Judul Buku : Minggir - Waktunya Gerakan Muda Memimpin !
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Tebal : VI + 265 halaman
Cetakan Pertama : Mei 2008
Tulisan ini dimuat di Djudjugan (Edisi Khusus Natas Hot News). Versi ini adalah versi yang tidak diedit oleh Divisi Keredaksian NHN
Dalam pelajaran sejarah di sekolah menengah, masa sebelum 1945 dianggap sebagai masa suram karena bangsa Indonesia dianggap belum merdeka secara de facto pun de yure . Sejak tahun 1600 hingga 1800, perdagangan Indonesia dimonopoli VOC; 1830 hingga 1870 bangsa kita dijajah lewat tanam paksa; dan pada 1870 hingga 1945, kapitalisme liberal berkuasa. Namun setelah 1945, sudahkah bangsa kita sepenuhnya merdeka? Jika kita mencoba membuka mata dan jujur, keadaan bangsa kini tidak lebih baik dibanding masa sebelum 1945. Kemiskinan membuat akses pendidikan dan kesehatan, bahkan kebutuhan dasar sandang-pangan-papan bagi sebagian besar orang Indonesia tak terpenuhi. Tenaga kerja Indonesia yang merantau di negeri orang untuk bangun dari kemiskinan tak mendapat jaminan layak. Jangankan tenaga kerja yang merantau ke luar negeri, mereka yang mencari nafkah di negeri sendiri pun tak punya jaminan keadilan. Bencana alam maupun bencana akibat eksplorasi alam berlebihan, bergantian memberondong negeri. Dalam kondisi ini, korupsi masih mengakar, bahkan dicomot sebagai budaya baru. Pemuda yang sejak sebelum kemerdekaan menjadi mulut rakyat, makin lama makin rebah dalam kenyamanan semu.
Dalam bukunya yang berjudul “Minggir: Waktunya Gerakan Muda Memimpin” inilah, Eko Prasetyo memaparkan keprihatinan akan keadaan kaum muda jaman sekarang. Dalam kondisi tertindas macam sekarang, kaum muda justru terlelap dalam hegemoni-hegemoni budaya populer. Pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan, bangsa Indonesia memiliki banyak tokoh yang peduli akan nasib bangsa: Soekarno, Hatta, Semaoen, Natsir, Aidit, Tan Malaka, dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh inilah yang kian memudar di jaman ini. Padahal, penindasan belum berakhir. Idola para remaja bukan lagi mereka yang peduli akan nasib bangsa, melainkan wajah-wajah cantik dan tampan para pemain band, pemain film, pemain sinetron di layar kaca. Semangat dan hasrat kaum muda lebih sering dialokasikan kepada: bergaul untuk menjadi populer, entah itu lewat jalan bergabung dengan gang, berbelanja di mall, atau mengikuti kompetisi bakat. Bahkan mahasiswa, golongan pemuda yang sejak dulu dipercaya sebagai agen perubahan, tampak samar geraknya dalam menyikapi penindasan yang sedang terjadi. Mahasiswa tenggelam dalam tuntutan-tuntutan universitas untuk menyelesaikan studi, untuk kemudian menyumbangkan tenaga bagi kejayaan kapitalisme, raksasa yang sedang menindas bangsa Indonesia sendiri. Media dan pendidikan justru membentuk pemuda menjadi pribadi yang pragmatis; melihat segala sesuatunya dari segi manfaat. Apatisme (ketidakpedulian) pemuda akan persoalan-persoalan bangsa menjadi makin sejalan dengan kepentingan pasar global. Apatisme ini pula yang memberi ruang bagi para pejabat yang tak lagi muda berlaga di panggung politik. Kaum muda tak diberi kesempatan memimpin, juga tak bermasalah dengan dominasi itu. Lewat buku inilah Eko Prasetyo berusaha membangunkan pemuda dari tidur panjangnya. Bahwa kita masih dijajah, bahwa kaum muda punya banyak pilihan selain menjadi pragmatis, bahwa bangsa ini membutuhkan pemuda untuk perubahan.
