal, deh! Ah, mungkin si Jemi sirik kali ngelihat gue dielu-elukan fans gue. Dan akhirnya, selesailah lagu kita bergaung. Tepuk tangan riuh membahana. Gue bisa ngerasain gimana antusiasnya 100 orang penonton dan 500.000 nyamuk-nyamuk dan lalat akan penampilan kita.

Gue sengaja turun panggung terakhir sambil ngangkat-ngangkat tangan gue. Sewaktu gue balik ke belakang panggung, temen-temen band gue udah ketawa terbahak-bahak. Kayaknya ngetawain ceritanya si Jemi karena posisis Jemi yang jadi sentral itu. Kenapa sih? Nggak bagi-bagi cerita ama gue.

Gimana guys penampilan gue tadi? Perfect, kan?” gue udah tahu apa yang bakal mereka lontarkan. Pasti kekaguman terhadap aksi gue tadi.

Gimana ya, Ji? Ok, sih... Tapi kurang naek dikiiit aje...,” Bakri sang drummer mengomentari.

Kurang naek apa maksud lo? Fals ya? Masa sih?” gue masih merasa baik-baik aja. Apa itu alesan Jemi tadi melototin gue? Karena gue fals?

Bukan suara, Ji. Tapi resleting lo tuh kurang naek,” Jemi menjawab. Dan meledaklah tawa temen-temen gue tanpa peduli kepedean gue yang tadi segede gunung sekarang jadi menciut sekecil biji kedele. Dan spontan gue menilik ke resleting gue. Ya ampun... nggak ketutup, sodara-sodara! Maka sadarlah gue akan posisi gue sebenarnya. Dan akhirnya gue bisa menyimpulkan alasan senyum cewek-cewek cakep tadi. Pasti yang diketawain resleting gue! Kalo rasa malu itu bisa dilihat dengan mata telanjang, mungkin sekarang udah ada seton karung berisi rasa malu yang udah gue panggul. Pantes juri-juri udah senyum sebelum gue bertanding, pantes tukang siomay senyum genit sama gue, pantes penonton pada cengar-cengir, pantes nyamuk-nyamuk dan lalat-lalat jadi antusias (lho, ini apa hubungannya, ya?), pantes tadi Jemi melototin gue di tengah lagu (nyesel gue nuduh dia sirik sama gue. Secara matematis aja tampang dia lebih baik dari gue), pantes pengemis tadi minta duit sama gue (bukannya emang udah kerjaannya pengemis ya, minta duit sama orang?). Dan keluarlah senyum masem dari bibir gue untuk temen-temen gue. Nggak nafsu lagi gue tebar pesona kayak rencana gue barusan. Pupus sudah harapan gue untuk mendapatkan cewek idaman. Gue duduk merenung murung. Hampir lupa... . Resleting gue belum gue naikin. Dan di saat-saat down gue itu, lewatlah Laura di hadapan gue. Pura-pura nggak lihat aja, deh!

Hai, Ji! Keren banget deh resleting lo! Model baru, ya?” celotehan Laura itu gue tanggapi dengan diam. Ni cewek cakep sih cakep. Tapi busuk bener hatinya. Ilfil gue sama dia. Gue tahu sih dia pasti juga udah ilfil duluan sama gue dari jaman penjajahan. Laura pun berlalu.

Masih tetep gue duduk murung merenung merana terisis tersayat sedih terluka meronta-meronta menggaruk-garuk mecakar-cakar memanjat pohon (gue ini manusia apa monyet ya?). Tak lama, cewek berpenampilan gothic yang tadi juga senyum tersipu sama gue menghampiri gue. Ya Tuhan, udah cukuplah Laura mempermalukan gue. Masa cewek ini juga, sih?

Halo. Vokalis “Gubrak” ya?”

Aji menggangguk lesu. Dia udah tahu tuh cewek mau ngomongin apa.

Lo keren banget, deh! Gue suka musik band lo!” si cewek berkomentar.

Iya gue tahu. Terutama resletingnya kan?” ujar Aji sinis.

Resleting? Maksudnya apa, ya? Itu logo band lo apa gimana sih?” ni cewek rada juling apa beneran blo’on ya? Pikir Aji.

Lo nggak tahu ya, tragedi resleting gue?” Aji bener-bener bingung sama nih cewek.

Itu judul lagu, ya?” si cewek bertanya dengan wajah polos.

Aji bengong. Si cewek juga bengong. Dan diantara kebengongan itu, munculah benih-benih asmara. Kalo kata orang: “dari mata turun ke hati” ini “dari bengong turun ke hati”. Dan mereka pun ketawa.

Gue Meisya,” si cewek mengenalkan dirinya.

Gue Aji,” Aji lega tuh cewek nggak tahu resletingnya udah kebuka setengah hari. Berarti senyum yang tadi dilihatnya itu bukanlah senyum ilusi, tapi nyata.

Begitulah kejadian yang menimpa gue setahun lalu. Seenggak-enggaknya, gue diingatkan untuk nggak boleh cepet sombong. Tiap ada kebaikan yang menimpa gue, pasti gue bisa ngontrol dengan baik supaya gue akhirnya nggak terkungkung dalam ke sombongan.

