Di kamar kos gue ada sebuah lemari rakitan (tahu nggak sih lemari yang mesti kita rakit dulu kerangkanya trus abis itu baru diselimuti dengan kain berbahan parasut berbagai warna). Lemari itu norak banget sebenernya. Tapi karena ibunda tercinta menyarankan untuk membeli lemari macam begitu, ya sudahlah. Anak patuh emang sulit melanggar naluri kealimannya (mau muntah dulu nggak papa..).
Waktu beli gue udah rada ragu karena mas-mas yang jaga toko tak membiarkan kami ngecek dahulu kondisi dan kedaan lemari yang sesungguhnya.
“Nggak usah dilihat-lihat lagi, Dek! Dijamin bagus kok!”
Ya sudah, karena gue nggak mau nambah dosa dengan curiga berlebihan akhirnya gue percaya-percaya aja sama Mas-mas yang ternyata berdusta itu. Nggak tahulah ya, antara berdusta dan males ngebongkar-bongkar, yang jelas Mas itu udah merugikan pelanggan.
Maka pada tanggal 8 Agustus dimana itulah hari pertama bin perdana gue mendiami kamar kos baru, gue memohon pertolongan sahabat-sahabat gue untuk merakit lemari yang gue nggak yakin bisa ngerjain sendiri itu.
Begitu gue buka kardus penyimpanan kerangka lemari itu, kuciwolah gue karena ternyata beneran bahwa warna yang gue minta nggak sesuai sama apa yang gue dapetin. Gue tuh mesen lemari dengan kain yang gambar ranting-ranting pohon, tapi apa yang gue dapat? Motifnya bunga-bunga klasik, pink lagi! Norak bin jadul lah pokoknya. Merusak reputasi punkers gue aja. Masa punkers lemarinya bermotif bunga-bunga pink sih? Yang bener aja. Karena gue pikir nggak ada gunanya menggerutu dan gue males juga komplain ke toko yang jauh buanget, gue coba untuk tabah.
Besi-besi penyusun kerangka berkelontangan begitu Arnol membuka kardus penyimpanannya. Kayaknya dia semangat banget ngerakit lemari itu. Saat gue sedang sibuk membaca kertas petunjuk merakit (Toro nyebutnya itu “foto”. Padahal jelas-jelas kertasnya burem dengan gambar item putih. Nggak ngerti kertas bulukan itu bisa disebut “foto” dari sisi mananya), Arnol udah masang-masang kerangkanya gitu. Begitu gue protes dan mengusulkan untuk mahamin rumus ngerakit baru bekerja (Pak Tumpal guru Kewarganegaraan gue selalu bilang untuk berpikir dulu baru bertindak), Arnol bilang: pake feeling aja. Gue baru lihat saat itulah calon anak Fakultas Pendidikan Fisika menggunakan feeling dalam praktiknya. Okehlah, gue biarkan dulu Arnol sibuk sambil gue tetep aja mengamati “foto” petunjuk merakit lemari dan berusaha memahami rumusnya bersama Ary (dia cewek anak Pend. Fisika juga dan untung dia nggak pake feeling juga dalam hal ini). Gue sebenernya rada nggak konsen mengamati foto akibat Arnol yang bekerja dengan berisik di deket gue. Setelah gue paham rumus merakit setengah-setengah, gue minta Arnol untuk memilah-milah besi-besi berdasarkan ukuran karena menurut gue hal ini akan mempermudah perakitan lemari. Tapi bukan Arnol kayaknya kalo nggak berantakan. Tuh besi-besi yang udah gue pisah-pisahin di campur lagi kayak gado-gado. (Makanan favoritnya Arnol gado-gado pa gimana? Besok tak tanyain lah. Hehehe...).