Buku ini diawali dengan sebuah narasi yang menceritakan sebuah diskusi bertema “Gerakan Kaum Muda: Mendorong Tradisi Berpolitik yang Progresif”. Lewat narasi ini, Eko Prasetyo mencoba memberi gambaran tentang suasana diskusi publik pada umumnya. Tak hanya itu, dalam narasinya EKo Prasetyo secara eksplisit mengkritik diskusi publik yang hanya berujung resolusi di ranah ide, tanpa menghasilkan gebrakan pergerakan di tatanan praksis.
Semakin ke tengah, pembahasan yang dipaparkan Eko semakin membutuhkan konsentrasi. Bab “Ekonomi Pasar dan Gerakan Kaum Muda” menampilkan peta permasalahan sehubungan dengan ekonomi pasar dan posisi pemuda di dalamnya. Bab ini mengupas sejarah sejak sebelum kemerdekaan hingga kini. Sisi menarik dari pengupasan sejarah ini adalah sudut pandang yang diambil Eko. Meski sasaran buku ini adalah kaum muda, sejarah yang ditulis tidak berisi data-data kasar dan pro pemerintah seperti buku pelajaran sekolah menengah. Eko menyajikan sejarah dari sudut pandang kiri. Pembahasan tentang PKI, misalnya, menyoroti kejayaan PKI sebagai partai yang memihak rakyat dan berani melawan penguasa. Dengan jalan menentang pemilik tanah bersama petani dan mengambil alih perusahaan bersama kaum buruh, PKI mendapat massanya. Walaupun, pada akhirnya, partai ini harus mengalami kegagalan karena campur tangan serdadu dan aliansi, bahkan berakhir tragis dengan cara tak manusiawi. Berakhirnya PKI inilah yang dalam buku ini menjadi awal dari nama buruk ideologi kiri pada masa Orde Baru. Nama buruk ini yang kemudian memberi jalan bagi kapitalisme untuk melenggang dengan leluasa. Orde Baru membuka jalan bagi privatisasi perusahaan yang berakibat pada ekspoitasi SDA besar-besaran. Di kalangan terdidik pun kapitalisme menyusup dengan mudah. Mahasiswa mulai menjadi borjuis. Cendekiawan-cendekiawan justru menjadi pelayan bagi pembangunan ketimbang penggerak perubahan. Ideologi kiri makin terlupa. Kalau pun bergema, ia segera dibungkam dengan cara represif pun ideologis. Tekanan ini berakhir pada momen reformasi pada 1998. Namun kejatuhan Orde Baru tak membuat perubahan berarti. Ia justru memberi keleluasaan pada bentuk baru kapitalisme yang berkolaborasi dengan demokrasi: neoliberalisme. Pada masa inilah kita sekarang berada. Masa dimana kekuasaan adalah milik popularitas. Kaum reformis justru menjadi tak revolusioner dan membatasi reformasi itu sendiri pada kepentingan partai, golongan, dan pribadi. Negara tak berfungsi. Pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal yang diabaikan menjadi bukti. Kesenjangan adalah wajah yang dominan pasca reformasi. Dominasi perusahaan-perusahaan asing menyemai bibit kesenjangan itu. Pada keadaan demikian, kaum muda punya tugas penting. Selama ini pemuda membuktikan keampuhannya sebagai agen perubahan. Namun kepercayaan kaum muda mulai lenyap. Padahal tugas kaum mudalah untuk menyulut semangat kolektif yang pudar. Melalui buku ini, diharapkan warna-warna perjuangan kaum muda yang beraneka ragam dapat menjadi harmoni untuk menumbangkan politisi-politisi tua yang terus-terusan berkuasa.