Dan Meisya? Sekarang udah jadi cewek gue. Mungkin Meisya nggak secantik Laura, tapi dia asik banget dan enak diajak ngobrol. Keren lagi. Yang paling penting, dia nggak sejahat Laura. Buat gue dapetin cewek kayak Meisya itu udah kayak ketiban durian runtuh sepohon-pohonnya. Ternyata dibalik kejadian malu-maluin yakni tragedi resleting itu, masih ada keajaiban. Jadi seburuk apapun peristiwa yang terjadi hari ini di hari lo, semalu-maluin apapun kejadian yang menimpa lo, seburuk apapun lo rasa diri lo (menurut gue Tuhan nyiptain segala sesuatunya dengan indah), ingetlah pasti ada hikmah di balik semuanya.

Minggu, 21 Desember 2008

Detik-detik Lezat dan Beracun


Awalnya, aku juga tak tahu kapan. Tak tahu kapan aku mulai memperhatikannya dan memberi hati untuknya. Awalnya, yang adalah sebelum “awal”, aku bahkan sering kesal padanya. Aku tak tahu juga hal apa yang membuatku begitu sensitif menanggapi sikapnya padaku atau mungkin juga sikapku padanya. Bagaimana kami selalu canggung, bagaimana kami terbata-bata seperti anak kecil yang belajar bicara, kehilangan fokus seperti seperti anak SD yang belajar memahami. Dan kau tak sedetikpun menatapku, membuatku merasa tak cukup dihargai. Kau tak menjawab pertanyaanku dengan benar dan tak mendengarkan jawabanku. Pikiran kita melayang seperti kabut di atas genangan danau keberadaan kita. Anehnya, kesalku tak membuatku mengabaikan keberadaanmu, mataku mencari-carimu di saat aku tahu kau seharusnya ada di sana tapi kau tak ada, dan sikapku tak bisa jadi lebih alami dari biasanya, aku bergerak sedemikian rupa agar kau tahu sesuatu. Sesuatu yang bahkan aku sendiri belum paham waktu itu.


Dan “awal” sesudah awal itu, aku juga tak tahu siapa yang memulai. Jika aku yang tertangkap basah mengamatimu itu kau sebut “mulai”, terserah kau saja. Tapi ketidaktenanganmu saat di dekatku lah yang membuatku mengamatimu. Rasa kesal itulah yang membuatku mengamatimu. Hanya ingin tahu mengapa kau begitu. Hanya ingin tahu mengapa kau bisa membuatku kesal. Mengapa aku harus kesal? Mengapa aku harus peduli pada sikapmu untukku? Mengapa aku harus peduli pada penghargaanmu akan keberadaanku? Apa yang kau miliki yang membuatku harus peduli padamu? Aku tak tahu. Aku tak menemukan jawaban bahkan setelah akhirnya kita saling melempar pandang dan menangkap basah satu sama lain. Perang dingin? Tidak dingin. Aku mulas dan tersengat tiap kali mata kita berada pada satu garis.


Sampai akhirnya kau bicara juga. Dengan polos, berkali-kali kau minta bantuanku untuk sesuatu yang aku tahu kau bisa lakukan sendiri, untuk sesuatu yang aku tahu bisa kau minta dari orang lain yang lebih bisa menolongmu dibanding aku. Lalu mengapa aku harus keberatan? Aku tak tahu mengapa aku sangat bahagia dengan kebodohan ini. Aku tak tahu mengapa aku butuh kau mintai pertolongan. Lalu siapa yang butuh? Kau butuh aku atau aku butuh kau? Aku tak tahu siapa yang menang dalam membutuhkan satu sama lain itu. Tapi kau akan duduk di sampingku setelah aku tak berkeberatan membantumu. Duduk di sampingku, dekat di sampingku. Dan satu detik akan jadi ledakan kebahagiaan besar di hatiku. Mengagumimu dari dekat untuk sesuatu yang tak pernah jelas. Mencoba berkonsentrasi penuh sementara aku sangat terganggu oleh keberadaanmu di dekatku. Kadang aku tak ingin bicara apa-apa. Hanya mau memandangmu saja dan menikmati ledakan kebahagiaan ini tanpa harus berkonsentrasi atas pertanyaan-pertanyaanmu yang sebenarnya tak perlu konsentrasi besar. Aku tahu aku tak harus disalahkan sepenuhnya. Sikapmu tak membantuku berkonsentrasi. Kau mengisyaratkan kau menikmati detik-detik ini. Dan kadang aku tersanjung oleh itu.


Dan kau akan berlalu atau aku yang akan berlalu. Membangunkan aku dari khayalan indah yang dibangun lewat kenyataan pahit. Menyisakan keabsurdan dan kepedihan buatku. Bahwa kau dan aku tak mungkin bersama. Bahwa kita tak akan berada pada titik indah yang hanya beberapa menit itu untuk waktu yang lebih panjang. Bahwa detik-detik itu tak abadi. Bahwa kau punya seseorang yang lebih berhak atas detik-detik itu dan aku akan tersingkirkan. Aku akan menyadari dimana aku dalam kenyataannya. Aku akan menangis lagi bersama kenyataan yang tak akan beranjak dari sisiku kecuali saat aku tidur dan bermimpi tentangmu.


