1 Februari 09
Natas Mulai Berdiskusi
31 Januari 09
Ini adalah minggu ke empat dimana anak2 pers mahasiswa Natas berkumpul. Tanpa kesepakatan resmi, berdasarkan kebutuhan mendapat teman bicara pada malam minggu maka anak2 Natas berkumpul tiap minggunya. Kadang nonton, kadang diskusi, kadang nonton diselingi diskusi.
Tiga minggu kemarin aku merasa puas dengan pertemuan kami. Aku mendapat banyak hal yang berguna selain daripada hiburan. Entah kenapa baru sekarang berniat kutulis apa yang kami bicarakan dalam diskusi ini. Banyak, teramat banyak kekonyolan dan ilmu yang sepertinya sayang dibuang begitu saja, sayang jika kusimpan seadanya di salah satu folder otakku, sayang jika tak kutuang dalam tulisan. Maka dari itu kusempatkan waktu ini untuk menuliskan apa2 yang kemarin malam terjadi.
Teman-teman Natas, perkenankan aku menulis percakapan kita semalam, sebelum hilang perlahan kenangan itu dari ingatan. Mungkin tulisan berikut akan sangat subjektif, jadi maafkanlah jika tak sesuai dengan keinginan masing-masing orang. Dan tiada maksud menjatuhkan atau menyakiti dengan tulisan ini, jika sekiranya ada yang tak berkenan, maafkanlah.
Malam itu tak biasa, Mbak Lisis, tetua Natas tak bisa hadir: sakit gigi. Penyakit yang membuat anak-anak Natas terheran-heran. Penyakit yang agak aneh jika dipasangkan dengan Mbak Lisis yang “wonder woman”. Wonder woman kan harusnya juga punya wonder teeth (hehehe).
Ngeban: Tempat yang biasa kami singgahi telah diambil orang. Salah kami pula datang terlambat, kami akhirnya mendapat tempat di pinggir sungai, tempat yang tak beratap. Bambu utuh yang diraparkan jadi alas duduk, tak rata. Sesekali angin berhembus, berkolaborasi bersama langit mendung dan gemericik sungai, menciptakan suasanan lembap.
Tidak biasanya kami tidak nonton, tidak ada laptop. Mbak Lisis yang biasa bawa laptop kan tidak datang. Diskusi saja malam itu.
Diskusi diawali pertanyaan : wajarkah bekerja untuk mencari keuntungan (lebih spesifik: uang) itu? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kami sepakat dahulu tentang definisi keuntungan. Keuntungan adalah kelebihan dari titik minimum. Titik minimum terpenuhi jika kebutuhan terpenuhi. Jadi jika kebutuhan dasar telah terpenuhi dan kemudian ada sisa, maka sisa atau kelebihan itu disebut keuntungan. Jawaban beragam dari anak Natas terbagi menjadi dua kubu: wajar dan tidak wajar. Mas Ian, Mas Moris, dan Richie menganggap wajar, sementara aku, Bayu, Sita dan Mas Al berkata tidak wajar. Selesai itu, Mas Al menjelaskan sejarah panjang manusia dan sistem produksinya. Ia jadi terlihat seperti guru yang mengajar sejarah kemarin itu. Aku jadi ngantuk, tapi aku tetap memaksakan mata. Ngantuk ini masih terkalahkan oleh ingin tahu. Pembicaraan akhirnya jadi monopoli Mas Al, Mas Ian, dan Mas Vinco (tiba-tiba hadir). Mendebatkan sejarah sejak zaman purba, lalu terbentuknya suku-suku, lalu terbentuknya birokrasi, lalu terbentuknya kerajaan, lalu spesialisasi, lalu invasi, lalu penjajahan, lalu revolusi, ah, aku jadi tambah pusing. Tak ikut bicara, agak berat: sejarah. Aku makin ngantuk, tapi masih ingin tahu juga. Mie instan pesanan datang juga. Kuisi perut disela-sela perdebatan dedengkot Natas. Pembahasan sejarah itu pun berputar-putar, sebentar maju ke revolusi, lalu mundur lagi ke zaman purba, lalu ke kerajaan, lalu ke masa sekarang. Mungkin karena nasi goreng pesanan para “Mas-Mas” belum datang, mereka pun “jeleh” membahas sejarah sistem produksi yang luas sekali. Entah “jeleh” karena pembicaraan berputar-putar atau “lapar” karena nasi goreng pesanan tak juga datang. Pelajaran sejarahku di SMA yang membahas perkembangan pers sejak penjajahan-sekarang saja perlu waktu berminggu-minggu, apalagi sistem produksi dari zaman purba hingga zaman sekarang.