Meski buku ini banyak bicara tentang tokoh-tokoh pergerakan Indonesia dan pandangan-pandangan mereka, bahasa yang digunakan tidak rumit atau sulit dipahami. Selepas dari Bab “Ekonomi Pasar dan Gerakan Kaum Muda”, Eko menggunakan bahasa populer yang sangat mudah dimengerti. Buku ini juga dibumbui dengan komik-komik segar, namun tetap kritis. Sindiran-sindiran pada kondisi bangsa yang memprihatinkan dikemas dalam ironi yang justru “memaksa” pembaca menyunggingkan senyum. Kemasan populer mulai dari sampul hingga bahasa pengantar dalam buku tak membuat buku ini kehilangan bobotnya. Ditulis dengan analitis, kita diajak membaca tulisan “selevel” karya ilmiah dengan bahasa yang mudah dicerna. Kutipan-kutipan provokatif dari tokoh-tokoh revolusioner pun disajikan di sela-selanya. Kutipan-kutipan yang masih relevan digunakan di jaman ini. Dalam bab “Berita dari Kawan Marco”, kaum muda diingatkan akan sejarah perjuangan Indonesia. Sejarah perjuangan inilah yang membuat kaum muda mesti malu jika diam saja saat penjajah dengan topeng baru menggerogoti Indonesia. Buku ini juga menyajikan tips-tips praktis untuk menjadi seorang revolusioner dengan cara-cara populer. Ditutup dengan pencitraan kuat Soekarno, Semaoen, dan Moh. Natsir; buku ini menyiratkan satu pesan utama: bahwa sudah saatnya kaum muda memimpin. Sorotan terhadap ketiga tokoh ini sebenarnya mewakili tiga ideologi yang dominan pada masa awal pembentukan negara Indonesia, yakni Nasakom (Nasionalis, Islam, dan Komunis). Soekarno mewakili kaum Nasionalis, Moh. Natsir mewakili Islam, dan Semaoen mewakili Komunis.
Penyajian buku dengan cara populer menjadi dua sisi mata pedang bagi buku ini. Di satu sisi, ia akan mudah mendapat “massa”. Di sisi lain, pembaca populer yang tidak siap hanya akan menangkap makna simbolik tanpa mengetahui esensi dan tujuan yang diinginkan penulis. Selain itu, banyak kata dalam buku ini yang terkesan emosional. Ini mencerminkan tujuan buku yang mengarah pada propaganda. Meskipun demikian, hal tersebut dapat diimbangi dengan banyaknya wacana dan rasionalisasi yang diberikan penulis. Walaupun, terdapat juga berbagai macam penggeneralisasian yang menuntut alasan logis.
Dari judulnya, sudah jelas bahwa buku ini ditujukan bagi kaum muda, terutama bagi kaum muda yang tertarik pada perubahan. Buat mereka, buku ini dapat dijadikan pintu awal menuju pintu-pintu wacana selanjutnya, karena buku ini membeberkan kutipan-kutipan dari penulis-penulis revolusioner. Jika Anda merasa masih terjajah dan ingin melakukan perubahan, buku ini dapat menjadi pijakan awal. Merefleksikan ungkapan Tan Malaka yang dikutip dalam buku ini, bahwa bangsa Indonesia harus merdeka 100%, sudahkah kita merdeka 100 %?
Rabu, 14 Juli 2010
Kalau Rakyat Australia dan Timor Leste ‘Bersuara’ Lewat Celah Artistik
gambar: primaironline.com
Judul Film: Balibo
Sutradara: Robert Connolly
Pemain : Roger East (Anthony Lapaglia); Jose Ramos Horta (Oscar Isaac); Brian Peters (Thomas Wright); Tony Stewart (Mark Leonard Winter); Gary Cunningham (Gyton Grantley); Greg Shackleton (Damon Gameau) ; Malcolm Rennie (Nathan Phillips); Juliana (Bea Viegas); Young Juliana (Anamaria Barreto).