Lalu aku pergi. Lelah akan spekulasi-spekulasi, mimpi-mimpi yang kuciptakan sendiri, dan kesedihan yang menyeruak saat mimpi itu tak kuraih. Menjauh darimu dan aku tersesat. Memandangmu dari kejauhan. Berkali-kali tersesat. Dan kau akan memanggilku dari simpang jalan. Memanggilku dan aku akan kembali pada detik-detik indah yang sementara itu. Aku terus menatap kemungkinan lain. Menatapa tikungan lain. Dan aku pergi lagi, dan aku tersesat lagi, dan aku memandangmu dari kejauhan lagi, dan kau memanggilku lagi. Memanggilku lagi dan memberi detik-detik penuh makna tak bermakna lagi. Bermakna karena ada kita dan tak bermakna karena tak ada ruang buat aku mengenalmu lebih jauh. Kau mungkin dekat di sampingku, tapi aku tak pernah tahu setinggi apa mimpi-mimpimu, sedalam apa rasamu, seluas apa pikiranmu, setegar apa dirimu, sebenci apa kau pada kenyataan, selelah apa kau sekarang, sebahagia apa kau saat aku ada, dan lain-lain, dan sebagainya, dan semacam itu. Aku akan tersadar kau hanya kamuflase. Kau yang dekat ini ternyata tak pernah dekat. Kau samar. Menyamarkan dirimu di hadapku. Aku akan tersadar bahwa aku ternyata sendirian. Aku yang selalu membantumu ini tak bisa berteriak minta tolong saat tergelincir di jurang, bangun sendiri dan mendaki lagi ke jalan yang benar, mencari mata air sambil terlunta-lunta saat aku kehausan, melawan hujan, badai, kemarau, sendirian. Kau dan bayangmu datang dan minta tolong lagi, lagi, lagi, dan lagi. Memberiku kemungkinan bahwa kau ini nyata-nyata di depanku, ada buatku, di hadapanku lagi, lagi, dan lagi. Dan akhirnya aku akan sadar lagi, lagi, dan lagi, bahwa kita tak akan mungkin. Kau tak pernah membuka dirimu untukku dan datang selalu dengan bayang-bayangmu. Lalu buat apa aku merindukan itu? Buat apa aku menangisi itu? Mengapa aku sesakit ini? Untuk kesemuan itu. Untuk keabsurdan itu.


Sekarang aku mau benar-benar berbelok di sini. Aku harap aku tak akan kembali lagi. Aku sudah berjalan beberapa langkah dan mungkin aku sekarang hanya akan duduk dan memandang. Tapi aku tidak tersesat. Tidak, aku tidak tersesat. Aku hanya mau duduk sebentar. Melepaskan perjuangan, mencintai perjalanan, menghargai proses, dan menanti kebaikan datang padaku. Tidak, aku tidak mau terlunta-lunta lagi menangisi mimpi yang terlalu tinggi dan meratapi duka yang terlalu dalam. Karena ternyata apa yang kuingini kadang tak bisa kuperjuangkan. Hanya bisa dinanti. Tidak bisa diperjuangkan. Kalau mungkin kau akan datang dan singgah bersamaku dan membuka dirimu. Aku tak pernah tahu. Keajaiban adalah misteri dan keajaiban memungkinkan segalanya. Yang jelas, aku tak meninggalkanmu, bayang semu yang indah dan menyakitkan. Kau masih bisa minta tolong padaku, ah, aku masih peduli padamu, tapi aku tak akan lagi bermimpi untukmu, menangis untukmu, dan sakit untukmu. Tak peduli seingin apapun aku memilikimu. Tak peduli sebesar apapun bahagiaku saat bersamamu, aku tak bisa memperjuangkanmu.


Rabu, 10 Desember 2008

KADANG

Kadang rasanya lelah sekali.

Ingin melarikan diri.

Entah kenapa aku bertahan. Sesempit apapun kemungkinannya.

Mungkin aku tak bergerak maju, kadang mundur, terdesak oleh realita, sampai terjatuh.

Sambil mengumpat aku bangun. Sambil menangis aku berdiri.

Maju selangkah dan mundur dua langkah. Tidak buruk, aku hanya harus maju dua langkah lagi agar berpindah dari keterpurukan ini.

Entah kenapa aku bertahan, seberat apapun berjalan tanpa peluang begini..

Senin, 08 Desember 2008

TANYA DALAM PEKAT

Belum datang malam

Tapi kegelapan telah datang

Hujan rintik...

Tak terlalu dingin untuk menemani kesepianku

Terlalu hangat dibandingkan dengan mimpi-mimpiku yang mulai membeku


Berjalan. Sendirian.

Aku berpikir sepanjangan. Tak habis-habis. Berputar dan berputar. Tak tahu mana pangkal mana ujung.

Tentang semuanya. Tentang hidup. Hidupku, hidupmu, hidup kita.


Aku tak mau kembali ke tempatku. Sepi di sana.

Aku mau pulang ke rumah saja.

Rindu akan atmosfer aneh yang selalu menarikku untuk kembali ke sana.

Dekat ibu, dekat ayah, dekat adik.


Aku bertanya terus-terusan.

Apa yang sedang kulakukan?

Buat apa aku melakukan semuanya?

Apa yang menyebabkan aku masih berjuang?

Padahal mimpi-mimpiku mulai pudar, kawan.

Padahal aku sudah sangat lelah...


Siapa pula yang menantiku untuk pulang?

Rumahku jauh...Ibu pun jauh...

Aku tahu sahabat-sahabatku selalu ada.

Mereka punya impian mereka sendiri dan aku pun mungkin juga.


Sekarang kemana aku mesti bicara?

Saat beban terlalu berat. Saat aku tak mencapai apa yang seharusnya dapat kucapai. Saat aku melalukan banyak kesalahan.

Kemana larinya kebebasan dan kemandirianku?

Tak kusangka aku serapuh ini.


Apa yang benar-benar kuharapkan?

Kadang aku tak tahu. Kadang aku benar-benar tahu. Kadang aku pura-pura tahu.

