Sebuah persimpangan yang sudah kita ketahui sejak lama.
Kita tak mundur.
Tidak juga maju.
Setelah berulang kali pergi.
Kita kembali pulang ke sini.
Aku pergi hampir jauh.
Kau memanggil.
Aku menangis dan pulang.
Pulang pada kenangan.
Pulang karena ketakutan.
Masihkah kau bentengku?
Kenapa aku selalu sendirian?
Kenapa kau biarkan panah-panah menghujamiku dari segala medan?
Kenapa kau menikam dengan masa lalu, dengan masa kinimu, dengan senyum?
Kenapa dengan sayap-sayapmu yang menggoresi ilusiku?
Aku tidak mendapatkan kenyataan apapun dengan itu.
Kau ingin terbang? Terbanglah. Aku akan pergi.
Kenapa kau masih memanggil?
Kenapa aku masih menangis dan pulang?
Pulang pada kenangan yang sudah tidur di lampau.
Tak akan bangun lagi hanya karena kau memanggil atau aku menangis.
Kenangan yang terlalu takut muncul karena cerita-ceritamu tentang dewi-dewi.
Kenangan itu terlalu mengantuk karena amarahku yang mendayu.
Masihkan aku bentengmu?
Jika tidak, apa yang kau lakukan di sini?
Aku mendengarkanmu bercerita tentang terbang.
Tapi aku tak pernah mengenalmu.
Aku berusaha memahami langit walau lelah.
Apakah kau pernah berusaha mendengarkan melodiku?
Kau tak pernah mengenalku.
Kenapa kau tak pernah mencoba memahami nada-nada?
Bukankah kau masih di sini?
Bukankah kau masih bercerita?
Kita berilusi.
Tapi aku tak pernah mengusik ilusimu.
Kau tetap berilusi melodiku baik-baik saja.
Kau bahkan tak mendengar…
Dan ilusiku sudah luka tergores sayap-sayap.
Hari itu aku menunggu.
Kau tidak memanggil.
Tapi aku menangis dan pulang.
Mengkhawatirkanmu. Mengkhawatirkanku. Mengkhawatirkan detik yang bahkan belum berdetak.
Aku memanggil.
Ternyata hanya untuk menyaksikan punggungmu yang menjauh.
Tidak ada isyarat.
Hanya ada tanya dari hari kemarin yang belum juga terjawab.
Tidak ada selamat tinggal.
Hanya ada tanya dari hari kemarin dan hari ini.
Aku lelah membenahi kenangan yang sudah hancur itu sendirian.
Tak dapatkah kau membantuku meletakkan arti pada sebingkai kenangan yang sudah remuk?
Tak dapatkah kita pergi dengan kata-kata?
“Ya” katamu. “Kita sudah lama pergi.”
Ah, kenapa kau selalu lupa?
Kenapa kau lupa kau pernah memanggil?
Kenapa kau lupa kau pernah kembali?
Apakah kau juga lupa pada kenangan yang sudah lama tidur?
Apakah semua harus bermuara pada ilusimu?
Kenapa kau selalu abai?
Aku berhenti memperbaiki ilusi yang selalu rusak oleh sayap-sayapmu.
Aku pergi membawa sebingkai kenangan yang remuk dan setangkai arti yang tak tahu harus kuletakkan dimana.