Biksu Bisa Atasi Wabah Kelaparan
Akhirnya saudara-saudara, diakhiri juga perbincangan dengan tema sistem produksi ini. Kami mulai bicara sendiri-sendiri, dengan tema yang lebih ringan, walau tetap “muter-muter”. Wabah “kelaparan” yang melanda Natas akibat nasi goreng tak kunjung datang membuat Richie teringat akan artikel yang baru dibacanya: seorang pendeta di India yang tak makan 36 tahun lamanya dan tetap hidup. Pendeta meyakini bahwa “makan” hanyalah pembiasan. Artinya tak makan pun manusia masih bisa tetap hidup. Ah, sepertinya mustahil.
Mas Ian tapi akhirnya memberi bukti lewat biksu. Biksu terbiasa bertapa tanpa makan apapun, udara saja. Di udara ada sari-sari makanan.
Kalau begitu kenapa biksu-biksu tak ke Afrika saja? Ajarilah orang-orang di sana cara bertapa, biar tak ada yang mati kelaparan. Makan dari udara saja toh sudah cukup?
Tunggu dulu, kalaupun biksu benar-benar bisa mengatasi kelaparan, belum tentu biksu bisa ke Afrika dan memberi pengajaran cuma-cuma pada rakyat di Afrika. Nanti Afrika tak butuh “bantuan” lagi kan dari negara kaya? Hum...jangan-jangan dari dulu para biksu berniat begitu (ngajarin orang-orang di Afrika makan udara) tapi “dihalang-halangi”.
P.T Indonesia
Makin malam saja dan nasi goreng pesanan para “Mas Natas” belum datang-datang. Tak hanya perut yang mengerutuk, mulut Mas-Mas nya sudah protes.
Mas Moris membuka topik baru yang lebih spesifik lagi. Tak bisa disebut di sini, tapi ujung-ujungnya menjurus ke BHP. Karena sepertinya gerimis, kami memutuskan mencari tempat yang ada atapnya.
Aku yang tak punya TV ini hanya tahu BHP membuat pendidikan jadi barang jualan, tak tahu singkatannya, tak tahu pula kejelasan isi. Kemarin malam aku makin “ngeh” efek BHP untuk universitas negri maupun swasta. Nanti para mahasiswa membayar 30% saja dari biaya perkuliahan dan kampus akan menutupi 70% nya dengan berbisnis.
Ah, di era globalisasi begini, negara tak lagi berfungsi mensejahterakan rakyatnya, melainkan mencari keuntungan dari rakyatnya. Benar kiranya bahwa globalisasi hanya bisa dinikmati kapitalis. Lalu apa bedanya Indonesia sebelum dan sesudah 1945? Sama-sama dijajah. Tapi kelihatannya sebelum 1945 masih lebih baik. Pemimpin masih memihak rakyat.
Tibalah kami pada kepesimisan tentang “penjajahan modern” ini. Apa kiranya yang bisa menuntaskan “penjajahan” macam begini? Mas Al memaparkan sejarah lagi, bahwa penjajahan memang tak pernah selesai. Revolusi adalah mengubah “bentuk penjajahan”. Aku lupa berapa abad Mas Al memprediksi “penjajahan oleh kapitalis” ini berlangsung jika berkaca pada “penjajahan-penjajahan” bentuk lain di masa lampau.
Pemuda Zaman Penjajahan dan Zaman Sekarang (Sekarang Masih Penjajahan juga sih ya?)