Mengapa aku menangis?

Buat siapa?

Buat mereka yang mengkhianatiku dan diri mereka sendiri?

Buat mereka yang meninggalkan aku?

Buat mereka yang mereka yang kurindukan?

Atau buat diriku yang dibohongi melulu?


Mengapa aku harus tertawa saat aku benar-benar sedih?

Supaya hilang mungkin semua bebanku?

Atau supaya reda rasa sakitku?

Tak juga hilang-hilang kepedihan itu dariku.

Apa lagi yang harus kulakukan untuk menghempas kesedihan itu?

Berlari jauh-jauh darinya pun tak membuatnya jera.

Aku harus hadapi. Terus menghadapinya.

Sampai kadang aku terlalu muak.


Aku bertumpu pada satu titik.

Apa yang bisa membuatku bahagia?

Dan pantaskah aku bahagia?

Apa itu yang jadi tujuan akhir tiap orang?


Angin berhembus.

Tak menusuk, lemah, seperti aku yang lemah.

Jalanan ramai, tapi tak sesak.

Motor-motor melaju kencang dan pikiran-pikiran di tiap kepala menguap bersama malam yang makin larut.

Kupandangi lagi sekitarku, melepaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak akan digubris siapapun.

Tak lama, dan otakku berlari lagi.


Bahagia itu seperti apa pula?

Tiap otak mungkin punya bahagia yang berbeda.

Tapi bisakah semua manusia di dunia jadi bahagia bersama-sama?

Tanpa ada yang perlu dikorbankan mimpi-mimpinya?

Hanya surga mungkin yang bisa.


Dan bukan dunia namanya jika manusia tak saling kuasa.

Dibalik megahnya bangunan-bangunan kota, kuli-kuli berpeluh tanpa jaminan bahagia, mungkin.

Ah, mana kutahu pula. Itu dari sudut pandangku saja.

Lalu mengapa pula yang satu bergelimang harta dan yang lain mati karena kelaparan?

Mungkin kita tak akan pernah bisa benar-benar persis sama di tanah ini, tapi alangkah malangnya mereka yang dilahirkan hanya untuk terlunta-lunta sementara saudaranya terlalu kenyang oleh gemerlap.


Lalu siapa yang mesti disalahkan? Kadang mereka yang sudah terlalu malang pun tetap disalahkan.

Atas kemalasannya.

Atas kebodohannya.

Bahkan atas nasib.

Lalu tak pernahkah ditanyakan mengapa mereka begitu?

Karena apa bodoh? Karena apa malas?

Pernahkah mereka diberi kesempatan mengecap sedikit saja kepiawaian dari yang bermegah?

Kesempatan sebentar saja menimba ilmu dari yang cemerlang?

Maka takdir lah yang jadi kambing hitam.

Bisakah sekali-kali yang malang tak selalu malang sampai mereka mati?

Beri sedikit saja mereka kesempatan mengalahkan apa yang kalian sebut takdir itu.

Karena memang mungkin beginilah dunia.

Jika ada kemalangan biarlah pula ada keberuntungan.


Tapi mungkin kalian tak terlampau peduli.

Apalah arti serentetan pertanyaan dari seorang gadis yang mulai kehilangan mimpi?

Maka dibiarkanlah saudara-saudaraku yang malang dibingkai dalam figura kehidupan.

Entahlah dibingkai atau dikurung.

Sabtu, 06 Desember 2008

TUNDA

KUMATIKAN RASA


Kuhantam saja!


Lelah! Badanku berteriak.


Aku tak peduli.


Jalan! Jalan terus! Jalan terus! Aku tak peduli.


Sudah menumpuk.


Pakaian kotor. Sepatu buluk.


Kerja! Kerja! Aku paksa.


Kertas. Kertas. Kertas. Dan kertas.


Semuanya menuntut dibaca. Semuanya berebutan memecahkan kepala.


Bayar! Bayar! Bayar! Kuselesaikan.


Memenuhi tuntutan sistem. Memenuhi tuntutan dunia sekarang.


Lucu juga bahwa berpusing-pusing memikirkan semua ini tidaklah gratis.


Tak ada ruang kosong akhir-akhir ini.


Sempit. Sangat sempit waktu untuk bosan.


Biar saja. Toh sakit hatiku memudar.

MEMBACAMU

MEMBACAMU I


Di tengah kemuakanku akan kemunafikan yang merasuki cara pandang dunia

Aku melihat gambaran itu

Gambaran yang kau berikan lewat kata-kata yang kau ketik

Keras!! Kuat!! Berbeda!!

Kau menyadarkanku bahwa ku tak sendiri

Kita muak bersama-sama... Haha..

Berbulan-bulan tulisan itu terpendam

Terpendam karena kekuranganku akan pengetahuan tentang alat yang membuat dunia terasa lebih kecil dan abstrak.

Kau menyentuh hatiku dengan teriakan yang kau tulis

Tentang kecintaanmu pada melodi menghentak yang tercipta juga karena kemuakan orang-orang seperti kita

Berkali-kali kau memanggilku untuk bercerita tentang isi otak kita, tapi aku tak tahu kau ada

Maaf,itu bukan karena aku tak mau, tapi aku memang tak tahu kau ada

Ah, gara-gara keterbatasanku!!