Tahun : 2009
Para jurnalis Australia itu berlarian “menyambut kedatangan” tentara Indonesia ke tanah Timor. Langkah kaki lima orang jurnalis itu berlawanan arah dengan para Fretelin yang mundur mencari daerah lebih menguntungkan bagi mereka (Fretelin) untuk ber-baku tembak. Tentara-tentara Fretelin meneriaki para jurnalis; memperingatkan mereka untuk menjauh. Namun agaknya para jurnalis itu punya kepentingan lebih besar ketimbang nyawa. Ya, mereka berniat mengambil gambar penyerbuan pertama tentara Indonesia ke tanah Timor.
Gambar telah didapat. Sebuah tembakan melesat ke arah para jurnalis! Meleset. TNI makin dekat. Para jurnalis itu tak punya banyak waktu melarikan diri. Gary Cunningham (Gyton Grantley) masih tak puas. Ia mencoba mengambil beberapa gambar lagi. Keempat jurnalis lain yang mulai gelisah memintanya segera mengakhiri pengambilan gambar; mendesaknya mencari tempat lebih aman. Terbirit-birit dan takut, mereka akhirnya mendapatkan sebuah rumah di desa yang sudah kosong untuk bersembunyi. Semua terengah-engah. Kegelisahan mereka makin jadi karena penyakit asma salah seorang rekan mereka, Greg Shackleton (Damon Gameau), kumat. Tony Stewart (Mark Leonald Winter) mencoba menenangkan rekannya yang sesak nafas itu. Dari balik celah pintu dan jendela, Garry dan Malcolm Rennie (Nathan Phillips) mengintip para TNI tak berseragam yang telah mengepung desa dan berjaga di sekitar rumah dimana mereka sembunyi. Dalam ketegangan dan kekalutan, Brian Peters (Thomas Wright) malah keluar dari rumah persembunyian. Ia lantas menghampiri sang Komandan Lapangan ; bermaksud bernegosiasi demi keselamatan nyawa diri dan nyawa kawan-kawannya. Keputusan naif. Senjata langsung diarahkan ke kepalanya dan…dorrrr!!!.
Balibo, judul film itu. Film yang diangkat dari buku berjudul “Cover Up” oleh Jill Jolliffe itu mengangkat kasus pembunuhan lima orang jurnalis Australia (lebih dikenal dengan peristiwa Balibo Five) oleh militer Indonesia di Timor Lorosae (sekarang Timor Leste). Berlawanan dengan “fakta sejarah” yang selama ini dikumandangkan pemerintah Indonesia dan Australia (bahwa kelima jurnalis tersebut terperangkap dalam baku tembak), film ini menuai kontroversi, terlebih di Indonesia. Pembatalan penayangannya di JiFFest (Jakarta International Film Festival) karena larangan LSF (Lembaga Sensor Film) merupakan segelintir bukti dari “penolakan” terhadap film ini.
Film berdurasi satu tiga per empat jam ini memang tak memberi “ruang bicara” bagi pihak Indonesia. Dan meski “ruang bicara” bagi pihak Timor terwakili lewat keterlibatan Jose Ramos Horta (Oscar Isaac) dalam membantu wartawan senior Australia Roger East (Anthony Lapaglia) mengungkap kasus Balibo Five, secara umum sudut pandang film ini tetap didominasi kacamata Australia.
Atmosfer yang diciptakan film ini kuat dan nyata sehingga mampu mengutak-atik emosi penontonnya. Kepanikan, ketakutan, dan kegelisahan kelima jurnalis menjelang kematian mengajak penonton menahan nafas; was-was. Visualisasi adegan-adegan realis yang dibangun sejak awal mengkondisikan sebentuk kehilangan saat para jurnalis akhirnya terbunuh. Hanya saja, atmosfer film yang dibangun oleh backsound, alur, sinematografi, dan dialog, pada akhirnya menggiring emosi penonton menuju simpati pada pihak Australia. Karenanya, jika menonton film tersebut tanpa wacana memadai mengenai konflik di Timor Lorosae pada 1975, penonton akan cenderung memihak Australia.