Angin segar mematahkan pesimisme kami saat “aku lupa siapa yang bilang” mengingatkan kami akan presiden-presiden Amerika Latin dan Irak yang berani melawan penjajah. Dari situ kami berkaca ke tanah air tercinta. Siapa kiranya orang di negri ini yang berani memimpin negri sekaligus menantang penjajah, seberani Soekarno dan teman-temannya dahulu? Pahlawan, bukan usahawan. Bercanda Mas Vinco bilang, ya kita-kita ini. Aku jadi ingat buku Eko Prasetyo: Minggir Waktunya Gerakan Muda Memimpin!
Ya! Yang muda. Tapi yang muda pun banyak yang buta. Entah buta, entah dibutakan, entah membutakan diri, entah bisa melihat tapi dihalang-halangi.
Zaman sebelum kemerdekaan banyak orang muda yang memulai perlawanan, banyak yang cerdas, banyak yang berani. Mas Ian menimpali, ya memang yang ada hanya yang muda. Tapi bagaimana dengan pertentangan antara golongan muda dan golongan tua di sidang “aku lupa itu sidang apa”? Itu menunjukkan bahwa bukan “ya memang yang ada hanya yang muda”, tapi menunjukkan “yang tua ada tapi yang muda kuat”.
Mas Ian kembali bilang, tapi yang muda atau tua sama visinya: merdeka.
Ah, iya. Sekarang apa “yang tua” punya visi sama dengan yang muda? Yang satu mau sejahtera dan kompromis yang satu mau revolusi dan radikal. Melawan penjajah memang harus dengan “keradikalan”. Tapi yang radikal terus saja dibekap. Dibekap dan dibikin buta sekalian.
Buang Air Besar Kucing! Zaman Sekarang Masih Ada Orang yang Mati Karena Partai??
Akhirnya seorang pelayan datang. Sayangnya tidak membawa nasi goreng dan malah bertanya, “Apa ada pesanan yang belum diantar?”. Dengan tabah para pemesan nasi goreng berkata : nasi goreng, sejak tiga jam yang lalu.
Masnya hanya mesam-mesem dan menawarkan pesanan lain. Setelah berkompromi dengan Mas Pelayan kami lanjutkan diskusi kami.
Aku lupa kapan, oleh siapa, dan untuk alasan apa kata ini diucapkan,” Tai Kucing!”. Bisa jadi untuk buruknya pelayan di kafe atau kapitalisme. Tapi aku ingat Mas Vinco menimpali omongan “kotor” tersebut dengan,”Jangan gitu lah... Kalau ngomong yang halus dong.” Kami kira Mas Vinco akan melanjutkan kalimatnya layaknya ceramah ulama-ulama. Tapi meledaklah tawa saat omongan halus yang dimaksud Mas Vinco itu ternyata,” Jangan tai kucing, yang agak halus gitu : Buang air besar kucing!”
Pesimisme kami tumbuh lagi saat Mas Ian bilang,”Zaman sekarang gak kayak zaman dulu. Sekarang mana ada orang yang mau mati untuk negara? Mati karena partai?”
“Eh, ada lho!” omongan Mas Moris ini tentu membuat kami terkejut. Orang macam apa kiranya ini? Orang yang yang naif atau memang idealis? Partai apa lagi yang diperjuangkannya? Suapan macam apa kiranya yang diterima? Masuk surga gratis?
“Ada di Solo,” ujarnya lagi meyakinkan. Makin heranlah kami.
“Orang itu kesetrum pas lagi masang bendera partai!”
Tawa kami meledak lagi, para pemesan nasi goreng yang kelaparan sedikit terhibur.
“Sudah itu diselimuti pake bendera partai lagi!” Mas Moris melanjutkan sambil terkekeh-kekeh dan kami makin terkekeh-kekeh. Satir, entah tragedi mana yang kami tertawakan. Kematian yang konyol atau kenyataan bahwa tak ada yang benar-benar mati “karena partai”.
Pesanan nasi goreng pun datang. Kami makan sambil terus bercerita. Sampai akhirnya malam memaksa kami pulang.