Pertama kali untuk kedua kalinya aku melihat gambaranmu

Hatiku bergejolak, entah karena aku merasa kita sama atau karena aku mengharapkanmu tentang sesuatu

Aku tersenyum bahkan tertawa kegirangan melihat caramu memandang dunia yang makin hari makin gencar berusaha membodohi manusia yang mestinya berbudaya ini

Aku bicara

Akhirnya bicara padamu bahwa aku telah lama setuju dengan apa yang kau bilang indah

Kau bicara

Kau bicara padaku bahwa kau mau tahu apa yang sedang kupikirkan tentang berbagai macam hal

Aku senang waktu kau bilang kau benar-benar mau tahu apa yang ku pikirkan

Aha!! Kita bicara!

Kita tak benar-benar sama yang seperti yang kita kira, ternyata....

Tapi tak apa.

Aku suka.

Aku harusnya mengerti tak mungkin kita sama.

Buat apa kita berbagi kalau kita sama?

Buat apa saling melengkapi kalau kita sama?

Sejak awal tanpa sadar kita tahu kita tak sama

Karena itu kita ingin tahu seperti apa kita


Kenapa??

Aku sudah merindukanmu sebelum aku bicara padamu??

Apa kau begitu??

Aku tak tahu aku merindukan hanya kau saja atau aku merindukan orang dengan semangat sepertimu??

Karena sulit!

Sulit sekali menemukanmu


Dan ada beberapa detik terbersit di otakku tentang kita

Tentang seperti apa kita nantinya

Seperti apa kita jika matahari terbenam

Seperti apa kita saat bulan tak lagi bulat

Seperti apa kita saat kita harus memutuskan


Mungkin tak akan sejauh itu

Mungkin tak mungkin bisa kita selalu saling menopang saat kita tergelincir

Karena kau jauh

Karena ada sekat yang sulit kita hilangkan bersama saat kita jauh

Atau juga karena kau tak pernah berpikir sejauh ku berpikir sejak awal kau coba mengenalku??

Sehingga kita tak pernah berjuang sekeras itu

Sehingga kita tak pernah bertarung melawan perbedaan yang tak bisa kita hilangkan

Perbedaan yang sudah melekat di dalam diri kita masing-masing yang membentuk kita sebelum kita jadi manusia sesungguhnya


Aneh bahwa aku selalu merindukanmu disaat kita belum menciptakan kenangan apapun

Aku tak tahu hal apa yang membuatku begitu merindukanmu

Begitu merindukanmu

Sangat merindukanmu

Ingin bicara panjang lebar padamu segera tentang kepenatanku

Menguapkan kelelahan yang mendidih di diriku

Menangis di depanmu sepuasku

Tanpa kau harus berkata basa basi untuk menenangkanku

Aku mau bercerita semuanya, segera!!

Aku mau tahu ketidaksempurnaanmu dan sisi tergelapmu

Aku mau mencoba mengerti

Karena sepertinya tak ada lagi yang sepertimu

Tak ada yang bisa membuatku merasa tenang dan punya orang yang sama-sama peduli tentang yang terjadi

Kau buat aku menemukan diriku yang hilang

Kau buat aku menemukan tempat mencintai diriku lebih dalam

Kau begitu samar tapi kau begitu kuat



MEMBACAMU (II)


Sial! Sial! Sial! Sial kamu!!


Salah! Salah! Salah! Salah aku!!


Aku salah menilaimu yang sialan itu!!


Tak ubahnya penggila materi!! Tak ubahnya penggila kepicikan ternyata!!


Ah, aku salah! Ah, kamu sial!!


Sesial-sialnya kamu, aku sakit juga di awal salah itu.


Bagaimana sedihnya merindukan sosok yang abstrak sama sekali.


Sosok yang kau bentuk sedemikian rupa yang terpatri di otakku.


Kau yang bercahaya itu tak pernah ada.


Kau hanya membara, tapi tak bercahaya.


Kau hanya panas, tapi tak bercahaya.


Kau hanya membakar, tapi tak bercahaya.


Sakit, merindukan cahaya yang tak pernah ada.


Kadang lebih baik merindukan cahaya yang jauh tapi menyinari dibanding merindukan bara yang rapuh tapi melukai tanganku.


Kadang.


Aku pun sudah muak dengan kadang.


Sial!!



Kosong

Sudah. Sudah terlalu berisik.

Juga sudah terlalu lelah aku menari.

Sudah banyak aku tertawa.

Tapi ada yang tetap kosong.

Satu ruang di hati itu masih tetap kosong.

Kekosongan macam apa ini?

Aku mau keluar, tapi tak bisa.

Aku mau mengisinya, tapi tak kuasa.


Sudah serak aku bernyanyi

Terlalu banyak lagu mengitari dan tak ada yang mencukupiku.

Semuanya mewakili harapanku, tapi tak ada yang sedang terjadi padaku.

Aku tetap merasa berantakan.

Berantakan dan kosong.

Kekosongan macam apa ini?

Berjuta melodi yang kucipta tak dapat menambalnya.


Ah, apalagi air mata.

Sampai bosan aku keluarkan dia.

Kupikir bisa menyembuhkan kekosongan.

Tidak bisa juga.

Kekosongan macam apa ini?

Banjir air mata tak juga menghanyutkannya pergi.


Akhirnya aku diam.

Aku lelah mengusirnya.

Lelah. Sampai lelah aku berkutat dengan kosong…

Apa maunya si kosong?

Berjuta kata telah kugunakan untuk menggambarkannya.

Beragam pikir telah menawarkan analisanya.

Tak kumengerti. Tetap tak kumengerti.



Rabu, 26 November 2008

narasi buat mila dan siwi!!