Balibo mengaplikasi alur campuran. Alur pertama adalah alur maju yang menceritakan bagaimana Ramos Horta dan Roger East mencari tahu keberadaan kelima jurnalis muda Australia. Setiap kali keduanya sampai di sebuah wilayah, penonton diajak mundur kembali ke potongan-potongan peristiwa lampau di tempat sama. Potongan-potongan peristiwa tersebut membentuk alur kedua, yakni alur yang menceritakan perjalanan kelima orang jurnalis Australia yang mencari berita sehubungan dengan “isu” invasi Indonesia ke Timor. Masih ada alur terakhir, yakni alur yang berseting kini: Timor Leste setelah “lepas” dari Indonesia. Alur yang porsi durasinya tidak sebanyak alur pertama maupun kedua ini berfokus pada cerita seorang wanita bernama Juliana (Bea Viegas) yang menjadi saksi peristiwa pembantaian massal di Timor oleh TNI, tak lama setelah peristiwa pembunuhan kelima jurnalis Australia terjadi.
Wajar saja bila kemudian film beralur banyak ini memiliki lebih dari satu klimaks. Klimaks pertama tampil saat pembunuhan terhadap lima wartawan terjadi. Klimaks kedua muncul pada pembantaian di Timor. Klimaks kedua yang dikondisikan dramatis dengan gerak lambat dan backsound sedih adalah puncak dari suasana yang telah dibangun perlahan sejak awal.
Meski alur rumit, penonton tidak perlu bersusah payah membangun konsentrasi. Suasana yang terbangun dengan kuat tak menyisakan tempat bagi kelelahan dan kritik penonton sehubungan dengan perkara teknis di tengah-tengah film. Detil diperhatikan; mulai dari akting pemeran utama sampai pemeran pembantu, latar pedesaan, dan pilihan pakaian. Secara umum, teknis film ini matang.
Terlepas dari ada atau tidaknya motif politis yang coba disuguhkan lewat Balibo, kelemahan dari film ini ada pada –sekali lagi- ketakberimbangan “ruang bicara” bagi ‘kubu’ Indonesia. Orang-orang Indonesia yang hanya diwakili TNI dicitrakan kejam tanpa diberi kesempatan menampilkan sisi manusiawinya.
Jika kemudian film ini terkesan memihak, ada manfaat yang dapat diperoleh oleh para penonton yang tidak ingin memihak siapapun. Film ini bertujuan menyajikan sebuah “kebenaran” tandingan yang berbeda dari “kebenaran” utama-pro pemerintah (baik pemerintah Indonesia maupun Australia) yang selama ini beredar sehubungan dengan kasus Balibo Five. Australia yang “mendominasi” film ini kemudian harus dispesifikasikan lagi menjadi “rakyat Australia” dan bukan “pemerintah Australia”, karena film ini pun mengkritisi abainya pemerintah negri kangguru itu dalam mengusut kasus kematian lima jurnalisnya di Balibo.
Dengan menarik “keberpihakan film pada rakyat Australia dan Timor Leste” dalam konteks yang lebih luas, ketak-berimbangan film ini terpatahkan. Terlebih bagi korban dan keluarga korban Balibo Five yang kasusnya tak juga mencapai titik tuntas. Tak hanya mereka, rakyat Timor yang diberi porsi cukup besar untuk “bersuara” pun demikian.
Sebab dari Balibo patut ditonton, bukan hanya karena orisinalitas konsep dan kematangan teknis yang berimbas pada kuatnya nyawa film, tapi juga karena motif yang berpotensi menjadi alasan dari dibuatnya film ini. Film ini adalah masukan tandingan yang segar bagi mereka yang telah berkutat dengan sejarah Timor, juga jalan memulai yang menarik bagi yang belum menyentuh wacana itu. Tertarik menonton? Carilah tempat yang aman untuk menonton karena film ini “sensitif”.
Resensi ini pernah dimuat di Natas Hot News Edisi Mei 2010
Langganan:
Postingan (Atom)