Setelah Arnold utek dan sibuk sendiri akhirnya Toro turun tangan. Petra yang memandangi sejak tadi juga ikut turun tangan. Gue yang sedari tadi “mikir” akhirnya juga ikut ngerakit. Udah dilepas, dipasang, dilepas lagi, dipasang lagi, dilempar, dinyanyiin lagu “Pinang Muda” (Tahu kan lagu daerah yang judulnya “Pinang Muda”. Tiap kali kita ngelakuin kesalahan, kita selalu nyanyi: “Pinang muda...pinang muda... dibelah dua... . Apa coba hubungan Pinang Muda sama lemari??? Nggak ngerti gue), dipasang lagi. Akhirnya kerangka lemarinya jadi juga. Horeey!! Kita bersorak kegirangan.
Tapi, kayaknya ada yang kurang ya? La iya.... Kainnya belum dipasang. Maka kita mencoba menyelimutkan kain norak bin ajaib tadi ke kerangka besi itu. Pertama-tama, kami mencoba memasukkan lewat atas. Lho, kok nggak bisa? Ya udah, lewat bawah... . Nggak bisa juga. Maka sepertinya kerangka lemari itu harus dibongkar lagi. Huhuhuhuhu..... Bener-bener nggak ada cara lain lagi selain dibongkar kerangkanya. Dasar kain norak! Udah norak bikin masalah lagi! Setelah kita membongkar kerangka kemudian menyelimutkan kain itu menutupi kerangka secara perlahan, ternyata kain itu.... terbalik! Maka kita bongkar lagi lemari itu, dan sekarang kainnya.... kekecilan!!! Bener-bener deh, Mas yang jualan lemari itu nggak bener kerjanya. Bayangkanlah Mas.... betapa lelah kami ngerjain lemari yang norak ini beramai-ramai. Udah capek, keringetan, stress, haus, tapi nggak tahu kenapa gue ketawa terus selama lemari itu dikerjakan. Habis ekspresi kita pada aneh-aneh sih selama ngerakit lemari. Nggak bisa gue ungkapin dengan kata-kata. Lo harus di sana untuk bisa ketawa. Tampang temen-temen gue tuh yang serius banget gitu ngerjain lemari konyol itu. Hah!
Karena gue pikir tuh kain penutup kerangka amatlah norak dan menjengkelkan, gue caci makilah itu kain sepanjangan.
“Ya udahlah, Fa, nggak usah pake kain norak itu. Lemarinya gini aja. Kerangkanya doang!” Toro memberi saran. Gue berpikir sejenak.
“Iya ya, Tor? Bener juga. Kan kalo punkers ato rocker suka serba-serba gothic gitu. Apa-apa tengkorak. Sekalian aja ya lemariku kerangkanya doang? Biar keren!” gue menjawab. Emang dodol sekali sebenernya ide itu. Tapi ya, bener juga. Kita akhirnya memasang lagi dari awal lemari yang sebenernya udah jadi tadi tapi kemudian dibongkar lagi itu.
Setelah kita istirahat sambil minum es jeruk, kita pandangilah kerangka lemari itu sambil tersenyum-senyum. Nggak tahulah senyum itu indikasi bangga akan hasil kerja kita atau jengkel. Setengah-setengah, mungkin. Dan gue tetep memandangi kain norak yang rencananya akan gue buang itu. Apa lagi yang bisa dilakukan kain norak itu selain nutup kerangka lemari??
“Kita gunting aja dasar kainnya, jadi nggak papa deh kerangka lemarinya menyembul keluar!” gue lupa Petra atau Arnold yang punya ide itu. Yang jelas kita bertiga yang akhirnya menggunting bagian dasar kain aneh itu. Lalu kemudian, dengan perlahan kita nutupin lamari denga kain norak itu.
Tak berapa lama, jadilah sudah lemari perjuangan itu. Kita kemudian kembai memandangi lemari aneh itu dengan geli.
Malem pas mau tidur, gue nyengir-nyengir sendiri mandangin lemari itu. Kalo nggak inget gimana ngerjainnya, mungkin gue juga males mejeng tuh lemari di kamar. Lemari oh lemari...