She sat beside her bed, touching her head. Dizziness made her closing her eyes. That was not the first time she felt dizzy as strong as that morning. She tried to stand up by holding on her bed. She had to go to Huntingfold. The class began at 7.30 that morning.

Suddenly the dizziness she had felt was gone. She thought she must have done medical check up this week. Some friends scared her by saying the dizziness could be one indication of brain cancer.

Less than fifteen minutes she had been sitting in the back of one of the room in Huntingfold campus, starting a new day, maybe a new beauty or another new tragedy. She was sitting in the back, reading Dan Brown’s book.

The lecturer came to class. She stopped to read and closed her book. She was in Biology Program in Huntingfold. The lecturer had explained about something, but Xiara couldn’t concentrate. She looked at someone in the front seat. Zack cut her hair, and he looked different, more charming. Xiara didn’t realize that the lecturer had come to her.

“So, Miss Xiara, what is the neufron which has function to filter?” the lecturer asked her. Xiara woke up from her fancy. She didn’t know the answer. She didn’t read anything tonight except her novel.

Corpuscula!”

Corpuscula!” a voice in her mind tell her the answer, but Xiara was not sure enough.

“Corpuscula?” she answered doubtfully.

“Right!” the lecturer answered. Xiara was shocked. She even never memorized that word.

“Actually, in your opinion, of course, based on theory, what is the function of neufron?” the lecturer asked her again. Xiara didn’t think she could answer that if the voice in her head didn’t appear again.

“As a regulator of water and filtered substance by filtering the blood, then reabsorb liquid and molecule which is still needed by the body,” she spoke what her mind said although she added and reduced some words.

“Great!” the lecturer finally said. Xiara was confused. She didn’t know what came to her mind. She felt like an oracle. She was amazed by herself and smiled. She could guess a very specific answer of her lecturer whereas she didn’t memorize anything last night. She tried to focus then she could get what she wanted to know easily. She thought that just happened by accident. While she was smiling at her self, she looked at someone who is sitting in the front seat. Zack was smiling at her. Xiara was confused. She finally smiled at Zack clumsily.

“He is cute, isn’t he?” Layla who had been sitting beside her during class suddenly asked her that question.

“What? Who? ” Xiara was clumsy again.

“Don’t pretend. Zack! Who else? ” Layla tempted her.

“O, Zack?? Well, I don’t really know him anyway,” Xiara seemed to pay attention to the lecturer.

“You don’t have to know him to say that he’s cute!” Layla tempted again but Xiara was pretending that she didn’t hear Layla.

A hundred minutes later, the class was over. Xiara looked very busy when she was tiding her stuff up. There was only her and Zack who’s left in the class. She didn’t want to be in the class any longer with him. She never talked to him whereas they had been in the same classes for three months. She always felt awkward every time she met him. Zack was popular and she knew how popular students acted. She really hated their superior actions. What was the point of being popular? She often thought.

She never believed many girls who said that Zack was different and nice and polite and sweet, etc., etc. Of course they said like that. They were crazy about Zack.

But Xiara did know that Zack was a smart guy and he had his style because they were often in the same class. Xiara just had never known Zack personally.

She was hurrying to go out of the class when somebody called him.

“You dropped your pen, Miss,” Zack was talking when she looked back to the class. Xiara had to admit no matter how bad she knew Zack, he was really sweet.

“Oh, thank you,” Xiara smiled whatever there was and walked out of the class, left Zack alone in the class.

“You look very busy, Miss,” Zack was walking faster so that he could walk beside Xiara. Xiara smiled and didn’t answer anything. She felt awkward when Zack was closer.

“Do you want to go home now?” Zack asked her again. Xiara nodded again.

“Are you really busy?” Zack asked again.

What did he really want? She was confused. She never thought that she had a business with this guy and she didn’t want to.

“Oh, I don’t think so. I just…um…um…,”Xiara lost her words but she kept walking fast. Zack kept walking beside her like Xiara was the princess and he was the body guard.

Xiara suddenly stopped and looked at Zack.

“What do you want?” she said coldly.

“I just….um…um…,” Zack was stumbled after that. “I just want to have lunch with you. Would you mind?” Zack looked very panic like Xiara wanted to eat him or something.

Xiara was surprised. First, she never thought that she would have stopped and acted as cold as that to Zack. She never acted like that even though she really hated a person. She didn’t understand why she could be that sensitive. Second, she never thought that Zack could have been stumbled just because of her action and put his most panic face like that. And third, Zack wanted to have lunch with her?

Zack smiled nervously. Xiara didn’t know what comes to her mind but Zack looked sweeter when he was nervous.

“Well, it’s okay if you can’t. Um…I am sorry that I waste your time,” Zack said again. Xiara didn’t say anything. Zack was really funny with that face and he didn’t seem lie about his expressions. She laughed up her sleeve at Zack. They had looked each other for some seconds. Zack smiled again but he didn’t look nervous any more.

“Actually, I just want to be your friend, Xiara,” Zack spoke again even though Xiara hadn’t been said anything except,” What do you want?” and waited for Zack’s next sentences.

Xiara couldn’t restrain her smile. She was embarrassed. Zack was totally natural. She started to believe that the girls didn’t lie about Zack.

“I thought we had been friend, Mr. Zack. We had been in the same classes,” Xiara answered him. Zack smiled to her.

“I mean closer,” Zack responded.

“That was brilliant answer, anyway,” Zack spoke again. Xiara was confused but then she remembered about the miracle that had just happened in the class.

“Oh, I don’t know, I just tell what I thought. Hey, I have to go home now, Zack. See you,” Xiara had nothing to say any more but she actually expected Zack would mind if she had left him.

And he did.

“Hey, do you have to kill somebody or what??” Zack tried to arrest her.

“Have you heard about Christmas Party in Damon’s house?” Zack started to walk and Xiara also walked beside Zack reflectively.

“Yes, but I don’t know him well. So, I don’t think I’d go there.”

“He’s my close friend actually. Would you mind if we go there together?”

Xiara was surprised. She couldn’t speak. Ten minutes ago she still thought that Zack was evil but he looked totally different now. It was just too fast to say “yes” anyway.

“Why do you always give away from me? Did I ever hurt you or…,” Zack looked so desperate.

“No, not at all. But…,” Xiara really didn’t know what to say. She shouldn’t have had negative thought about somebody while she didn’t know him well, but she didn’t want to trust somebody that fast. Now Xiara wished she could have been able to read Zack’s mind to know if he was honest or not.

Suddenly Xiara got dizziness again. It was like there was someone whispered in his head,” I really want to know you but you are so difficult. Do you believe that I am popular like what they said? I even don’t have any girlfriend! I never have had, anyway!

“Are you okay?” Zack asked her while she touched her head.

Now the dizziness she felt has gone. The voice came to her just like the voice she heard in the class. She was confused about the voice she heard but she thought that was Zack’s mind.

“Don’t tell me that you never have had any girl friend since you were born in this world!!” Xiara spoke about what she heard directly. Zack was surprised.

“How do you know that?”

“Um… from my friend, I think,” she lied.

Zack smiled,” Unfortunately, yes!!”

“How come? I think you are… ,e….,” Xiara wanted to say that you were charming and smart but she didn’t want to be looked like another girls who were crazy about him.

Zack seemed waiting for Xiara’s sentence.

“You are admired by many girls. Don’t you know how crazy they are about you?”

“Well, maybe I don’t really understand how crazy they are about me and I don’t really care. Anyway, I don’t want to talk about them further,” Zack laughed. They didn’t say anything for seconds. They were really clumsy.

“I’m waiting,” Zack suddenly spoke. Xiara’s face showed that she didn’t understand what Zack mean by “waiting”.

“Christmas party?” Zack reminded her again.

“Oh, eh… Why not?” Xiara answered him.

“That’s great!” Zack smiled to Xiara and she felt she got dizziness again. But the dizziness that time was caused by her heart which beat suddenly fast when she wasn’t purposely look at Zack’s eyes. Maybe Zack was really different.


Selasa, 11 November 2008

Waktu Gue Lagi Capek

Arrrrghhhh!!!!!

Capek yah??

Iyah..

Capek gak??

Ya iyalah..

Sumpe lo??

Sumpe gue capek banget..

Hahaha...

Siapa juga yang peduli..

Hahaha...

Gila ironis banget sih lo!

Ngetawain diri sendiri lo??

Humm..

Kadang...

Daripada gak ada yang peduli, mending peduliin diri lo sendiri deh..

Iya juga ya??

Ya udah, pulang dulu yah??

Masih capek??

Masih, sih.. tapi ya udahlah mau gimana lagi??

Good luck ya??!!

Yupz!!

Rabu, 05 November 2008

When the dreams are not covering me anymore..
And the light is almost off..
While the wind is blowing faster..
And the rain is rushing..
What else should I do??

I am trying to hold on..
Hold on this faith..
Expect for some miracles in this dark night.

I never know that I am that strong in Your Eyes
To accept it all
There's a moment when it is not that hard
There's a moment when it is so waste my energy


Only hope that still make me stand
It is getting colder
I can only hope

Kamis, 30 Oktober 2008

Misterious Object??

Many people can be famous because of it, but there are also many ordinary people touch it. It doesn’t smelly. It is not functional if you stare at it, but when you stare at it in the right hand, they can be really cool. Its beauty is actually not in its shape, but in its sound. Peculiarly, many girls are considered good if they look like it in some part of their body. It is not flat in some parts. Many people can create great inventions from it. Its beauty is depended on who handles it. Sometimes it loves electricity, sometimes it doesn’t need it. It can be colorful. It can be used when you full fill its part with six almost same things. It has to have a place for air circulation. Their length is never longer than two meters.


Kamis, 16 Oktober 2008

WHEN I DON'T KNOW WHERE TO GO, MY BOARDING ROOM WILL FIND ME









This place see me cry, see me laugh, see my deepest pain, and my highest dream, but it never say anything. It only gives me protection from the hot day and from the heavy rain. It only gives me a privacy when I sometimes want to hide from the world. Hide to sleep, hide to wake up strongly after I fall, hide to drown my self in many books and copy texts to face tomorrow 's examinations.

It's not wide. Only 2x3 meters square. This room faces to north. When you look into the room, you will notice some messes there. Some, OK? I always try to make it tidier, but it seems to me that my room converse me. Hehe... So it's not really tidy.

I skirts some photo in the west wall of my room in random. I put them in the up of a small table. I put a mirror, a small box to put my accessory, and make-up stuff in that small table. There are also a laptop, a cupboard, and a box (actually the box is used to cover electronic stuff) which change its function into a clothes basket in the south. In the cupboard, beside I put all of my clothes, I also put every unimportant thing such as second boxes, and other second stuff there. Then, again, my cupboard is not that tidy.

The color of the door of my room is light blue. This color is matching with the color of the wall inside. But actually the west and south wall is covered by white porcelain. There is a window in the north wall. The window is covered by also blue curtain. So, all are blue? Blue is not my favorite color. The owner of my boarding room who arrange it. Beside, my favorite color is black and it is pretty impossible to paint them all in black.

In the west you'll find a door to a bathroom. My bathroom is also really narrow, so I have to be able to put bath stuff correctly. I have to buy new toothbrush twice because both fell to the toilet. Iuhhh.... So sorry to say that. When my friends come to my boarding room, they often ask," So you wash your clothes there?" Yes, I answer directly. "With a little hardworking."

Well, so where should I sleep? Because I don't say something related to bed. Don't worry, I don't sleep on the cupboard. I have a wind mattress which is really flexible. I can lay it down and sit it up every time I want.

First time I came to this room, I'd felt comfort with it. I saw hope and independence. It has been the first time I live far from my family since August, 8th 2008. The situation around is really quite so I can study well every time I want. My friends often come there and do many activities. Sometimes we sing and play guitar, they also often do their homework there, and mess my room up. They always say," How mess is your room." But they also always be the part of the mess. My room always gives me comfort. When I come home tiredly, I can always sleep. I do many things in my room, like writing, singing, playing music, studying, even crying as long as I want. I think I will be homely there for a pretty long time.

Sabtu, 11 Oktober 2008

AN EXTRAORDINARY WOMAN


"Ibu..," that's what I call her. When I was young the only thing I knew were she cooked for me, she was angry every time I went home dirty, she taught me how to read words, and she made me feel comfort when she was around me. That's why I always cried every time she left me while she went to somewhere out of the town.


Actually I don't know exactly her appearance now because I haven't met her for almost three months. But, the exact thing is she doesn't look like me at all. So, every time I walk beside her people won't think that I am her daughter. They always and always ask,"Is she your daughter??" Hiks... But don't worry. I look like my father. So you don't need to doubt about where I belong. She is taller than me and she had white skin. Aha!! Start get the difference between us?? She has curly, pretty long, black hair. She is not fat and she is not thin (anymore). She was really thin when she was young. I have her teen photo. It was totally different with my shape. I know that... I've told you that my physhical appearance just like my father.


Even though we are different from what your eyes can see, but most of our characteristics are same. We are very sensitive, have low confidence but high panic, think and think and think again before make even unimportant decision, and we also really like to read book and write. And also she likes rock music just like me. When she pregnant me, beside read books, she heard God Bless, Ikang Fauzi, The Beatles, and other rock band rather than heard Mozard or something. When I still lived home with her she also heard my favorite punk rock bands like Green Day, Blink 182, etc. Don't worry... My mom doesn't wear rocker stuff like what you could imagine. She wears what mother wears. Hehe...


Many things I could learn from her since I was baby, maybe even since I was pregnant. She sacrifices for family, for me and my brother. She is a teacher of Elementary School and she is a great mother also. She is very emphatic but also full of love. She wakes up early and goes to sleep lately. I am very sad every time I saw her tired. Sometimes I helped her to cook, correct her students' tests, but her favorite help from me is my massage. She said I am a good massager. But I don't think I will open massage business. Hehe... I prefer to be a teacher or writer or rocker or lecturer, but not massager. She would make me a glass of milk or juice if she knew I would have tests next day. I often got stress when test days come, but her care always made me feel better. I always felt I was home when I was home. She is a panic person. She couldn't do anything except standing in front of the door and calling me when I went home late.


Now, her daugther isn't home. She is far from her and trying to fight with this cruel world. I know she actually worries about me, but she fights with her feeling to let me be independent, adult, and better person.

Rabu, 08 Oktober 2008

SeLaMAt DaTanG LaGI MalaM.....

Tenggelamkan aku dalam lautan tawar

Supaya larut semua pedihku


Cahaya yang kucari kelihatan begitu nyata

Tapi bukan lilin yang selama ini kucari untuk menjagaku saat malam atau saat matahari meredup entah karena apa


Cahaya yang datang itu tetap saja matahari yang biasanya

Nyata kurasakan tapi begitu jauh tak tersentuh

Yang sewaktu-waktu bisa membakarku saat aku terbang terlalu tinggi

Yang meninggalkanku dalam dingin saat hari tak lagi siang


Kadang tak mengapa

Kadang aku baik-baik saja meski matahari tak setia

Kadang matahariku cukup menghangatkanku dan memberiku daya untuk menghadapi gelap

Gelap yang sebenarnya sudah akrab denganku dan sering membuatku tertawa ironis


Sekarang aku ditinggalkan lagi dalam malam

Hanya kunang-kunang pengharapan yang ada beterbangan datang dan pergi


Aku sakau akan matahari semuku

Tapi tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menunggu dalam kekakuan akibat lelahku

Lelah berlari di hutan yang tak tahu dimana ujungngnya

Lelah menduga apa yang ada di balik tikungan selanjutnya

Lelah mengetahui bahwa tak ada lilin yang kucari dibalik tikungan gelap


Bukan matahari yang megah tapi semu yang kumau

Hanya lilin yang bisa membawaku keluar dari labirin yang kosong dan berliku

Lilin yang mungkin akan membakar dirinya sampai tak bersisa

Yang mungkin akan binasa seperti halnya aku akan lenyap


Sudah aku nikmati dulu sajalah apa yang kupunya

Mungkin baru saat di ujung jalan menuju jalan selanjutnya aku bisa paham mengapa terlalu banyak matahari semu

Siapa tahu nanti akhirnya bukanlah lilin yang kubutuhkan

Selamat datang lagi, malam...